Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Aceh, Referendum, dan 'Impunity'

Gelombang desakan referendum semakin besar di Aceh. Bagaimana menanggapinya?

19 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seruan referendum semakin nyaring terdengar dari Aceh. Selasa lalu, misalnya, Himpunan Ulama Dayah Aceh yang menyuarakannya. Setelah bermusyawarah selama dua hari di makam Syah Kuala, Banda Aceh, sekitar 350 ulama Tanah Rencong itu sepakat mendesak pemerintah agar mengadakan referendum selekas mungkin di provinsi terbarat Republik ini. Menurut kesimpulan mereka, hanya melalui referendumlah kekisruhan di Aceh yang telah merenggut banyak jiwa itu dapat dihentikan. Referendum? Akankah ini berarti sebuah provinsi lagi berpisah dari Republik Indonesia? Agaknya, kemungkinan untuk itu bukanlah sebuah kemustahilan, tapi bukan juga sebuah kepastian. Sebab, kata referendum memiliki makna yang beragam di kalangan penduduk Aceh. Ada yang mengartikannya sebagai kemerdekaan bagi negara berdaulat Aceh, ada pula yang mengartikannya sebagai otonomi yang lebih luas bagi Tanah Rencong. Adapun bagi para aktivis mahasiswa Aceh, yang telah menggelindingkan ide referendum ini, hanya ada satu arti, yaitu yang kelompok pendukungnya mayoritas. Namun, para ulama kelihatannya mempunyai pandangan lain. Setidaknya bila seruan yang mereka keluarkan diperhatikan dengan cermat. Pasalnya, pernyataan Himpunan Ulama Dayah Aceh—yang katanya mewakili 75 ribu santri—tidak sekadar berisi desakan untuk referendum. Mereka juga mengimbau semua pihak agar menghentikan tindakan kekerasan dan mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa semua pelaku tindakan kekerasan harus dihukum. Artinya, bila semua seruan itu dicermati sebagai sebuah kesatuan, yang dituntut sebenarnya adalah sebuah kemerdekaan yang lain, yaitu kemerdekaan dari kekerasan dan kemerdekaan dari ketidakadilan. Bagi para pakar hukum, kedua hal itu dapat digabungkan menjadi kemerdekaan dari impunity. Impunity memang merupakan akar utama kemelut berdarah di Aceh. Adalah tindakan kekerasan para oknum aparat dan aktivis gerakan separatis yang menyebabkan kemerdekaan dari kekerasan mengungsi dari Aceh. Adalah kenyataan bahwa para pelaku kekerasan terhadap rakyat itu tidak tersentuh hukum yang menyebabkan kemerdekaan dari ketidakadilan sirna dari daerah modal Republik ini. Suatu keadaan yang mungkin tidak ada atau kecil kaitannya dengan persoalan apakah Aceh akan lebih otonom atau berpisah dari Jakarta. Walhasil, menyelesaikan masalah Aceh bukanlah dengan referendum seperti dimaksudkan para mahasiswa, melainkan dengan yang ditafsirkan para ulama. Semua pihak harus mengusir virus impunity dari Aceh dan wilayah lain Nusantara jika kesatuan Republik pada pengujung milenium ini ingin dipertahankan dan didukung penuh oleh rakyatnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus