Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Abakus

Penggunaan komputer di jepang masih kurang. hal ini mungkin karena orang jepang punya "alergi" terhadap keyboard. orang jepang menggunakan komputer sebagai mesin ketik. kini jepang mencoba mengatasi.

5 September 1987 | 00.00 WIB

Abakus
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SEORANG pengusaha Indonesia datang ke sebuah perusahaan besar di Tokyo untuk membicarakan harga udang yang akan dikirimnya dari Indonesia. Setelah berbasa-basi ke sana kemari, staf perusahaan Jepang itu mengeluarkan sehelai kertas tentang catatan harga-harga yang dikehendaki mereka. Kamaludin Bachir, pengusaha itu, menjadi gusar, karena harga dalam dolar itu ternyata lebih rendah dari harga sebelumnya. Padahal, harga yen sudah naik lagi, kata Sutrisno Bachir yang juga ikut dalam perundingan itu. "Kalau begini terus, mana mungkin kita bisa membina hubungan dagang jangka panjang?" ucap mereka gusar. Saya tentu tak heran mehhat bagamana orang Jepang selalu berusaha memperpanjang waktu perundingan. Yang sangat mengherankan saya adalah bahwa catatan harga-harga yang mereka kehendaki itu hanya ditulis dengan pensil di atas secarik kertas. "Apa kalian tak punya komputer?" tanya saya. Yang ditanya malah heran. Tentu saja perusahaan sebesar itu mempunyai banyak komputer. "Tetapi perhitungan-perhitungan seperti ini tak pernah kami lakukan dengan komputer," kata staf perusahaan itu. Lalu dengan apa? Ia hanya merogoh sakunya dan mengeluarkan kalkulator setipis kartu nama. Beberapa kali mengunjungi Jepang, baru sekali itulah saya menyadari bahwa otomatisasi yang telah berlangsung di Jepang ternyata belum "masuk kantor". Di pinggir kota Tokyo saya melihat bagaimana komputer IBM dibuat dengan komputer pula. Keterlibatan tangan manusia hanya sampai pada panel kontrol. Lantai-lantai produksinya boleh dibilang hospital clean. Teknologi robotika telah pula dipergunakan di pabrik-pabrik mobil. Tetapi Nissan Motors, misalnya, meski telah menggunakan robot produksi, tetapi para staf perencanaan perusahaan itu masih harus kerja lembur dengan pensil dan abakus untuk menghitung kembali ongkos produksi setiap kali terjadi kenaikan nilai yen. Kantor-kantor di Jepang memang biasanya terlalu kecil untuk menampung pegawainya yang banyak. Maklum, harga tanah bukan main mahalnya di sana. Pegawai kantor harus berdesak-desak dalam satu ruangan yang pengap karena kebiasaan merokok orang Jepang yang luar biasa. Meja-meja mereka yang kecil itu sarat dengan tumpukan kertas. Di bawah dan di samping meja pun kertas menumpuk. Berkas-berkas menumpuk di mana-mana. Orang Jepang ternyata suka mempunyai arsipnya sendiri. Mereka merasa tak diakui kehadiran dan perannya bila tak mempunyai arsip dari dokumen-dokumen yang mennyangkut urusannya. Sistem pengarsipan, karena itu, merupakan suatu kekacaubalauan. Populasi komputer di Jepang pun jauh lebih rendah daripada di Amerika Serika Kantor-kantor di Jepang rata-rata memiliki satu komputer untuk tiap 26 orang, padahal di Amerika Serikat setiap tujuh karyawan mempunyai satu komputer. Tampak sekali kecenderungan bahwa kantor merupakan prioritas paling buntut bagi bisnis Jepang. Sejak Perang usai, Jepang menanamkan modal besar-besaran di bidang produksi. Belakangan ini mereka memodernisasikan pabrik, memperbesar anggaran riset dan pengembangan serta kerekayasaan. Tak heran bila hampir seluruh fasilitas produksi Jepang kini dalam keadaan first rate. Hanya bank dan industri jasa saja yang agak lumayan keadaannya. Hampir semua bank di Jepang sudah memakai komputer on-line untuk melayani nasabah di kantor depan. Tetapi, di belakang itu, sekali lagi pensil dan abakus masih berkuasa. Kantor analis keuangan Nikko Rescarch Center, misalnya, mempunyai tujuh jenis komputer, masing-masing menjalankan peran sendiri. Tak satu pun dari ketujuh komputer itu bisa berkomunikasi. Jangan heran pula. Nikko tak punya software untuk melakukan earnings projection. Ada orang yang mengatakan bahwa ketertinggalan Jepang di bidang ini terutama karena orang Jepang punya "alergi" terhadap keyboard. Ketika orang Barat sudah mengenal mesin ketik sejak abad ke-19, orang Jepang masih harus menulis dengan tangan hingga 1979 -- saat komputer berhuruf Kanji ditemukan. Tak heran pula bila kebanyakan orang Jepang mengunakan komputer sebagai mesin ketik belaka. Sadar akan ketertinggalan ini, Jepang memang mulai menyusun langkah. Nissan memulai langkah besar dengan mengharuskan para manajernya mengenali Lotus 1-2-3 untuk pengambilan keputusan. Untuk menyembuhkan alergi terhadap Keyboard, para karyawan Nissan pun harus mengajukan tagihan pembayaran kembali atas expenses mereka dengan komputer. Toshiba telah mulai merentang kabel-kabel serat optik dari kantor satu ke kantor yang lain untuk menghubungkan seluruh komputernya. Honda memberikan pelatihan komputer kepada semua pegawainya yang telah mengakibatkan turunnya separuh jumlah penggunaan kertas di kantor itu. Kemauan. Itu sajalah agaknya yang diperlukan. Bondan Winarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus