SEJUMLAH kota di negeri ini pekan lalu seolah menjadi "kota pelajar". Ribuan siswa yang masih lucu-lucu bersama sejumlah guru sering tumpah di jalanan mengusung spanduk sambil meneriakkan sejumlah tuntutan. Bahkan di Jakarta, Kamis pekan silam, sekitar 15 ribu siswa berbondong-bondong ke Gedung MPR/DPR di Senayan. Keinginan yang mereka tegaskan, lewat teriakan ataupun poster, hanya satu: meminta agar pengesahan RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) ditunda.
Aksi semacam digelar buat mempengaruhi proses pengesahan rancangan undang-undang tersebut, yang rencananya dilakukan pekan ini. Bagaimanapun, jika RUU tersebut disahkan menjadi undang-undang, itu akan sangat menentukan arah pendidikan di negeri ini. Kelompok yang berdemo itu cenderung menilai RUU Sisdiknas bisa memicu fanatisme agama. Soalnya, seperti dituturkan oleh Uskup Diosis Amboina, Mgr. P.C. Mandagi, roh rancangan ini lebih diwarnai kepentingan agama ketimbang mencerdaskan bangsa. "Saya tidak ingin negeri ini terpecah-pecah gara-gara produk yang tidak dipikirkan matang-matang," ujarnya seusai bertemu dengan Ketua MPR Amien Rais, di Senayan, pekan silam.
Soal roh itu pula yang menyebabkan pembahasan rancangan ini sampai pekan lalu berlangsung panas dan alot di parlemen. Padahal DPR sudah menjadwalkan, pengesahan RUU Sisdiknas akan dilakukan dalam rapat pleno parlemen pada 10 Juni ini.
Dalam rapat konsultasi yang digelar pemimpin DPR dengan wakil dari sembilan fraksi, Rabu pekan lalu, persoalan yang diperdebatkan mengerucut pada pasal 3 dan 4. Hadir juga dalam rapat ini Menteri Pendidikan Nasional Abdul Malik Fadjar.
Dalam pasal 3 RUU ini dinyatakan, "Pendidikan nasional berfungsi mencerdaskan kehidupan bangsa…." Sedangkan dalam pasal 4, yang dianggap sebagai roh rancangan ini, disebutkan, "Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa…."
Kalangan Fraksi Reformasi dan Fraksi PPP menginginkan agar rumusan tersebut dipertahankan. Tapi Fraksi PDIP, disokong oleh TNI/Polri, cenderung menghendaki tujuan dan fungsi pendidikan ditukar agar rohnya berubah, sehingga inti rumusannya menjadi: tujuan pendidikan adalah mencerdaskan bangsa dan fungsinya adalah membentuk manusia yang beriman dan bertakwa.
Sikap pemerintah? Berada di tengah. Menurut Malik Fadjar, pihaknya berusaha menghindari voting dalam pengesahan RUU Sisdiknas di rapat pleno parlemen. Dia menghendaki adanya kesepakatan dan aklamasi yang menunjukkan tanggung jawab dan kerelaan dari berbagai pihak untuk melaksanakan RUU tersebut.
Itu sebabnya, Senin ini, sehari sebelum jadwal pengesahan, akan diadakan lobi-lobi lagi untuk mencapai kesepakatan. Ketua Panitia Kerja RUU Sisdiknas, Anwar Arifin, optimistis rancangan ini bisa disahkan dengan mulus. Apalagi pasal 13 yang sempat mengundang pro-kontra berkepanjangan sudah disetujui oleh semua fraksi. Inti pasal itu, setiap peserta didik pada tiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Pasal yang dijuluki sebagai "pasal agama" itulah yang membuat RUU tersebut urung disahkan pada 2 Mei silam bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Karena perdebatan publik yang terus memanas tentang pasal ini, RUU pun tidak jadi disahkan pada 20 Mei lalu bersamaan dengan Hari Kebangkitan Nasional.
Kalangan yang kurang srek, terutama dari tokoh Kristen dan Katolik, menilai pasal itu cenderung mengesahkan campur tangan negara yang berlebihan terhadap urusan agama. Tapi lama-lama perdebatan ini mereda dan akhirnya fraksi-fraksi di parlemen sepakat untuk tidak mengutak-atik lagi pasal ini.
Belakangan, seperti yang terungkap dalam rapat konsultasi fraksi-fraksi pekan lalu, sempat mencuat pula perdebatan tentang pasal 3 ayat 1. Dalam pasal ini dinyatakan, "Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari agama yang diakui oleh negara." Lalu, dalam penjelasannya disebutkan, agama yang diakui oleh negara itu adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha.
Tentu rumusan itu mengundang tentangan dari kalangan di luar lima agama tersebut. Itu sebabnya pihak PDIP mengusulkan agar rumusan itu diubah. Sebelum terjadi perdebatan berhari-hari, akhirnya disepakati adanya rumusan baru. Kata-kata "agama yang diakui oleh negara" dihapus, lalu diganti dengan "agama yang diakui menurut peraturan perundang-undangan." Rumusan ini memang lebih netral.
Usulan anyar juga muncul lagi berkaitan dengan konsiderans RUU tersebut. Dalam rancangan yang disepakati oleh Panitia Kerja RUU ini pada 25 April silam, hanya UUD 1945 dan undang-undang yang dicantumkan dalam konsiderans. Nah, belakangan, kalangan PDIP menyodorkan gagasan agar alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 dimasukkan ke dalam konsiderans-a.
Masalah tersebut juga tidak terlalu mengundang pro-kontra yang berlebihan. Pekan lalu, fraksi-fraksi telah menyetujui gagasan itu. Jadi, disepakati bahwa tujuan Negara RI, yaitu melindungi segenap dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan seterusnya, dicantumkan dalam konsiderans.
Setelah semua ganjalan itu dilalui, ujungnya ya itu tadi. Dari 72 pasal dan 22 bab RUU Sisdiknas, tinggal soal roh (pasal 3 dan 4) yang menjadi batu sandungan terakhir.
Mungkinkah hal itu bakal terlewati? Yang pasti, sampai akhir pekan lalu, Fraksi Reformasi dan sejumlah partai Islam masih mempertahankan sikap semula. Artinya, mereka ngotot agar fungsi dan tujuan pendidikan tak perlu ditukar. Sebab, menurut Ketua Fraksi Reformasi, Ahmad Farhan Hamid, kedua pasal ini sudah serasi dengan konsiderans. Ekspresi alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, katanya, terwujud pada pasal 3, yang mengatur fungsi pendidikan. Sedangkan semangat Pasal 31 ayat 3 UUD 1945 (yang dijadikan konsiderans-b RUU ini) ditumpahkan pada pasal 4, yang mengatur tujuan pendidikan. Dalam Pasal 31 ayat 3 UUD 1945, yang mengatur sistem pendidikan nasional, memang disebut soal meningkatkan iman dan takwa. "Jadi, kalau kita bolak-balik, malah rusak," ujar Farhan kepada TEMPO, Jumat pekan lalu.
Wakil Presiden dan juga Ketua Umum PPP Hamzah Haz pun mengingatkan agar RUU Sisdiknas tak perlu diperdebatkan lagi. Alasannya, substansi utama dalam rancangan ini justru membangun kultur masyarakat Indonesia yang religius. Karena itu, kata Hamzah pekan lalu, "Sebaiknya DPR segera mengesahkannya."
Kubu yang menghendaki RUU itu tidak perlu diutak-atik lagi memang berada di atas angin. Menurut Muhammadi dari Fraksi Reformasi, selain oleh PPP dan PBB, pihaknya bakal didukung oleh Golkar. Kalaupun diadakan voting dalam rapat paripurna, kelompok ini bisa unggul menghadapi PDIP, yang disokong oleh Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia. Bagi Muhammadi, jika RUU tersebut tidak disahkan pada 10 Juni, hal itu justru mengundang kerawanan dengan munculnya serangkaian demo tandingan.
Hanya, kubu PDIP pun tetap bersikukuh pada sikapnya. Diakui oleh Ketua Fraksi PDIP, Roy B.B. Janis, banyak fraksi yang menginginkan RUU tersebut segera disahkan. Tapi pihaknya tetap berkeberatan jika ganjalan tentang "roh pendidikan" itu diselesaikan lewat voting. Andai kata cara ini dipaksakan, katanya, PDIP tidak akan ikut memberikan suara. Walk out? "Ya, pokoknya tak ikut dalam pengambilan keputusan," ujarnya kepada TEMPO, Jumat pekan lalu.
Repot memang. Untuk menghindari manuver semacam itu, Roy berharap pengesahan RUU tersebut diundurkan saja. Soalnya, masyarakat dalam keadaan "panas" dan demo-demo berlangsung terus. Dalam situasi seperti ini, sulit dicapai kesepakatan dan kesalingmengertian. Jadi, katanya, "Sebaiknya kita cool down dulu."
Sikap yang sama ditegaskan oleh Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKP Indonesia), yang dipimpin oleh Jenderal (Purnawirawan) Edi Sudradjat. Dalam pernyataan pers yang diteken oleh Edi Sudradjat pada Kamis pekan lalu, partai ini menyerukan agar RUU tersebut ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan. "Selanjutnya, Presiden segara mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk memberlakukan (kembali) UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas," begitu seruan PKP Indonesia.
Segala pro-kontra itu mudah-mudahan bermuara pada kesepakatan lewat lobi-lobi di parlemen Senin ini. Jika RUU tersebut mesti ditunda, pihak yang menginginkan pengesahan secepatnya mesti ikhlas. Begitu pula sebaliknya. Seperti dikatakan oleh Malik Fadjar, kelompok yang berkeberatan dengan RUU ini perlu juga berbesar hati jika ternyata ujungnya rancangan ini disahkan dalam rapat pleno parlemen.
Nurdin Kalim, Ardi Bramantyo, Hanibal W.Y.W., Tempo News Room
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini