HARI itu imam salat Jumat di masjid sedang berkhotbah. Ia menjelaskan halalnya tembakau. Selebaran yang menyatakan tembakau haram dibuat oleh seorang pedagang untuk kepentingan bisnisnya, ujar imam. Tiba-tiba ratusan perempuan bercadar hitam masuk masjid. Mereka berteriak, mengecam imam. Imam terus berkhotbah, dan perempuan-perempuan itu tetap berteriak-teriak. Suasana di masjid gaduh. Serombongan perempuan itu naik mimbar dan menurunkan imam. Ini terjadi di Masjid Syah di Iran, tanggal 3 Jumadil Akhir 1309 Hijrah (1889 Masehi). Apa pasal? Nasiruddin Syah baru saja menandatangani konsesi dengan perusahaan tembakau Inggris. Inggris diberi hak monopoli untuk pembelian, penjualan, dan pengolahan tembakau. Selain itu, mereka juga dibebaskan dari cukai. Para ulama protes. Mereka menganggap konsesi itu sebagai imperlalisme ekonomi. Khotbah-khotbah di masjid mengecam konsesi. Khatib-khatib ditangkap. Mirza Shirazi, marja-i-taqlid, mengirim surat protes kepada Syah. Hapuskan konsesi tembakau dan bebaskan para khatib. Surat itu tak berjawab. Kembali Mirza melayangkan surat. Syah tak acuh. Akhirnya, keluarlah fatwa yang sangat pendek: "Bismillahir rahmanir rahim. Mengkonsumsi tembakau sama dengan menentang Imam Mahdi." Fatwa itu diperbanyak, dikirimkan dengan telegram ke seluruh bagian Iran. Para ulama membacakannya di jalan-jalan. Pemerintah berusaha menyita selebaran itu dan membungkam orang yang mengatakannya. Gagal. Orang-orang tidak mau membeli tembakau. Toko-toko tembakau tutup dan berpak-pak rokok dilemparkan ke tong-tong sampah. Pada Jumat sore minggu itu, tidak seorang pun merokok di seluruh Iran. Bahkan di Istana. Ketika Syah melihat para pelayan menyingkirkan hookah (pengisap tembakau), ia bertanya kepada istrinya, "Siapa yang melarang tembakau?" Istrinya menjawab, "Orang yang sama, yang menghalalkan diri saya untuk baginda!" Syah kemudian mengerahkan ratusan ulama istana untuk menyangkal fatwa Mirza. Rakyat bukan saja tidak peduli, bahkan menurunkan ulama seperti itu dari mimbar-mimbar masjid. Singkat cerita, pemerintah Iran mengalah. Konsesi tembakau dicabut. Untuk sementara, rakyat Iran tenang kembali. Yang tidak tenang adalah para pejabat pemerintah. Mereka melihat bahaya pada setiap fatwa halal dan haram. Di situ ada surga dan neraka -- bukan saja untuk kaum beriman, juga buat penguasa dan pengusaha. Sekarang tembakau menjadi sasaran, kelak siapa tahu. Seratus tahun kemudian, sasaran berikutnya adalah Dancow dan kawan-kawan. Tempatnya memang tidak di Iran, dan keresahannya pun tidak sehebat di Iran. Perbedaannya pun tidak sekadar itu. Di Iran, yang punya lakon adalah seorang ulama tradisional, sedangkan di sini yang punya ulah adalah cendekiawan modern. Yang pertama, ayatullah yang kedua, doktor. Ayatullah mengharamkan tembakau karena tembakau waktu itu melambangkan kezaliman. Sang doktor mengharamkan beberapa jenis makanan karena syubhat (Dancow, konon, tidak masuk daftar). Di sana lawan-lawan ayatullah diturunkan dari mimbar. Di sini, yang tidak sependapat dengan sang doktor dinaikkan ke pesawat terbang dan makan Indomie. Ayatullah dan para pendukungnya sangat "keras-kepala", sehingga pemerintah mengalah. Konsesi dihapus. Institusi ulama rakyat menguat, ulama istana kehilangan pamor. Sebuah sistem baru menggelinding pelan, seperti bola salju, makin besar bersama perjalanan waktu. Nasib sang doktor dan para pendukungnya tidak kita ketahui. Yang jelas, persoalan makanan halal dan haram tidak baru. Pengalaman di sini mengajarkan: keributan isu halal dan haram sebagaimana isu lain -- akan menghilang ditelan waktu. Tidak terjadi perubahan institusional. Lagi pula, ada perbedaan pokok antara tembakau dan Dancow. Pengharaman tembakau lebih abstrak dari Dancow. Tembakau itu sendiri tidak haram. Tembakau menjadi haram karena pengkonsumsiannya mendukung sistem yang opresif. Kata ahli fikih, haramnya itu muqayyad -- bersyarat. Dancow dicurigai haram karena diduga ada lemak babi (dugaan yang kemudian, menurut berita, ternyata salah). Haramnya lemak babi itu tidak dihubungkan dengan apa pun. Haramnya mutlak. Kita, orang Indonesia, sangat peka terhadap haram yang mutlak tetapi hampir tak acuh pada haram yang muqayyad. Jadi, kita sangat ekstrahati-hati pada makanan dan minuman yang diduga haram mutlak -- betapapun kecilnya. Tetapi ada di antara kita yang dengan puas menikmati makanan, minuman, atau ... fasilitas yang diperoleh dengan cara yang haram. Konon, menurut Al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din, pada zaman dahulu hiduplah pemuda saleh, Al-Hatim namanya. Ia mendatangi seorang ulama besar. Tuan Kiai, ajarlah aku berwudu. Aku akan mempraktekkan wudu, dan tunjukkan kesalahanku, ujar Al-Hatim. Ia mulai berwudu: membasuh wajah dan membasuh tangan sampai sejengkal di atas sikunya. Tuan Kiai marah: Haram, haram. Tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah. Al-Hatim menatapnya tajam: Tuan Kiai, engkau haramkan kelebihan sesiuk air. Mengapa tidak kau haramkan kemewahan hidupmu, yang kau peroleh tidak sesuai dengan sunnah Rasul? Al-Hatim benar. Tetapi tampaknya kita lebih senang meniru Tuan Kiai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini