KEBERANGKATAN Ali Alatas ke Swedia menarik disimak. Kunjungan diplomat kawakan Indonesia ini ke Stockholm, pekan lalu, jelas berkaitan dengan operasi pemulihan keamanan yang sedang digelar di Aceh. Dari sisi kepentingan Indonesia, mematahkan kegiatan GAM harus sampai ke pangkalnya. Garis kepemimpinan gerakan pemberontak mesti diputus. Karena itu, Hasan Tiro, pemimpin tertinggi GAM yang berada di Swedia, harus dikunci habis ruang geraknya.
Sekarang Jakarta berupaya meyakinkan pemerintah Swedia agar menghukum Hasan Tiro dan Zaini Abdullah, karena kedua orang yang sudah jadi warga negara Swedia itu berbuat kejahatan memimpin pemberontakan separatisme dan melakukan tindakan teror dengan kekerasan di negara Indonesia.
Siasat memburu tanpa henti sampai yang dikejar terpojok dan roboh itu memang bagus untuk menghabisi perlawanan. Itu taktik standar yang sudah lama dikenal. Soalnya ialah bagaimana dan bilamana itu harus dilakukan, karena dua hal itu ikut menentukan berguna-tidaknya siasat itu dijalankan. Justru dalam kedua hal itulah—soal waktu dan cara—usaha pemerintah Indonesia minta Hasan Tiro dihukum oleh pemerintah Swedia kelihatan kurang tepat. Apalagi kalau diiringi ancaman memboikot produk ekspor negeri itu atau membekukan hubungan diplomatik dengan Swedia. Berlebihan, tergesa-gesa, dan tidak perlu.
Memang, asas yuridis yang dipakai pemerintah Indonesia mengenai kejahatan Hasan Tiro bukannya tidak berdasar. Pada hakikatnya, setiap negeri melarang warganya melakukan kejahatan terhadap negara sahabatnya. Hukum pidana Indonesia sendiri melarang, dengan ancaman hukuman penjara lima tahun, perbuatan ”makar dengan maksud melepaskan wilayah atau daerah lain dari negara sahabat, untuk seluruhnya atau sebagian dari kekuasaan pemerintah yang berkuasa di situ”. Prinsip yang serupa tentu berlaku juga di negara Swedia.
Dalam masalah pidana, baik di Indonesia maupun Swedia, tindakan kejahatan bisa dihukum oleh pengadilan bila terdapat bukti-buktinya. Pembuktiannya dilakukan melalui proses dan persyaratan tertentu yang sah. Ketika pihak Indonesia menuntut agar pemerintah Swedia bertindak, masalah pembuktian dan prosedur pengusutan di negeri itu menjadi pagar penghambat untuk menghukum Hasan Tiro begitu saja seperti yang diinginkan. Karena itu, misi Ali Alatas kali ini—sebelumnya juga pernah ke sana, tapi rupanya kurang berhasil—membawa bukti-bukti yang lebih lengkap tentang keterlibatan Hasan Tiro dalam teror dan kejahatan terhadap negara sahabat.
Tentu saja kita berharap memang bukti-bukti yang dibawa akan cukup jadi petunjuk bagi lembaga penegakan hukum di Swedia untuk mengusut Hasan Tiro. Kegiatan pembakaran ratusan sekolah, misalnya, jelas akan dilihat sebagai tindakan kriminalitas yang keji di Swedia. Persoalannya tinggal sejauh mana kekuatan bukti yuridis yang mengaitkan kebiadaban itu dengan GAM dan Hasan Tiro. Ini soal kriminal biasa dan jangan terburu-buru dikacaukan sebagai masalah hukum internasional.
Dari Jakarta, keterlibatan Hasan Tiro dalam pemberontakan GAM memang dilihat sebagai sesuatu yang amat jelas. Aneh kalau masih ada yang sangsi. Akibatnya, kalau langkah pemerintah Swedia kurang sesuai dengan pandangan itu, langsung timbul kesan bahwa Swedia memang sengaja tidak mendukung Indonesia. Karena pandangan itu dari sudut politik, harapan yang timbul juga bersifat politis, dan penilaian ataupun kekecewaan terhadap Swedia juga di bidang politik. Lalu akibatnya menimpa hubungan antarnegara, yang menjadi tegang. Inilah yang tidak perlu. Sebab, sebenarnya hambatannya terletak di bidang yuridis. Bahwa rombongan Tim Utusan Khusus Ali Alatas membawa alat-alat bukti hukum, itu menunjukkan memang letak soalnya lebih di bidang yuridis.
Sebaliknya, dilihat dari sisi Swedia, tekanan Indonesia boleh jadi terasa mengada-ada. Kalau Hasan Tiro dan GAM dianggap teroris, misalnya, mengapa sampai awal bulan lalu pemerintah Indonesia mengadakan perundingan resmi dengan GAM? Lantas, setelah perundingan macet, tiba-tiba Jakarta meminta tokoh GAM di Swedia dihukum dan, bila hal itu tidak dilakukan, berbagai ancaman dilontarkan: boikot produk Swedia, kutukan, bahkan hingga pemutusan hubungan diplomatik.
Ini menunjukkan sasaran kebijakan pemerintah yang sesungguhnya mengenai Hasan Tiro masih belum jelas benar. Tentu saja bisa diduga bahwa bukan memburuknya hubungan dengan Swedia yang jadi tujuan, melainkan Hasan Tiro dan kawan-kawannya yang ingin ditelikung.
Jika sebetulnya Hasan Tiro dan GAM yang jadi sasaran, melalui cara diplomasi biasa—tentu yang dikerjakan dengan baik—pemerintah Swedia bisa diajak bekerja sama mengatasinya. Jadi, tugas utama Utusan Khusus Ali Alatas bukanlah menekan Swedia, melainkan justru meningkatkan hubungan kedua negara. Bila hubungan itu bisa ditingkatkan mendekati keakraban Jakarta-Bangkok, tentu akan banyak faedahnya. Terbukti kerja sama menekan GAM di Negeri Gajah Putih itu cukup dilakukan melalui kerja sama antara polisi RI dan mitranya di Thailand, karena memang menyangkut persoalan kriminalitas biasa.
Dalam menyelesaikan masalah GAM, tampaknya pemerintah kurang menajamkan prioritas. Yang penting, memusatkan perhatian ke Aceh dulu dan jangan menambah musuh baru dengan cari perkara ke Swedia. Ingat, kalau garis konfrontasi melebar, tekanan serangan bisa berkurang keampuhannya.
Sementara Amerika Serikat saja merasa perlu membentuk aliansi global dalam ”memerangi terorisme”, apalagi Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini