AKHIR pesta bintang film berlangsung tak jauh dari kebun binatang. Di kawasan sepi di Ragunan, Jakarta Selatan Sabtu malam pekan lalu, piala Citra diserahkan dalam upacara yang lamban. Aula gedung Departemen Pertanian memang bukan dirancang untuk pergelaran akbar. Tapi memberi ide, setidaknya buat Menteri Penerangan Harmoko. "Kalau Departemen Pertanian sudah berhasil dengan program swasembada pangan, dalam film pun diharapkan tercapai swasembada film," kata Harmoko, yang disambut meriah. Harmoko kemudian mengingatkan adanya imbauan dari Menteri Dalam Negeri Rudini agar pemerintah daerah ikut membantu produksi film sebagai tonggak dari swasembada itu. "Kelak kita mengharapkan jumlah produksi film nasional melebihi film impor," katanya. Jika produksi bertambah, dan gedung bioskop juga bertambah, kata Harmoko, dunia film ikut memecahkan masalah tenaga kerja. Tapi bagaimana dengan mutu? Bahkan Dewan Juri FFI tahun ini, yang diketuai Asrul Sani, tak memberi pertanggungjawaban yang biasanya berbicara mengenai mutu film-film yang dinilai. Agaknya, sinyalemen sejumlah pengamat, yang menyebutkan mutu film nasional turun dibandingkan tahun lalu, ada benarnya. Dalam situasi beginilah film Tjoet Nya' Dhien jauh berada di atas, mengungguli film-film lainnya. Ia menyabet 8 Citra, termasuk sebagai film terbaik. Pesta untuk Tjoet dimulai dengan dipanggilnya Idris Sardi ke atas pentas menerima Citra untuk penata musik. Itulah Citra ketujuh yang diraih Idris setelah menggarap sekitar 200 ilustrasi film. Dan malam itu juga milik Eros Djarot. Ia tiga kali naik pentas, menerima Citra untuk skenario, cerita asli, dan penyutradaraan. Eros, yang berbaju batik dan duduk berdesak-desakan dengan wartawan -- jauh dari kesan glamor -- sangat merendah. "Penghargaan ini untuk sejumlah orang yang membantu saya," katanya. Ketika Slamet Rahadjo, kakaknya, memberi salam, Eros melanjutkan "Slamet guru saya. Meski kali ini saya yang meraih Citra, saya tak merasa lebih baik dari Slamet." Christine Hakim sudah diduga jauh sebelumnya untuk meraih Citra -- yang keenam setelah membintangi 21 film. Dedikasi dan keseriusan artis yang masih sendirian ini mengagumkan. Penghayatan perannya luar biasa (lihat kolom Arifin C. Noer, juga Pokok & Tokoh) Nurul Arifin, yang menjadi pesaingnya, walau permainannya meningkat, belum mampu menyamai Christine. Persaingan ketat terjadi pada perebutan pemeran utama pria terbaik. Deddy Mizwar, Mathias Muchus, Pitradjaja Burnama, dan Ray Sahetapy punya kans sama. Muchus akhirnya terpilih dalam film Istana Kecantikan. "Saya tak menyangka mendapat Citra," kata Muchus girang. Pada FFI 1986 Muchus masuk nominasi lewat film Beri Aku Waktu, juga bersaing dengan Deddy Mizwar, yang kemudian memenangkan gelar terbaik itu melalui Arie Hanggara. Sebagai gay, Muchus bermain cemerlang. Ia sudah merasuk dalam kehidupan kaum gay begitu menerima skenario. Ia mempelajari gaya bicara, jalan pikiran, dan segala sesuatu yang menyangkut kehidupan kaum homo itu lewat buku-buku. "Saya sepertinya sudah jadi gay beneran," katanya. "Sekarang, ya, tak lagi." Seperti Muchus, impian Ria Irawan pun terkabul juga. Putri artis Ade Irawan ini sudah dua kali masuk unggulan pemeran pembantu wanita, dalam film Kembang Kertas (1985) dan Bila Saatnya Tiba (1986). Kini ia meraihnya lewat pemeran pembantu wanita dalam film Selamat Tinggal Jeanette, berperan sebagai pembantu keluarga bangsawan Solo. Ria yang sudah membintangi 20 film ini mengalahkan empat pesaing, Nany Widjaja, Rina Hassim, Rita Zahara, dan Ira Wibowo. Yang surprise adalah terpilihnya Didi Petet sebagai pemenang pemeran pembantu pria. Padahal, di kelasnya itu ada aktor Slamet Rahardjo, Rudy Wowor (keduanya dalam Tjoet), dan Darusalam (Ayahku) yang juga bermain baik. Permainan Didi dalam film Cinta Anak Zaman yang memberikannya Citra sebenarnya masih kalah menonjol dibandingkan perannya sebagai mahasiswa dalam Gema Kampus 66 yang tak lolos komite seleksi. Tata fotografi masih dipegang "muka lama", George Kamarullah, dalam film Tjoet. Ini piala ketiga untuk George di bidang fotografi. Tiga Citra lainnya ia raih dalam bidang penyuntingan. Sedang Citra untuk penyuntingan tahun ini diperoleh Yanis Badar lewat Saur Sepuh. Kata Yanis inilah film yang paling sulit dia edit karena harus menggabungkan tiga lokasi syuting (Sumba, Lampung, dan Pelabuhan Ratu) dalam satu adegan perang kolosal. Pesta telah usai. Citra memang pantas dimiliki oleh sebuah kerja keras seperti Tjoet Nya' Dhien, yang dibuat dengan semangat dan biaya besar. Besar pulalah citranya. Budiono Darsono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini