Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA bukan apologia semata, pembelaan Jaksa Agung terhadap anak buahnya yang mengadakan pertemuan dengan Hary Tanoesoedibjo adik tersangka korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum Hartono Tanoesoedibjo dapatlah dikatakan pelecehan terhadap upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih.
Jaksa Agung Hendarman Supandji mestinya menyadari bahwa kongko dengan orang beperkara atau berhubungan dengan mereka yang beperkara merupakan pelanggaran etika jaksa. Dalam upaya membasmi korupsi yang telah berurat dan berakar dalam di negeri kita, pelanggaran serius semacam ini hendaknya tidak diganjar dengan sekadar teguran ringan.
Permintaan maaf Hendarman kepada publik karena, menurut dia, telah membuat polemik yang tak perlu belum membuat tugas Jaksa Agung dalam kasus ini selesai. Sebagai ”sapu” yang bertugas menyingkirkan ”sampah” korupsi, Hendarman Supandji mestinya menyadari bahwa institusinya harus resik dari segala kotoran yang menempel.
Pembelaan Hendarman terhadap Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Muhammad Amari yang menemui Hary Tanoe sungguh sulit ditelan begitu saja. Lantaran merugikan negara Rp 450 miliar, Amari disebut-sebut menjajaki kemungkinan penyelesaian di luar pengadilan dengan meminta tersangka membayar Rp 1 triliun. Langkah inilah yang disebut Jaksa Agung sebagai ”niat bener yang tidak kebeneran”. Penyelesaian di luar pengadilan, asalkan tersangka membayar ganti rugi dalam jumlah besar, bukan tak pernah terjadi, meski juga bisa selalu dipersoalkan misalnya dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Berbeda dengan Bantuan Likuiditas BI, Jaksa Agung tampaknya lupa bahwa dalam kasus korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum, pengadilan telah menjatuhkan vonis terhadap Romli Atmasasmita dan Syamsudin Manan Sinaga, keduanya mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hukuman juga telah ditetapkan kepada Yohanes Waworuntu, mantan Direktur Utama PT Sarana Rekatama Dinamika perusahaan yang mendapat keuntungan dari kongkalikong proyek itu. Dengan menjajaki penyelesaian di luar pengadilan, Jaksa Agung merestui perbedaan tindakan terhadap orang-orang yang terlibat dalam pidana korupsi. Selain itu, penyelesaian di luar pengadilan selayaknya dilakukan sebelum sebuah kasus dibuka di hadapan Mahkamah. Penjelasan Hendarman bahwa ganti rugi tak menghapuskan hukuman pidana setelah pertemuan heboh itu dibongkar media massa terkesan sebagai upaya Jaksa Agung meredakan amarah publik yang kadung meletup.
Lebih dari sekadar mencoba ”kreatif” dalam mencari penyelesaian perkara, niat baik Jaksa Agung dalam menumpas habis korupsi agaknya perlu dipertanyakan. Perlu dicatat, bukan kali ini saja Hendarman Supandji menukar hukuman badan dengan ganti rugi. Dalam kasus korupsi dana asuransi pensiunan ABRI, Kejaksaan pernah membebaskan tersangka Tan Kian karena mengembalikan kerugian negara Rp 130 miliar. Kejaksaan Agung juga pernah menghentikan penyidikan kasus korupsi pembelian pembangkit listrik tenaga gas di Borang, Sumatera Selatan, dengan alasan tak ada kerugian negara. Padahal Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menyatakan negara rugi Rp 24 miliar.
Sikap lunak Hendarman terhadap bawahan juga berkali-kali terjadi. Ia misalnya mempromosikan jaksa Burdju Ronni dan Cecep Sunarto, meski keduanya terlibat kasus pemerasan terdakwa korupsi Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Ia pernah mengangkat Kemas Yahya Rachman dan M. Salim menjadi Koordinator dan Wakil Koordinator Unit I Tim Supervisi dan Bimbingan Penuntutan Kasus Korupsi. Semua orang tahu, keduanya terbelit rekayasa penghentian penyidikan kasus suap Artalyta Suryani orang dekat debitor kakap BLBI Sjamsul Nursalim.
Segenap catatan buruk Hendarman Supandji selayak nya membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempertimbangkan penggantian jaksa karier itu sebagai orang nomor satu Kejaksaan Agung. Loyalitas kepada Presiden hendaknya tidak dijadikan satu-satunya ukur an untuk meneruskan masa tugas seorang pejabat. Lagi pula mempertahankan pejabat yang tak serius membe rantas korupsi penyakit yang merusak seluruh sendi kehidupan kita adalah pengingkaran terhadap keperca yaan orang ramai.
Seraya mengganti Jaksa Agung, jajaran di bawahnya juga perlu dibongkar. Salah satu ”penyakit” kejaksaan selama ini adalah posisi jaksa agung muda selalu diisi oleh pejabat karier yang sudah ”berkarat”. Inilah yang menyebabkan orang baik yang duduk di kursi Jaksa Agung Baharuddin Lopa dan Abdurrahman Saleh, untuk menyebut beberapa tak bisa bekerja maksimal. Jaksa Agung yang baru patut mempertimbangkan mengangkat jaksa agung muda dari luar kejaksaan kebijakan yang tak melanggar undang-undang.
Tanpa itu semua, jangan berharap Kejaksaan Agung bisa kembali diandalkan untuk menuntut hukuman se timpal bagi para koruptor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo