DALAM politik, tawar-menawar, dukung-mendukung adalah hal yang biasa. Justru di situ konon seninya. Tetapi, apakah semuanya itu bisa seenaknya dilakukan tanpa mengindahkan etika, perasaan, dan kepercayaan? Bagaimana menjelaskan hal ini dalam konteks terpilihnya Ketua DPRD DKI Jaya dari Fraksi TNI/Polri (dulu bernama Fraksi ABRI) yang suaranya didukung Fraksi PDI Perjuangan?
Pekan lalu, Mayjen Eddy Waluyo terpilih sebagai Ketua DPRD DKI dengan mengantongi 40 suara, mengalahkan Djafar Badjeber dari Fraksi PPP (30 suara), dan Tarmidi Suhardjo dari Fraksi PDIP (sembilan suara). Padahal, kekuatan Fraksi TNI/Polri hanya sembilan anggota. Rupanya, ada 20 suara dari PDI Perjuangan (PDIP) menyeberang untuk Eddy, lalu ditambah suara Golkar dan suara TNI/Polri sendiri. Sekelompok masyarakat yang menyaksikan pemilihan itu—kebanyakan masa PDIP yang lugu—seketika mengamuk. Mereka tak paham kenapa Tarmidi tidak bisa unggul, padahal PDIP punya anggota terbanyak. ''Penonton protes" karena mereka merasa dilecehkan.
Banyak hal yang memang tak bisa dipahami sesudah itu. Sebab, tokoh-tokoh PDIP, baik di DPD maupun di DPP, bukanlah orang-orang yang mudah dimintai informasi. Kasus pembelotan anggota Fraksi PDIP ini pun akhirnya selesai begitu saja. Tak ada kejelasan apakah pembelotan itu karena iming-iming sesuatu, atau seperti yang dikatakan salah seorang di kalangan mereka: atas instruksi Ketua Umum PDIP, Megawati. Konon, Megawati memainkan ''politik tingkat tinggi". Ia mengalah di DKI dengan imbalan Fraksi TNI/Polri memberi dukungan suara sehingga PDIP bisa mendapatkan jatah tiga kursi utusan daerah MPR di DKI. Di sinilah unsur tawar-menawar untuk target yang lebih tinggi: kalah di Kebonsirih tetapi menang di Senayan dalam perebutan presiden.
Sementara hal itu belum terbukti benar, PDIP telah menghancurkan kepercayaan banyak orang. Pada saat keanggotaan TNI/Polri digugat di lembaga legislatif, PDIP justru mendukung mereka untuk posisi yang menentukan, sebagai ketua legislatif. Lalu, pada saat-saat PDIP masih menganggap ''kasus 27 Juli" belum tuntas, dan meminta ABRI yang kini jadi TNI mempertanggungjawabkan skandal nasional itu, justru mereka berkoalisi untuk mendudukkan sang perwira tinggi TNI di kursi pimpinan DPRD. Barangkali orang bisa maklum jika saja PDIP berkoalisi atau tawar-menawar dengan PPP untuk mengegolkan Badjeber.
Atau, barangkali opini majalah ini yang aneh? Mungkin sudah hal biasa yang tak mesti disangkutkan dengan etika, sebuah perjuangan yang besar—seperti merebut suara terbanyak di MPR untuk mengegolkan calon presiden—tawar-menawar, dan dukung-mendukung tak mengenal bekas lawan atau bekas teman. Semuanya bisa dianggap jadi sah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini