MEKAH di bawah Raja Saud ternyata tidak cocok bagi segcnap aspirasi politik," tulis Van der Meulen dalam buku Hoort gij donder niet?. Menurut Meulen, Saud adalah pemimpin Islam yang sangat keras dari golongan Suni. "Ia ingin mengembalikan Mekah sungguh-sungguh sebagai kota suci, yakni tempat segala macam kegiatan (termasuk politik) di luar kegiatan agama, dilarang." Raja Saud, pendiri kerajaan Arab Saudi di wilayah yang sebelumnya bernama Hejaz itu, telah lama mangkat. Bahkan Faisal, penggantinya, yang mengagumi Snouck Hurgronje karena fasih berbahasa Arab -- keduanya bertemu ketika Faisal, waktu itu masih Pangeran, berkunjung ke Belanda -- pun telah mangkat, ditembak oleh keponakannya yang diperkirakan suka teler. Tapi Raja Fahd, penguasa Saudi sekarang, seakan-akan masih menghadapi persoalan yang sama, seperti Saud. Tulisan Van der Meulen ini kenangan terhadap peristiwa haji Hindia Belanda di Mekah pada 1926-1927. Kenangan yang diterbitkan sebagai buku 50 tahun kemudian, berjudul Hoort gij donder niet?, seakan-akan memberikan perpektif tentang konsistensi sikap penguasa Saudi, dari dulu sampai sekarang, terhadap ibadat haji dan politik. Sebagai konsul Belanda di Jeddah pada masa itu, Meulen bukan saja banyak mengetahui peristiwa penangkapan beberapa jemaah haji Hindia Belanda oleh pemerintah Saudi, atas permintaan rezim kolonial Belanda, melainkan ia juga salah satu aktor utamanya. Seperti dikatakan Vredenbregt, yang melakukan studi tentang sejarah haji Indonesia, pada tahun-tahun itu, jumlah jemaah haji Hindia Belanda merupakan 42,6% dari seluruh jemaah dunia. Jumlah pastinya sukar ditentukan. Tapi, menurut data statistik, jumlah itu mencapai 52.412 orang -- jumlah yang memang cukup besar, bahkan untuk ukuran masa kini. Dari segi ekonomis, pelipatgandaan jumlah ini cukup menguntungkan. Dari segi politik, jumlah itu menggetarkan. Sebab, jauh sebelum tahun 20-an itu, Belanda telah dipusingkan oleh pemberontakan-pemberontakan lokal yang dipimpin para haji. Pemberontakan yang dipimpin kaum haji, antara lain yang terkenal Pemberontakan Cilegon pada 1888. Komentar Hurgronje mengenai peristiwa itu, "Memang kekuasaan kita tidak terlalu mudah untuk dirobohkan oleh suatu gerakan fanatik. Tapi huru-hara di Cilegon pada 1888 cukup serius." Bersamaan dengan pembukaan Terusan Suez, pemerintah kolonial membiarkan peningkatan jumlah jemaah haji Hindia Belanda. Agaknya, bukan karena alasan ekonomis, melainkan karena pandangan Hurgronje. Ia membuka mata pemerintah kolonial Belanda atas kebutaan mereka terhadap mitos Islam selama ini. Dalam Islam, kata Hurgronje meyakinkan, tidak ada lapisan klerikel dan kere. Kiai bukan Paus seperti dalam agama Katolik. Mereka tidak lebih dari anggota suatu hierarki agama dari pelaksana komando Khalif Konstantinopel. Seorang khalifah tidak dilengkapi dengan kekuasaan agama untuk menetapkan dogma, tapi ia hanya simbol bagi kesatuan semua orang Islam. Sebagaimana diketahui, gagasan Pan Islamisme al-Afghani, yang terus hidup hingga saat ini, telah menggetarkan Belanda, karena gagasan itu di wilayah jajahannya tersebar lewat penunaian ibadat haji. Suatu anggapan yang kemudian ditepiskan oleh Hurgronje. "Mekah," ujarnya, "tidak mengubah ribuan jemaah Indonesia menjadi haji-haji fanatik yang penuh semangat pemberontakan." Pemerintah kolonial agaknya harus percaya kepada Hurgronje. Bukan saja karena ia pernah menetap di sana dan kemampuannya memadamkan Perang Aceh secara kultural, tetapi juga karena dia hubungan Belanda dan Arab Saudi menjadi semakin akrab. Pangeran Faisal, yang diutus oleh ayahnya, Raja Saud, ke beberapa negara Eropa, misalnya, ternyata mendapat sambutan hangat di Belanda. Pengetahuan Snouck tentang Islam betul-betul dimanfaatkan. Sehingga, Pangeran sampai berucap, "Saya heran, ia bukan orang Islam. Hanya saudara-saudara kami yang tahu sebanyak itu tentang tata cara serta adat kebiasaan kami, dan hanya seorang Islam bisa menebak keperluan-keperluan saya selama ini. Bahasa Arabnya lebih murni daripada bahasa Arab saya." Itulah, antara lain, sebabnya hubungan Belanda dengan Saudi menjadi bertambah akrab. Itu pula sebabnya Van der Meulen, konsul Belanda di Jeddah, menjadi berpengaruh. Dalam konteks kebijaksanaan haji pemerintah kolonial, reputasi Hurgronje telah cukup bagi Balanda untuk melupakan asumsi-asumsi baku sebelumnya. Jadi, ledakan jemaah haji Indonesia, selain karena faktor Terusan Suez dan ledakan ekonomi, juga karena faktor sang penasihat ini. Dalam konteks inilah Meulen berperan besar. Suatu bentuk peran yang tampaknya mengulang dilema Arab Saudi, penguasa Mekah, pada setiap musim haji. Kisahnya dimulai dengan pemberontakan komunis yang gagal di Hindia Belanda pada 1927. Ketika berita itu tersebar ke seluruh dunia, surat kabar Mesir Al-Ahram, mengutip sebuah harian Prancis, Les de'bats, sehubungan dengan kegiatan Konsulat Uni Soviet di Jeddah. Dalam kutipan itu disebutkan bahwa Konsulat Soviet berusaha mempengaruhi jemaah haji dengan gagasan komunis, serta membangkitkan kebencian mereka terhadap Eropa. Berita ini mengagetkan Menlu Saudi Abdullah al-Damludji, dan membicarakannya -- lewat konsul Belanda -- dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Meulen, yang melakukan penyelidikan bersama konsul Inggris, memang telah curiga terhadap kegiatan-kegiatan konsul Soviet. Dari penyelidikan inilah, dan diperkuat oleh permintaan Meulen, pemerintah Arab Saudi menangkap delapan jemaah Hindia Belanda, yang dituduh komunis. Tokohnya Mahdaar (bukan Masdar) dari Tangkuan, Garut, tidak dapat ditangkap. Apa yang menarik dari kisah lampau ini adalah bahwa sejak dulu aksi politik tidak bisa dilepaskan dari peribadatan haji. Nasionalisme Indonesia untuk sebagian diasah dari proses mengelilingi benda hltam berbentuk kubus itu di Mekah. Tapi, di atas segala-galanya, Mekah telah menjadi ajang semangat antiimperialisme dan Barat. Inilah yang selalu menyudutkan Arab Saudi ke sebuah dilema. Dahulu, dalam kasus Hindia Belanda, oleh pers asing dia dituduh "membantu negara kolonial Barat". Sehingga, seorang pelajar Melayu berkata, "Mekah bukanlah tempat yang aman bagi mereka yang ingin menentang penguasa kolonial di tanah airnya." Kini, Arab Saudi berhadapan dengan Iran, negara yang -- di samping jumlah penduduknya lebih besar -- masih asyik dengan revolusi. Anehnya, dengan dalil yang hampir sama. Meulen mungkin telah meninggal. Andai kata masih hidup, ia akan melihat Mekah kini, tanpa perubahan sejarah. Persis seperti yang dilihatnya enam puluh tahun yang lampau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini