TEPUKAN beratus tangan terdengar panjang. Itu sehabis Kiai Mustofa Bisri membacakan dua puisi karyanya dan sebuah puisi 3 1/4 folio ketik Penyair Nizar Qabbani, terjemahannya sendiri. Lama sesudah mubalig Rembang tamatan Universitas Al-Azhar itu duduk di pentas, tepukan masih tak kunjung reda. "Ohoi!" teriak penonton-penonton muda, menirukan sajak Kiai 44 tahun itu. "Ohoi!" terdengar di semua penjuru bersahutan. Ditimpa sorotan 15 lampu spot panggung dan diterjang panas 2 lampu kamera video, penerjemah Ensiklopedi Ijmak ini berkeringat seperti kedelapan mubalig lainnya -- tapi tak ada lagak lagu atau salah-tingkah seorang aktor padanya. Padahal, ohoi, ada superstar baru lahir. Tepuk tangan yang diterimanya tak akan kalah panjangnya dengan gemuruh penghormatan yang diberikan publik di tempat itu juga kepada Sutardji, Rendra, atau Emha. Bagi Mustofa Bisri, ini ulangan yang meningkat dari acara baca puisi "Mengingat Palestina" tiga tahun lalu. Kosim Nurzeha tak pula kalah memikatnya dengan Mustofa Bisri. Da'i dengan penguasaan teknik vokal yang luar biasa itu seperti menggenggam publik dengan tangannya: respons seperti apa yang diinginkannya, dia akan mendapatkannya. Bukan semata-mata karena Kosim Nurzeha atau Tutty Alawiyah A.S. yang rata-rata 714 kali bertablig seminggu, memberi kuliah subuh saban hari di radio, dengan jemaah ribuan, lantas memang dari sananya sudah tersohor. Tapi mereka membawakan puisi tampak tidak ngoyo benar, tak perlu menghajan, yaitu tanpa sesak napas sama sekali. Mubalig adalah bagian masyarakat yang menggunakan kata-kata dalam pekerjaannya. Penggunaan kata dalam tugas mereka di mimbar tak akan berhasil bila dia tidak menguasai bahasa dan seni kata dengan baik. Di sini mereka telah menyentuh bidang sastra. Karena itu, tak mengherankan bila banyak mubalig memiliki apresiasi sastra yang tinggi. Mereka dlkenal pernah menulis puisi, cerita pendek, drama, mendalang, dan main teater. Endang Saifuddin Anshari memang belakangan menulis belasan buku, lebih bersifat akademik -- antara lain polemik dengan Nurcholish Madjid. Tapi mubalig Bandung ini juga pernah menerbitkan kumpulan sajak. Mubalig Dahlan A.S., langganan Kamis malam TVRI dan ustad di kalangan dunia film, dulu waktu masih mahasiswa di Malang, aktor teater. Kali ini puisinya naratif, berkisah tentang Mang Karta di zaman revolusi yang berjuang di sektor selatan Bandung. Ujar Mang Karta, "Tugas memang berat-berat ringan/hanya sebagai mata-mata/sekalian merangkap sebagai kurir...." Di akhir puisi pada folio ketik kelima, Mang Karta mati syahid. Ungkapan dengan daya puitik yang kuat logis sekali bila kita dengarkan pada teks puisi doa mereka ini. Ini kelihatan pada EBA atau Endang Basri Ananda, Josef C.D., dan Jalaluddin Rachmat. EBA membawakan puisi doanya serasa tertegun, Jalaluddin meluncur penuh. Teater Arena TIM pada dua hari acara Mubalig Baca Puisi ini, yang diselenggarakan Yayasan Ananda dan Dewan Kesenian Jakarta, penuh sesak dan melimpah. Lantai tengah dan keempat tangga yang menurun di Arena dipenuhi jajaran peminat puisi. Mereka bersila di lantai. Kipas-kipas berputar, tapi udara terasa padat dan panas, mungkin mirip cuaca wukuf di Arafah. Dengan demikian, puisi hijrah Zawawi Imron, penyair Madura itu, "desah telapak unta di taburan pasi/menata gairah matahari...." terasa serasi dengan panasnya ruangan. Tapi suasana jadi sangat lain ketika Syu'bah Asa membaca "terbit purnama di tengah kita/maka silaulah semua purnama..." dan publik diajak serta dalam paduan suara kasidah 'asyraqal badru 'alaina/fakhtafat min ghul buduur....', yang seolah menghela bulan sabit Muharam yang tak tampak di atas mega Jakarta turun ke langit-langit Teater Arena, menjadi bagian dari dekor Haji Danarto. Emha Ainun Nadjib membaca percakapan malaikat, puisi dikir dan kerinduannya "menyanyikan lagu-lagu kangen pada Tuhan/dan tanganku ngungun menabuh sebuah gendang/yang terbuat dari kesunyian ...." Penyair kelahiran Jombang ini tak merasa jadi mubalig. Dan mubalig yang lain memang tak merasa asing dengan syair-syair. Kemudian dari itu, publik kini paham bila mubalig baca puisi, sedap juga untuk disimak dan ditonton. Ohoi. Taufiq Ismail
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini