DI dunia yang sedih dan tak sempurna, tak semua orang bisa jadi
pemenang. Sebagian akan harus menderita kekalahan. Politik
ekonomi berlangsung seperti permainan bola di saat final: piala
yang diperebutkan tak bisa dibagi sama.
Di dunia yang sedih dan tak sempurna, selalu saja orang harus
bertanding dengan akhir yang tak selamanya tenteram. "Untuk tiap
pemenang harus ada seorang yang kalah, dan para pemenang hanya
dapat ada bila ada yang kalah."
Kata-kata itu adalah kata-kata Lester G. Thurow, ahli ekonomi
terkenal dari Massachusetts Institute of Technology. Di tahun
1980, ketika keadaan nampak kian sedih dan kian tak sempurna,
baik di Amerika maupun di bagian dunia lain, Thurow menulis The
Zero-Sum Society. Dalil pokoknya: hidup sosial-ekonomi, seperti
semua peristiwa sport, adalah permainan zero-sum.
Dengan kata lain, hasil kekalahan persis sama dengan hasil
kemenangan. Bila Kesebelasan A kalah 5-0, maka Kesebelasan B,
lawannya, menang 5-0, dielu-elukan, dan namanya sah sebagai
kampiun. Sebaliknya A bisa hilang dari perhatian.
"Kita bukannya menghadapi sebuah dunia yang terdiri dari
soal-soal yang tak terpecahkan," tulis Thurow. "Namun sementara
ada pemecahan masing-masing untuk tiap kasus, pemecahan ini
punya sifat yang sama. Masing-masing menghendaki agar suatu
kelompok yang besar -- kadang sebuah minoritas kadang sebuah
mayoritas -- bersedia menerima pengurangan yang banyak dalam
tingkat hidup mereka."
Masalahnya: kelompok mana yang harus bersedia untuk hidup lebih
buruk? Kata harus nampaknya penting di situ. Sebab tak ada yang
akan secara sukarela jadi tumbal, hingga suatu soal perekonomian
selesai. Tak ada seseorang, atau sekelompok manusia, yang mau
menerima alokasi pengurangan. Apalagi bila diketahui bahwa dia
berkorban bukan untuk dirinya sendiri, tapi -- seperti dalam
pertandingan bola -- untuk kemenangan orang lain. Dan piala,
dalam kompetisi di dunia nyata, tak selamanya bergilir ....
Thurow berbicara terutama tentang AS di tahun 1980-an. Namun
agaknya kita boleh mengingat lagi betapa keadaan tak banyak
berbeda di masa lain, di tempat lain. Zaman jaya kerajaan
Prancis di masa Louis XIV adalah zaman penindasan terhadap
petani. Sejarawan Jepang Mikiso Hane juga bisa bercerita yang
sama tentang negerinya, seperti ia tulis dalam Peasants, Rebels
& Outcastes, sebuah kisah "sisi bawah dari Jepang modern". Dan
konon John Maynard Keynes pula yang pernah menunjukkan, bahwa
kegemilangan ekonomi Eropa sampai dengan Perang Dunia I ditopang
oleh pengorbanan kaum buruh.
"Di masa lampau," tulis Thurow, "kekuasaan politik dan ekonomi
dibagikan sedemikian rupa sehingga kerugian ekonomis yang cukup
besar dapat dipaksakan kepada sebagian penduduk, apabila yang
berkuasa memutuskan bahwa itu adalah untuk "kepentingan bersama"
Dengan kata lain, "kerugian ekonomis dialokasikan kepada
kelompok tertentu yang tak berdaya, dan bukannya disebar ke
seantero populasi."
Ketika struktur politik bergeser dan berubah, hal itu jadi
mustahil. Di AS ada masanya kaum hitam, juga kaum wanita, berada
dalam posisi harus menerima alokasi yang tidak enak itu. Namun
kini, ketika terjadi apa yang disebut oleh ahli sosiologi Daniel
Bell sebagai "the revolution of the rising entitlements" --
bangkitnya perasaan sama-sama berhak dari hampir tiap kelompok
lemah -- ampas yang pahit itu ditolak oleh tiap sudut.
DAN dalam keterbatasan kue yang harus dibagi, krisis pun
terjadi. Agar lebih banyak orang yang kebagian, tentu harus ada
porsi sebagian kalangan yang harus dikurangi. Tapi siapa? Dan
seberapa?
Sebuah negeri akan runyam bila tak ada kekuasaan yang sanggup
mengatur pembagian dan pengurangan itu. Dan bagi Lester G.
Thurow, sistem pemerintahan Amerika kini pun sebenarnya tak
mampu untuk mengelolanya.
"Dalam arti yang sangat riil," tulis Thurow, "kita tak punya
partai politik." Yang ada adalah presiden. Dia merasa jadi milik
semua orang dan karena itu tak ingin melukai siapa saja. Dia tak
ingin melihat bahwa di masyarakat, permainan zero-sum
berlangsung: ada yang harus dikalahkan. Dan dia harus tahu
siapa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini