Bila kini ada yang membuat muka kita seakan-akan sedang dibenamkan di kubangan kotoran, selain dari peristiwa teror dan bumi-hangus di Timor Timur, itu adalah skandal Baligate, yang melibatkan banyak politisi tingkat atas. Dalam kedua peristiwa itu ada unsur culas dan nurani yang tumpul. Dalam kebengisan Timor Timur, yang menjadi faktor ialah milisi binaan militer, sedangkan faktor X dalam kecurangan Baligate antara lain ialah Baramuli, yang Ketua Dewan Pertimbangan Agung itu.
Banyak telunjuk telah menuding Baramuli, sehingga peran campur tangannya tak bisa ditutupi lagi. Terakhir, yang menyebut namanya ialah Menteri Keuangan Bambang Subianto dalam rapat kerja Komisi VIII DPR, Senin petang pekan lalu. Ia menelepon Bambang membicarakan penggantian Ketua BPPN Glenn Yusuf dengan Pande Lubis. PricewaterhouseCoopers pun melaporkan hal yang sama, bahkan bocorannya telah disiarkan majalah ini (TEMPO, 13-19 Sept. 1999), yang beredar pada pagi hari sebelum rapat kerja diadakan. Panitia Khusus DPR juga menyimpulkan bahwa Baramuli memang tersangkut dalam skandal tersebut.
Sangkaan itu bukan cuma suatu aksi melempar lumpur untuk mengotori Baramuli oleh lawan politiknya. Rangkaian perbuatan yang dilakukannya lebih dari cukup untuk jadi petunjuk. Keterlibatannya dalam apa yang disebut Tim Sukses untuk memuluskan pengangkatan kembali Habibie sudah diketahui umum. Dan perihal dana ratusan miliar rupiah untuk Tim Sukses itu memang disebut-sebut dalam "catatan penting" Rudy Ramli.
Pembicaraan teleponnya yang menyangkut skandal Bank Bali dengan Setya Novanto, Wakil Bendahara Golkar dan direktur PT EGP, terekam dan terbongkar. Kunjungannya untuk mengurusi pencopotan Glenn Yusuf ke kantor Menteri Sekretaris Negara Muladi, yang konon juga anggota Tim Sukses itu, diakuinya sendiri. Demikian juga mengenai suratnya ke Presiden Habibie yang mengusulkan penggantian Ketua BPPN dan Direktur Jenderal Pajak. Terakhir ialah persekongkolannya dengan Kim Johanes—yang namanya pernah cemar karena terlibat manipulasi sertifikat ekspor—untuk menyampaikan surat pernyataan "bantahan" Rudi Ramli ke tangan Habibie.
Sukar disangkal bahwa semua ini merupakan petunjuk tentang keterlibatannya. Walaupun masih dicobanya juga memberi alasan berbeda untuk menerangkan motif masing-masing peristiwa itu. Baramuli yang bergaya jagoan bukan Baramuli—pernah menjadi jaksa tinggi, gubernur Sulawesi Utara-Tengah pada zaman Sukarno, 20 tahun anggota DPR, pengusaha besar, Wakil Ketua Kadin, sekarang Ketua DPA—kalau dia tidak dengan ulet akan mengelakkan semua tuduhan itu. Yang terjadi dengan Baramuli ini sesungguhnya adalah gambaran konkret mengenai kolusi antara pengusaha dan penguasa, yang sering terasa ada tapi tak mudah memerkarakannya.
Lalu apa kelanjutannya? Walau petunjuk cukup, ternyata polisi pasif dan jadi formalistis, tidak berinisiatif memperluas penyidikan sampai mencakup pejabat tinggi yang diduga tersangkut. Mungkin salah satu sebabnya ialah karena dalam sistem yudisial kita sekarang tidak jelas adanya forum privilegiatum, suatu mahkamah luar biasa, tempat mengadili pejabat negara yang melakukan kesalahan pidana. Ini membuat polisi rikuh.
Tapi alasan yang lebih masuk akal ialah karena aparat penegak hukum di sini tak ada yang lepas dari pengaruh penguasa. Sedangkan kasus yang perlu diusut justru menyangkut kepentingan politik yang sedang berkuasa. Tentu saja jalannya buntu. Atau, pengusutan dialihkan dan dibatasi jadi masalah penyelewengan prosedur perbankan saja, dengan Rudy Ramli dkk. dari Bank Bali yang jadi tumpuan arus.
Terobosan parlemen
Kalau macet di polisi, tidak harus demikian halnya dengan di DPR. Kalau kreatif dan mau membuat terobosan, DPR bisa melangkah dengan dampak makro yang besar. Namun, harus dicatat bahwa masa sidang DPR tinggal beberapa hari lagi, sampai 24 September ini, dan sesudahnya akan "bubar". Apa yang bisa dikerjakan Panitia Khusus DPR yang telah menyimpulkan keterlibatan Baramuli itu?
Panitia Khusus DPR, melalui Komisi VIII, akan membuat rekomendasi untuk disahkan dalam sidang paripurna DPR yang terakhir. Kesimpulan panitia itu memang tidak punya konsekuensi yuridis yang langsung. Ia tak bisa menuntut dan menyatakan seseorang telah bersalah dan harus dihukum. Tapi dalam rekomendasinya ia bisa mendesak pemerintah agar memulai tindakan pengusutan terhadap orang-orang tertentu, khususnya para pejabat negara yang diduga terlibat. Baramuli, misalnya.
Secara politis, desakan ini punya kekuatan yang mengikat. Pemerintah, dan karena itu polisi, tidak bisa mengabaikan permintaan DPR semacam ini. Atau lebih maju lagi, rekomendasi itu bisa berupa usul agar DPR membuat "resolusi" pada presiden untuk segera membebaskan Baramuli dari jabatan ketua dan anggota DPA. Selanjutnya pemeriksaan yuridis oleh polisi dan kejaksaan akan dipermudah, sebelum dibawa ke muka hakim. Kalau Habibie mencoba tak menghiraukannya, dia harus mempertanggungjawabkannya di MPR nanti.
Sebenarnya, walaupun sudah tak mungkin melaksanakannya sekarang, DPR bisa menuntut agar pemerintah menunjuk jaksa istimewa independen, special prosecutor, untuk mengurus perkara Baligate ini. Terus terang, hal ini belum pernah ada dalam tradisi sistem hukum kita. Tapi, untuk mengusut perkara kejahatan yang menyangkut sesama pejabat tinggi negara, memang hanya mungkin bila dilakukan oleh jaksa yang independen. Hal itu penting diusulkan sekarang, untuk membuka jalan bagi pelaksanaannya pada masa pemerintahan yang baru.
Hal terakhir yang harus dilakukan ialah membuat memorandum akhir masa pengabdian DPR. Isinya mengenai semua informasi yang menyangkut proses penyelidikan Baligate, termasuk rekomendasi penyelesaiannya. Dengan demikian, DPR yang baru akan bisa melanjutkan prosesnya sampai tuntas. Apakah Panitia Khusus DPR mampu melaksanakan itu semua, akan terbukti hanya dalam beberapa hari lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini