Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONSESI yang diberikan negara kepada sejumlah perusahaan swasta di kompleks Gelora Bung Karno sudah waktunya ditinjau ulang. ”Penyewaan” tanah negara di kawasan Senayan, Jakarta, itu sama sekali tidak memberikan keuntungan yang memadai. Bayangkan, dari tanah dengan nilai Rp 50 triliun itu menurut laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan negara hanya menerima setoran Rp 15 miliar setahun alias Rp 1,25 miliar setiap bulan. Ini benar-benar kontrak bisnis yang ”bodoh”. Kasus area Taman Ria yang hendak disulap menjadi kawasan kuliner merupakan salah satu contohnya.
Sejak awal konsesi atas Taman Ria dikeluarkan lewat proses yang tertutup dan berbau kolusi. Konsesi itu diberikan Sekretariat Negara, pada masa pemerintah Soeharto, kepada Yayasan Karya Bhakti Rukun Ibu Ampera yayasan milik ibu-ibu menteri pada zaman Soeharto. Hak pengelolaan itu kemudian dialihkan yayasan kepada PT Ariobimo Laguna Perkasa. Tentu motif di balik pengalihan hak ini adalah pendapatan uang sewa. Konsesi Yayasan Karya Bhakti Rukun Ibu Ampera kemudian diambil kembali oleh Sekretariat Negara, tapi konsesi atas Taman Ria diberikan kembali kepada PT Ariobimo sampai 2035.
Tentu ada alasan khusus di balik dipilihnya PT Ario bimo. Perusahaan itu dimiliki oleh Cicip Sharif Sutardjo, pengusaha yang kini menjadi salah satu ketua Partai Golkar satu-satunya partai di Dewan Perwakilan Rak yat yang setuju area hampir 11 hektare itu diubah menjadi kawasan pusat makanan dan minuman, sedangkan fraksi lain setuju kawasan itu dihijaukan.
Kawasan Senayan mestilah dikembalikan demi sebesar-besarnya keuntungan negara. Yayasan Gelora Bung Karno, yang bernaung di bawah Sekretariat Negara dan mengelola kompleks Senayan setelah selesai Asian Games pada 1962, mesti mengaudit kembali semua perjanjian dengan swasta di kawasan itu. Tarif sewa dan perjanjian dengan pemilik hotel, plaza, dan perkantoran perlu di kaji lagi. Ditengarai banyak perjanjian mengandung ”permainan” yang merugikan negara.
”Permainan” itu beragam. Ada sewa lahan yang terlalu murah, penggunaan area yang tak sesuai dengan ke sepakatan, dan perpanjangan masa sewa yang tidak diikuti kenaikan harga. Beberapa pihak penyewa nakal tak mau menunaikan kewajiban membangun prasarana seperti yang disepakati dalam kontrak. Bahkan ada tanah yang setelah disewa tak dikembalikan lagi kepada negara, dengan sejumlah dalih. Usaha negara untuk membawa perkara ke pengadilan ternyata patah di meja hijau seperti terjadi dalam kasus Hotel Hilton.
Dalam kasus Taman Ria, sebaiknya PT Ariobimo meng upayakan agar tempat itu menjadi semacam kawasan wisata hutan kota. Alternatif lain, kembalikan saja konsesi ke Sekretariat Negara, toh perusahaan itu juga tak mampu memenuhi kontrak untuk membangun area tersebut. Taman Ria perlu hijau kembali untuk menambah luas paru-paru Kota Jakarta yang semakin terdesak hutan beton.
Selanjutnya, tugas Sekretariat Negara adalah membe reskan aset negara di Senayan yang berada di tangan 19 perusahaan swasta. Setelah menelusuri satu per satu, majalah ini menemukan banyak kontrak dan perpanjang annya yang berbau korupsi. Jejak-jejak penyelewengan ini perlu ditelusuri lebih jauh.
Di kemudian hari, pemerintah perlu memikirkan penge lola tanah Senayan ini. Sekretariat Negara, yang lebih banyak menangani urusan administrasi negara, bukanlah instansi yang cocok untuk mengurus tanah negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo