Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Plus-Minus Threshold

2 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dodi Ambardi
  • Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia

    Electoral threshold adalah makhluk bernyawa ganda. Isu ini mulai hidup dan beredar pada saat pembikinan Undang-Undang Pemilu 1999. Setelah mati sebentar, ia muncul lagi pada 2003, ketika revisi Undang-Undang Pemilu dilakukan. Lantas mati lagi. Dan kini isu electoral threshold bangun lagi dengan pernik baru.

    Memang, electoral threshold adalah isu penting karena ia menentukan hidup-matinya puluhan partai politik. Aturan ambang batas perolehan suara ini berpotensi membunuh partai-partai yang telah dibangun dengan susah-payah tapi gagal melampaui persentase minimal yang ditentukan.

    Tak aneh jika aturan threshold ini mengundang perlawanan dan melahirkan siasat. Argumen pokok perlawanan mereka bersandar pada isu representasi. Terpotongnya hak partai untuk memasuki DPR karena gagal threshold berarti menghilangkan hak keterwakilan sebagian warga negara. Garis argumen ini penting dan menarik, tapi jauh dari meyakinkan. Yang perlu dibela adalah argumen yang mendukung penerapan threshold. Mari kita lihat.

    Argumen representasi

    Representasi dalam demokrasi bisa dirangkum dalam rumusan sederhana: setiap warga negara dan kelompok sosial dalam masyarakat mendapatkan wakilnya dalam proses politik dan pembuatan kebijakan publik. Namun tuntutan kepraktisan demokrasi modern mengharuskan proses perwakilan yang berbasis blok pemilih yang diandaikan memiliki kepentingan yang sama. Partai politik karena itu tidak mendekati si Suta atau si Wayan, tapi blok petani di mana Suta adalah satu di antaranya dan blok Bali di mana Wayan adalah bagiannya.

    Tautan antara partai dan pemilih kemudian bisa diiba ratkan sebagai sebuah signaling game. Sekelompok blok pemilih memberikan signal ke partai politik dengan meng artikulasikan kepentingan atau nilai kolektifnya. Ini bisa dilakukan melalui demonstrasi, petisi, surat pembaca, reportase media massa, Internet, atau temu muka. Lantas partai politik memberikan signal-nya pula dengan menunjukkan bahwa partai itu memperhatikan kepentingan blok pemilih tersebut dengan menawarkan platform kebijakan publik yang menguntungkan mereka.

    Urutan proses signaling game juga bisa dibalik. Partai politik memberikan signal ke pemilih dengan mengumumkan program atau alternatif kebijakan publiknya ke khalayak ramai. Kelak, dalam pemilu, blok pemilih akan memberikan signal-nya berupa dukungan pencontrengan.

    Dengan melakukan penyederhanaan logika, secara teoretis bisa dikatakan bahwa sebuah partai mewakili minimal sebuah blok pemilih yang memiliki sebuah arus kepentingan kolektif. Argumen penentangan terhadap aturan threshold bertolak dari sini. Jika aturan itu memangkas 29 partai politik dalam Pemilu 2009, sejumlah besar blok pemilih kehilangan hak keterwakilannya. Dijumlahkan, berbasis data KPU, angka total suara hilang tersebut mencapai 18 persen. Argumen anti-threshold akan berbunyi bahwa ini jumlah yang cukup besar, karena kalau dimasukkan ke urutan pemenang pemilu legislatif, persentase itu berada pada urutan kedua. Karena itu, argumen itu bisa berlanjut, demi demokrasi janganlah representasi itu dihilangkan.

    Garis argumen jenis ini terkesan kukuh, karena itu diulang terus dalam perdebatan tentang threshold. Pening katan level threshold ke angka 5 persen juga dihadapi dengan argumen kuantitatifnya, yakni semakin banyak suara hilang semakin tidak representatif sebuah sistem kepartaian.

    Klaim hilangnya keterwakilan ini penting. Namun siapakah yang tidak terwakili? Argumen ini mengasumsikan beberapa hal. Pertama, seolah suara hilang itu adalah sebuah kelompok solid yang memiliki sebuah kepentingan kolektif yang berbeda dengan kelompok lain. Kenyataannya, mereka tersebar di berbagai wilayah, terdiri atas beragam suku, dan terpatok pada kelas yang berbeda-beda. Dalam signaling game, mereka pasti memberikan signal yang berlainan, yang tak bisa dirangkum oleh satu partai secara sekaligus. Karena itu, membundel mereka ke dalam satu blok pemilih tak cocok dengan realitas. Di samping itu, para pembela argumen ini tidak menyediakan diri untuk secara spesifik mengidentifikasi kelompok yang kehilangan suara ini.

    Kedua, kita juga mesti membuat pengandaian bahwa partai yang hendak merangkum ”kepentingan kolektif” suara hilang itu memang memberikan tawaran alternatif yang berbeda dengan partai-partai yang lolos threshold. Pro blemnya, kita tak pernah mendengar tawaran alternatif itu. Ide konfederasi partai yang belakangan santer terdengar, kalaupun para elitenya membungkusnya dengan retorika tentang kesamaan visi, sesungguhnya lebih mencerminkan pikiran elite partai yang terlibat, tapi belum tentu bertautan dengan kepentingan publik pemilihnya.

    Ketiga, postur ideologis berbagai partai politik di Indonesia semakin luruh karena rata-rata mereka berme tamorfosis menjadi catch-all party partai yang hendak merangkum semua blok pemilih. Akibatnya, posisi partai yang lolos threshold dan yang gagal threshold sesungguhnya bersifat substitutif. Artinya, fungsi artikulatif blok suara dari partai yang gagal threshold bisa tergantikan oleh partai yang sudah ada. PPNUI, misalnya, bisa tergantikan oleh PKB, Partai Matahari Bangsa oleh PAN, atau PNI Marhaen bisa dirangkum oleh PDIP. Blok suara masing-masing ”pasangan” partai ini berimpitan atau bahkan bisa dikatakan sama persis.

    Belum lagi kalau kita berpikir bahwa tautan elektoral antara partai politik di Indonesia dan massa pemilihnya tak melulu berbasis program atau kebijakan. Jaringan kekerabatan, network pergaulan, dan politik uang kerap mewarnai proses mobilisasi suara pemilih. Ketiganya tak berkaitan dengan tautan programatik yang seharusnya menjadi basis keberadaan sebuah partai. Pertanyaannya, mengapa kita harus membela ide penerapan threshold.

    Argumen threshold

    Ukuran baku kemanfaatan sebuah peraturan adalah sejauh mana ia membawa kebaikan bagi publik. Jika efek aturan threshold pada dasarnya bertujuan menyederha nakan sistem kepartaian dengan cara mengurangi jumlahnya, jumlah partai yang lebih kecil semestinya memberikan pula kebajikan yang lebih banyak pada publik pemilih. Mengapa jumlah partai yang kecil lebih bermanfaat bagi publik pemilih?

    Jawaban atas pertanyaan ini bertolak dari tingkat kemampuan pemilih mengolah informasi sebelum mengambil keputusan politik memilih partai atau kandidat. Kata kanlah sebuah partai politik mengolah lima isu publik yang dianggap penting untuk ditangani, dan masing -masing isu menuntut sebuah kebijakan publik untuk penyelesaiannya. Ini berarti bahwa partai tersebut akan menawarkan lima paket kebijakan ke pemilih untuk dipertandingkan dalam pemilu.

    Jika di sana ada 44 partai politik yang bertanding, dan setiap partai politik mengajukan lima paket kebijakan, setiap pemilih harus mampu mendapatkan, mencerna, meng olah, dan mengevaluasi 220 paket kebijakan. Siapa pemilih yang mampu mencerna dan mengolah paket informasi sebanyak itu?

    Umumnya, pemilih bukanlah sosok canggih yang mampu mengolah informasi sebanyak itu. Ini bukan gejala khas di Indonesia yang mayoritas pemilihnya berpendidikan tingkat dasar. Di negara maju pun pemilih bukanlah sosok canggih sebagai pengolah informasi apalagi informasi politik. Jangankan mengevaluasi, untuk informasi dasar tentang lembaga politik saja (kerja parlemen, kepresiden an, atau partai politik) mereka tidak banyak tahu.

    Penjelas utama bahwa pemilih umumnya tidak canggih adalah karena sempit dan luasnya rentang minat me reka untuk memperhatikan, mengumpulkan, dan mengolah informasi politik. Angka 220 paket kebijakan adalah setumpuk informasi yang tak akan terkelola dalam benak mayoritas pemilih. Belum lagi kita berbicara tentang berbagai isu kebijakan publik yang dikelola di DPR, yang juga mengharuskan pemilih mengikuti perdebatan di DPR dan mengidentifikasi posisi partai-partai dalam isu publik itu.

    Lain halnya dengan jumlah partai yang sedikit, sekitar 5-6 partai politik. Tumpukan informasi yang terbeban kan kepada pemilih untuk mengelola informasi tentang pilihan kebijakan yang diajukan oleh partai politik akan berkisar 25-30 paket kebijakan. Dan ini mungkin bisa terkelola dengan bagus. Jika kita menginginkan dua hal sekaligus yakni partai membangun tautan programatik dengan konstituennya dan pemilih membuat keputus an rasional atas pilihan politiknya pengurangan jumlah partai melalui mekanisme threshold adalah salah satu cara jitu untuk melakukannya.

    Namun arti penting threshold juga bisa dilihat dari disinsentif yang diberikannya. Semakin tinggi tingkat threshold itu semakin tinggi pula disinsentif pendirian partai politik mengingat biaya finansial dan biaya ”sosial” yang harus dibelanjakan oleh para politikus yang berambisi mendirikan partai juga semakin tinggi. Ini berarti, jika seorang politikus atau sekelompok politikus ingin mendirikan sebuah partai, keseriusan untuk membangun tautan elektoral dan programatik dengan calon konstituen akan dikerjakan lebih serius pula. Dan pemilih pada esensinya akan belajar menjadi lebih rasional dengan memberikan suara pada partai yang memiliki peluang lolos threshold sekaligus paling dekat postur kebijakannya dengan kepentingan mereka.

    Selain itu, aturan threshold tak melulu berarti kabar buruk bagi partai menengah dan kecil. Sebagai ilustrasi, ide konfederasi menunjukkan betapa kenyalnya makhluk yang bernama partai politik. Mereka bisa merespons dengan jitu bagaimana menyiasati ambang threshold yang selama ini dibicarakan untuk ditingkatkan ke lima persen.

    Ide konfederasi tentu bisa diakomodasi. Namun konfederasi itu akan membentur tujuan aturan threshold jika proses penyederhanaan sistem kepartaian tak teraih. Jika lambang dan nama partai yang berkonfederasi diperbo lehkan terpampang dalam kertas suara, sesungguhnya tidak ada gunanya aturan threshold itu.

    Soal tingkat threshold 4 atau 5 persen tentu bisa didiskusikan. Tapi pelaksanaan aturan threshold yang konsisten dan progresif kita perlukan untuk perbaikan sistem kepartaian dan untuk menginduksi terbentuknya pemilih rasional. Seperti membaca komik, kita perlu bergerak maju, dan tidak terus berkutatan di jilid pertama.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus