Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Ada yang menang dan yang kalah

Politik ekonomi berlangsung seperti main bola: ada yang menang dan kalah. kelompok masyarakat tertentu yang harus memikul kerugian ekonomi, dan bukan dibagi rata. masalahnya siapa yang bersedia kalah.

15 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI dunia yang sedih dan tak sempurna, tak semua orang bisa jadi pemenang. Sebagian akan harus menderita kekalahan. Politik ekonomi berlangsung seperti permainan bola di saat final: piala yang diperebutkan tak bisa dibagi sama. Di dunia yang sedih dan tak sempurna, selalu saja orang harus bertanding dengan akhir yang tak selamanya tenteram. "Untuk tiap pemenang harus ada seorang yang kalah, dan para pemenang hanya dapat ada bila ada yang kalah." Kata-kata itu adalah kata-kata Lester G. Thurow, ahli ekonomi terkenal dari Massachusetts Institute of Technology. Di tahun 1980, ketika keadaan nampak kian sedih dan kian tak sempurna, baik di Amerika maupun di bagian dunia lain, Thurow menulis The Zero-Sum Society. Dalil pokoknya: hidup sosial-ekonomi, seperti semua peristiwa sport, adalah permainan zero-sum. Dengan kata lain, hasil kekalahan persis sama dengan hasil kemenangan. Bila Kesebelasan A kalah 5-0, maka Kesebelasan B, lawannya, menang 5-0, dielu-elukan, dan namanya sah sebagai kampiun. Sebaliknya A bisa hilang dari perhatian. "Kita bukannya menghadapi sebuah dunia yang terdiri dari soal-soal yang tak terpecahkan," tulis Thurow. "Namun sementara ada pemecahan masing-masing untuk tiap kasus, pemecahan ini punya sifat yang sama. Masing-masing menghendaki agar suatu kelompok yang besar -- kadang sebuah minoritas kadang sebuah mayoritas -- bersedia menerima pengurangan yang banyak dalam tingkat hidup mereka." Masalahnya: kelompok mana yang harus bersedia untuk hidup lebih buruk? Kata harus nampaknya penting di situ. Sebab tak ada yang akan secara sukarela jadi tumbal, hingga suatu soal perekonomian selesai. Tak ada seseorang, atau sekelompok manusia, yang mau menerima alokasi pengurangan. Apalagi bila diketahui bahwa dia berkorban bukan untuk dirinya sendiri, tapi -- seperti dalam pertandingan bola -- untuk kemenangan orang lain. Dan piala, dalam kompetisi di dunia nyata, tak selamanya bergilir .... Thurow berbicara terutama tentang AS di tahun 1980-an. Namun agaknya kita boleh mengingat lagi betapa keadaan tak banyak berbeda di masa lain, di tempat lain. Zaman jaya kerajaan Prancis di masa Louis XIV adalah zaman penindasan terhadap petani. Sejarawan Jepang Mikiso Hane juga bisa bercerita yang sama tentang negerinya, seperti ia tulis dalam Peasants, Rebels & Outcastes, sebuah kisah "sisi bawah dari Jepang modern". Dan konon John Maynard Keynes pula yang pernah menunjukkan, bahwa kegemilangan ekonomi Eropa sampai dengan Perang Dunia I ditopang oleh pengorbanan kaum buruh. "Di masa lampau," tulis Thurow, "kekuasaan politik dan ekonomi dibagikan sedemikian rupa sehingga kerugian ekonomis yang cukup besar dapat dipaksakan kepada sebagian penduduk, apabila yang berkuasa memutuskan bahwa itu adalah untuk "kepentingan bersama" Dengan kata lain, "kerugian ekonomis dialokasikan kepada kelompok tertentu yang tak berdaya, dan bukannya disebar ke seantero populasi." Ketika struktur politik bergeser dan berubah, hal itu jadi mustahil. Di AS ada masanya kaum hitam, juga kaum wanita, berada dalam posisi harus menerima alokasi yang tidak enak itu. Namun kini, ketika terjadi apa yang disebut oleh ahli sosiologi Daniel Bell sebagai "the revolution of the rising entitlements" -- bangkitnya perasaan sama-sama berhak dari hampir tiap kelompok lemah -- ampas yang pahit itu ditolak oleh tiap sudut. DAN dalam keterbatasan kue yang harus dibagi, krisis pun terjadi. Agar lebih banyak orang yang kebagian, tentu harus ada porsi sebagian kalangan yang harus dikurangi. Tapi siapa? Dan seberapa? Sebuah negeri akan runyam bila tak ada kekuasaan yang sanggup mengatur pembagian dan pengurangan itu. Dan bagi Lester G. Thurow, sistem pemerintahan Amerika kini pun sebenarnya tak mampu untuk mengelolanya. "Dalam arti yang sangat riil," tulis Thurow, "kita tak punya partai politik." Yang ada adalah presiden. Dia merasa jadi milik semua orang dan karena itu tak ingin melukai siapa saja. Dia tak ingin melihat bahwa di masyarakat, permainan zero-sum berlangsung: ada yang harus dikalahkan. Dan dia harus tahu siapa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus