Sebagai ujung tombak operasi pemulihan keamanan, TNI menghadapi berbagai cobaan di daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Upaya memerangi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) rupanya menghadapi berbagai masalah. Maklum, yang diperangi itu orang ”sipil bersenjata”. Sehingga, ketika terjepit, tentu dengan mudah pihak lawan itu membuang senjatanya untuk berbaur kembali ke masyarakat sipil. TNI mengalami kesulitan dalam memilah-milah yang mana GAM dan yang mana bukan GAM jika tidak ada petunjuk yang jelas dari masyarakat setempat. Adalah kenyataan bahwa banyak masyarakat Aceh yang takut menunjuk hidung yang mana anggota GAM, karena khawatir mendapat ancaman di lain hari.
Kesulitan ini jelas terlihat setelah ”perang Aceh” berlangsung beberapa hari. Kontak senjata antara TNI dan GAM sering terjadi. Tetapi, begitu kontak senjata berakhir, pasukan TNI tak menemukan ke mana perginya anggota GAM. Mereka seperti hilang tertiup angin, tanpa bekas dan jejak. Yang ada adalah sejumlah masyarakat sipil yang sulit dilacak apakah itu GAM atau bukan. Jikapun diperiksa, tak seorang pun mengaku GAM.
Peristiwa seperti itulah yang terjadi ketika pasukan TNI dari kesatuan Batalion Infanteri 144/Jaya Yuda Kodam Sriwijaya menyergap sarang GAM di Desa Lawang, Peudada, Bireuen. Terjadi kontak senjata yang seru. Begitu saling tembak jeda, tujuh prajurit TNI langsung merangsek ke desa. Ternyata tak ada seorang pun anggota GAM yang dapat mereka temukan. Mereka kumpulkan warga yang ada di sana ke sebuah surau. Ada delapan pria dan 25 wanita yang mereka kumpulkan.
Di sinilah kesalahan utama tujuh prajurit TNI. Mereka memaksa beberapa lelaki supaya menunjukkan ke mana anggota GAM itu lari, padahal mereka sendiri bukan GAM. Cara pemaksaan itu dengan melakukan kekerasan. Kepala Desa Lawang, Hamdani Yahya, misalnya, dianiaya sampai luka pada mata kirinya. Maimun Ahmad mengalami luka memar karena dipukul. Rozali, warga desa yang lain, bahkan sempat pingsan karena dipukuli di bagian perut.
Cara-cara seperti ini memang melanggar disiplin prajurit, betapapun kawasan itu dinyatakan sebagai darurat militer. Seorang tentara tak boleh menyiksa warga sipil yang tidak bersenjata. Mereka justru harus melindungi warga sipil karena tujuan operasi pemulihan keamanan di Aceh adalah mengayomi rakyat dari aksi kekerasan GAM.
Yang patut dipuji dari pimpinan TNI sekarang adalah tidak membiarkan kelalaian itu berlalu begitu saja. Ketujuh prajurit itu kini diadili di mahkamah militer Banda Aceh, yang mengambil lokasi sidang di Pengadilan Negeri Lhokseumawe. Ada tiga prajurit—berkasnya dibagi dua—yang proses hukumnya sudah hampir rampung. Mereka adalah Pratu Saiful Bahri (29 tahun), Prada Tony Haryanto (22 tahun), dan Prada Agus Widayat (24 tahun). Empat yang lain segera menyusul disidangkan.
Pimpinan TNI tampaknya mau belajar dari masa lalu. Pada era pemerintah Soeharto, Provinsi Aceh dinyatakan sebagai daerah operasi militer (DOM). Ketika itu berbagai tindak kekerasan TNI terhadap rakyat sipil tak pernah dianggap serius, apalagi sampai diproses secara hukum. Ini membuat masyarakat Aceh sangat tidak simpatik kepada tentara dan juga memberi lahan subur bagi berkembangnya GAM.
Sekarang, hal-hal yang dulu dianggap ”remeh”, seperti memukul dan menendang orang, tak bisa dibiarkan begitu saja. Tentu ini langkah maju. Bukan saja karena operasi di Aceh menghadapi sorotan banyak pihak, tetapi juga memberi pelajaran ke dalam, bagaimana seorang prajurit harus disiplin. Dengan mengadili dan kemudian menghukum yang bersalah, prajurit lainnya jadi sadar betapa pentingnya mengendalikan emosi, meski dalam perang. Proses mahkamah militer yang cepat ini juga membuat TNI lebih ”bersih” dan tidak dibebani kasus yang membuat persoalan menggantung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini