Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Gairah dan berjujur-jujur dengan jazz

Diskusi mencari matra jazz di indonesia menampilkan tokoh-tokoh jazz indonesia. sejumlah nomor dimainkan. jakjazz '88 didominasi fusion. pemusik-pemusik jazz muda masih diragukan ke-jazz-annya.

19 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BILL Saragih bagai tua-tua kelapa. Dari mulutnya melompat, "I want Jakjazz, I want Jakjazz ... Di-daaap ... Dap, Dip, Dup, Dup ... Yeah." Saragih, kini 56 tahun, sengaja mencongkelkan suasana, memancing gairah hadirin bergoyang. Itu, seusai makan siang Sabtu pekan lalu, yang jadi bagian dari sarasehan (diskusi) Mencari Matra Jazz di Indonesia yang diselenggarakan majalah TEMPO dan Matra. Diskusi itu menyambut pesta jazz akbar di Asia, Jakarta Internasional Jazz Festival alias Jakjazz '88 di Ancol, akhir pekan ini. Kapan lagi ada diskusi semacam itu, yang berbumbu gelak pesta dan kaya warna, seperi siang itu, bila bukan ihwal Jazz. Dan I Want Jakjazz adalah satu nomor improvisasi Bill Saragih. Pertemuan ini mirip reuni. Di luar pembicara seperti Harry Roesli, Jaya Suprana, Chandra Darusman, dan Daong Zulkarnaen, di situ hadir pula tokoh-tokoh jazz yang lama tak tampil dalam berita. Lebih dari Saragih yang sudah disebut, hadir pula Paul Hutabarat. Lelaki berusia 58 tahun yang menyandarkan hidupnya sebagai advokat ini, di tahun 1960-an, bersama Mendiang Marihot Hutabarat (abangnya), Almarhum Jack Lesmana, dan Bill Saragih, aktif mengisi acara jazz RRI. Seminggu sekali, ia juga main di USIS, Biro Penerangan AS. Mereka dikenal sebagai Trio Marihot, juga sebagai Quintet Jazz. Di deretan hadirin, duduk Nien Lesmana. Ia didampingi Indra Lesmana, putranya. Nien mengenakan gaun biru dan sepatu biru, sempat menitikkan air mata. Ia terkenang pada suaminya, Jack, yang meninggal belum lama. Coba kalau ada Jack hari itu, tentu Nien tak menolak untuk tampil ke panggung yang di sebelah meja pembicara itu. Dan semuanya menyalami Nien hari itu. Sedangkan Indra menghibur ibunya dengan Autum Leave, nomor standar yang menjadi kesukaan Nien. Seluruh kehangatan itu, tapi santai, hampir mustahil. Mereka tak cuma mengadu dan melempar pendapat, dengan moderator Fikri Jufri -- si macan diskusi dan seminar yang piawai dalam mengatur bola. Kemudian sejumlah nomor dimainkan, termasuk oleh Tim Kantoso, lalu Abadi Soesman, yang datang sebagai undangan. Muncul pula Kiboud Maulana. Dan tentu saja Ireng Maulana, motor penyelenggaraan Jakjazz. Ia didampingi para personel Ireng Maulana All Stars. Menurut lazimnya tata krama diskusi, sarasehan itu nyaris menyalahi aturan. Mencari Matra Jazz di Indonesia, tema itu, oleh banyak pihak dianggap tak benar. Ya, sebab jazz memang tak kenal batasan geografis, sosial, dan politis. Lalu Harry Roesli berkata, "Mencari matra jazz di Desa Cikelet, yang jaraknya tujuh obor dari Garut itu, sama saja dengan mencari matra jazz di New York, atau mungkin di Zimbabwe." Tapi apa peduli. Ini 'kan jazz. Pokoknya jazz, yang oleh teori pendidikan musik klasik dianggap menyalahi aturan. "Jazz padat dengan kekeliruan," kata Jaya Suprana, lulusan Musikhochschule Muenster dan Folkwanghochschule Essen, Jerman Barat. Presiden Direktur Jamu Jago itu lalu menambahkan, daya tarik irama jazz justru pada off-beat dan sinkopasi -- yang mengutamakan titik berat irama "keliru". Nah, itulah sebabnya alur titi nada blues yang sering melumuri musik jazz juga "keliru", karena bukan diatonis -- tapi bukan pula pentatonis. Dan apa pun bentuknya, Jazz itu, bagai magnet, mempesona. "Kekeliruan yang penuh pesona," ujar Jaya Suprana. Kenapa bisa begitu? Salah satu jawabannya dari Paul Hutabarat. Jazz, katanya, musik yang dimainkan dengan penuh kejujuran. Kemerdekaan ekspresi dan improvisasi, di jazz, itu yang memang mengagumkan. Dan di situ pula salah satu letak daya tariknya. Dengan suara serak, tertahan, pelan, tak setangkas jemarinya di atas tuts piano, Paul berkata lagi pada Liston P. Siregar dari TEMPO, begini: "Menurut saya, to play jazz itu to play your heart. Jazz adalah ungkapan batin sedalam-dalamnya." Kalau sudah begitu, teori boleh dilupakan. "Seorang musikus jazz memang sepatutnya memahami teori. Tapi, begitu selesai dengan teori, forget it. Main, tumpahkan seluruh jiwa raga, dan rasakan permainan itu." ujar Bill Saragih. Sariana muda dari Fakultas Hukum UI ini sejak 1965 meninggalkan Indonesia, berkelana ke Bangkok dan Australia. Waktu itu kondisi ekonomi dan politik di sini tidak menolong dia berkembang sebagai musikus jazz. Di Australia ia sempat belajar pada Bavid Baker dan Jaeme Aebersould, pendidik jazz bereputasi tinggi. Tampaknya, sarasehan di Hotei Sahid Jakarta itu selayaknya disimak oleh sejumlah kelompok anak-anak muda, yang tak menolak disebut sebagai grup jazz. Supaya mereka mawas diri. Kecuali Indra Lesmana. Ia sudah digembleng ayahnya sejak masih belia, untuk memahami jazz dari akarnya. Persoalannya adalah: kawanan pemusik seperti Indonesia 6, Emerald, Bhaskara, atau Karimata -- yang menurut Chandra Darusman dikategorikan dalam elektrik jazz dan mewarnai apresiasi jazz anak-anak muda di sini -- oleh banyak pihak masih diragukan ke-Jazz-annya. Semangat mereka itu digairahkan oleh musik-musik dari Casiopea Yellow Jakects, atau Spyrogyra. Dalam penguasaan teknik dan alat, mereka memang piawai. Tapi pengungkapan roh Jazz, tambah Paul Hutabarat, "Saat ini saya lihat masih agak kurang." Kemudian Bill menimpali, "Musik mereka campur aduk. Kiblatnya cuma satu, fusion. Padahal, yang begitu itu tidak tahan lama. Mestinya, kalau memang mau memahami jazz, mereka kembali memperhatikan yang standar atau mainstream jazz. Jazz itu bukan hanya fusion." Sementara itu, Jakjazz di Ancol agaknya masih mau berkompromi dengan publik. Sehingga dihadirkan gitaris Lee Ritenour atau Kazumi Watanabe, yang memang populer d sini. Semua itu mengundang tanya Indra Lesmana, "Kenapa lebih didominasi grup fusion?" Makanya, dalam Jakjazz mendatang jika ada lagi -- mungkin akan mustahak bila diwarnai jazz dari segala era. Misalnya, ada swing, era big band, be bop. Agar I Want Jakjazz Bill Saragih tadi lebih marak. Mohammad Cholid dan Bachtiar Abdullah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus