Jauh-jauh hari Bank Indonesia telah membuat proyeksi tentang defisit yang akan dialaminya dua tahun ke depan (tahun 2004 dan 2005). Rinciannya, defisit tahun 2004 sebesar Rp 7,8 triliun, dan tahun 2005 Rp 6 triliun. Dampaknya, CAR Bank Indonesia (BI) merosot di bawah 5 persen. Sesuai dengan pembicaraan dengan pemerintah (c/q Departemen Keuangan), bila terjadi defisit, celah besar yang ditimbulkannya pada kas BI tidak bisa ditutup dengan surat utang tapi harus dengan uang tunai sebesar Rp 12 triliun. Masalahnya kini, tinggal menunggu persetujuan DPR.
Kewaspadaan BI mengantisipasi defisit tentu patut dipujikan. Transparansi yang menyangkut kinerja BI juga menakjubkan. Bank sentral rupanya tidak sekadar mengingatkan pihak-pihak lain agar waspada, tapi juga menuntut perhatian mereka pada masalah kesehatan BI. Masyarakat dianggap perlu mengetahui bahwa, jika BI defisit, lembaga penjaga stabilitas moneter ini tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
Singkat cerita, dalam APBN perlu dialokasikan dana Rp 12 triliun untuk menutup defisit BI. Konsekuensi seperti inilah yang tidak disetujui Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Satrio B. Joedono. Ia mengimbau agar DPR mempelajari semua informasi tentang bantuan likuiditas BI (BLBI)—yang menjadi biang defisit BI—dan dampaknya terhadap APBN. Ketua BPK ini agaknya sulit menerima bahwa dana Rp 12 triliun itu harus dibebankan kepada rakyat.
Tapi, yang juga tidak kurang penting dari itu adalah sesuatu yang lain di balik defisit, yakni masalah kesehatan bank sentral. Ternyata, selain mengucurkan ratusan triliun BLBI, BI juga menyimpan beberapa kasus yang menyangkut kebocoran uang triliunan rupiah dan sejauh ini belum terungkap keluar. Ketua BPK, yang berwenang menangani laporan keuangan BI, tampaknya juga tidak menyadari hal itu. Dan penyebabnya tak lain karena ada 10 halaman pada hasil audit BPK atas kinerja Yayasan Kesejahteraan Karyawan BI (YKKBI) yang tidak dimuat dalam Hasil Pemeriksaan Semester I tahun 2001. Dokumen itu lenyap entah ke mana (baca, Lembaran yang Raib). Akibatnya, hasil audit BPK atas kinerja YKKBI tersebut selama dua tahun tidak diumumkan ke publik.
Dari audit BPK diketahui bahwa YKKBI, yang beraset Rp 3 triliun dan didirikan untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan, ternyata melakukan investasi (senilai Rp 533 miliar) ke 22 perusahaan yang tidak ada kaitannya dengan karyawan BI. Malangnya, gara-gara investasi yang tidak cermat itu, YKKBI merugi miliaran rupiah. Yang mencolok adalah penyertaannya di PT Mekar Prana Indah untuk proyek pengadaan Sistem Kliring Elektronik Jakarta (SKEJ) pesanan Bank Indonesia.
Alkisah, pada awal 1997—sebelum krisis moneter—YKKBI mengucurkan dana Rp 227 miliar (waktu itu setara dengan US$ 100 juta). Dari angka ini langsung bisa dipastikan sudah terjadi penggelembungan, karena harga mesin kliring paling tinggi cuma US$ 3 juta. Kenyataan bahwa BI menugasi YKKBI agar membeli mesin kliring, lalu yayasan mensubkontrakkan lagi pembelian itu pada sebuah perusahaan lain, jelas tak bisa dibenarkan. Apalagi, setelah uang dihamburkan, BI masih harus menyewa mesin itu pada perusahaan yang sama.
Investasi adalah sesuatu yang sah-saja dan bisa dilakukan dalam banyak cara. Hanya, apa yang dilakukan YKKBI lebih tepat disebut sebagai penggerogotan aset yang sangat mirip dengan praktek korupsi, kolusi, nepotisme (KKN). Kebocoran ratusan miliar pada kas yayasan mungkin tidak berdampak langsung pada kesehatan BI—yang diprediksi akan terancam defisit dua tahun ke depan. Tapi, fakta bahwa praktek KKN itu terjadi langsung di bawah mata Gubernur BI membuat kita bertanya, benarkah bank sentral defisit hanya karena BLBI atau ada hal-hal lain yang tidak terungkap selama ini. Dan kita semakin risau karena Undang-Undang BI No. 23 Tahun 1999 tidak pula menetapkan kepada siapa otoritas moneter ini harus bertanggung jawab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini