Kita, di tempat yang jauh dari Myanmar, hanya bisa membayangkan satu hal. Aung San Suu Kyi saat ini mungkin hanya ditemani empat dinding yang bisu, terisolasi dari rakyatnya dan dunia. Selebihnya, hanya kaum junta militer dan Tuhan yang tahu apakah Aung San Suu Kyi benar ”sedang dilindungi” (seperti kata junta) atau sedang diteror; apakah Suu Kyi memang ”baik-baik saja” (seperti kata junta) atau benar terluka akibat pukulan dalam insiden Tayiban—kita sebut saja demikian—dua pekan silam. Insiden itu terjadi dua pekan silam, saat Suu Kyi dan pendukungnya dari National League for Democracy (NLD) tengah melawat ke daerah. Mereka diserang dengan tembakan dan katapel oleh tentara Asosiasi Uni Solidaritas dan Pembangunan (USDA), yang mendukung rezim militer Myanmar. Korban pun berjatuhan pada pagi buta itu. Menurut laporan resmi, akibat insiden itu, empat orang tewas dan 50 orang luka-luka. Sedangkan menurut laporan yang dirilis pihak oposisi, jumlah korban yang tewas mencapai 70 orang dan 200 lainnya luka-luka.
Insiden ini sebetulnya adalah sesuatu yang tidak mengejutkan bagi para pemerhati hak asasi manusia, dan seisi dunia, yang sudah mengetahui tabiat sebuah rezim militer. Tetapi, meski kita tak mengharapkan ini terjadi, toh kita masih saja ”takjub” melihat masih ada pemerintah yang begitu nyata melakukan opresi terhadap lawan politiknya.
Rezim militer Myanmar—yang lebih suka menyebut dirinya sebagai pemerintah Myanmar—sudah beberapa kali menahan sang Daw (sebutan bagi perempuan di Myanmar) Suu Kyi berdasarkan alasan-alasan yang tak masuk akal kecuali mereka merasa terancam akan kepopuleran perempuan perkasa itu di antara rakyat. Bagaimana tidak. Dia adalah putri pahlawan kemerdekaan Myanmar, Aung San. Di bawah bendera partai oposisi National League for Democracy (Liga Demokrasi Nasional), Suu Kyi berhasil memenangi 392 dari 485 kursi di parlemen pada tahun 1990. Toh junta militer menolak mengakui kemenangan itu dan lebih rajin menahan perempuan perkasa itu beberapa kali. Ketika Suu Kyi dibebaskan tepat setahun silam, dunia juga tak serta-merta menganggap rezim ini mendadak telah mengalami sebuah pencerahan politik. Pembebasan itu disambut; tetapi dengan 1.300 tahanan politik yang masih mendekam di penjara—dan reputasi kekejaman penyiksaan bagi para tahanan—dunia tetap tak percaya bahwa Suu Kyi akan bisa menyelenggarakan kegiatan politiknya secara bebas dan adil. Yang membedakan insiden Tayiban ini dengan tragedi adalah bahwa kini kita tak tahu di mana sang Daw berada. Sementara di masa lalu lazimnya Suu Kyi kena tahanan rumah, kini kita tak tahu lokasi penahanannya, perlakuan terhadap dirinya, dan apakah dia memang mengalami memar-memar luka pukul seperti yang diutarakan pihak oposisi.
Masyarakat internasional, PBB, ASEAN, dan seluruh perangkat yang memiliki daya tawar yang tinggi bukan hanya harus mengimbau, tetapi juga mesti menekan pemerintah Myanmar—melalui berbagai upaya diplomatik dan jika perlu sanksi keras—supaya membebaskan Suu Kyi dan kembali kepada apa yang selalu ditekankan perempuan luar biasa ini: perjuangan tanpa kekerasan. Tetapi, sekali junta tetap junta. Tampaknya mereka tak akan paham cara menyelenggarakan pemerintahan tanpa paksaan dan kekerasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini