Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tepuk tangan untuk penghematan

Nada prihatin membayangi pidato kenegaraan presiden mengantarkan rapbn 1983/1984, banyak tindakan penghematan. harga bbm dinaikkan, sementara gaji pegawai negeri dan abri tak naik. (nas)

15 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAIN 1981, lain pula 1983. Dalam pidato kenegaraan Presiden sewaktu menyampaikan RAPBN 1981/1982 di DPR dua tahun lalu, tepuk tangan bergemuruh menyambut pengungkapan bahwa gaji pegawai negeri dalam tahun anggaran itu dinaikkan. Pada acara yang sama, 6 Januari lalu, tepuk tangan itu kembali bergema. Namun kali ini keplok itu muncul tatkala Pak Harto menyelesaikan kalimat: "Kali ini pun negara belum dapat menaikkan gaji, karena keadaan keuangan negara yang belum memungkinkan." Gaji pegawai negeri memang tidak naik pada tahun anggaran 1982/1983. Tepuk tangan beruntun malah menggema setiap kali Kepala Negara mengungkapkan rencana tindakan penghematan anggaran. "Pemerintah," kata Presiden, "tidak lagi akan menyediakan kendaraan dinas perorangan untuk pegawai negeri." Tepuk tangan berbunyi. "Rapat kerja, seminar, loka karya dan sebangsanya supaya dikurangi. " Tepuk tangan lagi. "Perjalanan dinas ke luar negeri dan daerah supaya dibatasi." Keplok lagi. "Upacara peresmian proyek harus dibatasi, sebab memang yang penting bukan upacaranya." Gemuruh tepuk tangan terdengar kembali. Tepuk tangan basa-basi? Agaknya bukan. Tampaknya para anggota DPR menyadari, masa keprihatinan sudah tiba dan harus dihadapi bersama, dan langkah penghematan memang satu-satunya pilihan. Nada prihatin yang melebihi tahun lalu memang membayangi pidato kenegaraan Presiden mengantarkan RAPBN 1983/1984 di DPR pekan lalu, walau secara keseluruhan tetap dilandasi kepercayaan diri yang tak goyah. "Tahun yang akan datang memang tampak suram! Tapi bukannya tahun tanpa harapan!," kata Presiden menjelang akhir pidatonya. Dan harapan itu digambarkan Presiden Soeharto dengan menyodorkan sederet bukti keberhasilan. "Di bidang ekonomi, stabilitas ekonomi dapat kita kendalikan," ujar Presiden. Laju inflasi selama 1982 yang 9,7% disebutnya hampir setingkat dengan laju inflasi negara industri maju, dan lebih rendah dari negara-negara yang membangun secara keseluruhan. Walau pertumbuhan ekonomi 1982 tidak setinggi 1981 yang mencapai 7,6%, ekonomi Indonesia tetap mengalami pertumbuhan di tengah suasana resesi ekonomi dunia. Sedang produksi pangan dan pupuk misalnya, sudah melewati target. Sekitar 4 halaman dari 46 halaman pidato Kepala Negara dipergunakannya untuk menguraikan menurunnya produksi dan harga minyak bumi dunia serta pengaruhnya bagi Indonesia. Ini memang pokok dasar permasalahan yang dihadapi Indonesia sebab sekitar 70% penerimaan devisa dan penerimaan negara berasal dari hasil ekspor minyak bumi. Keputusan pemerintah: "demi kelanjutan pembangunan yang akan membawa kemajuan bangsa," harga BBM dinaikkan. Alasannya, jika harga BBM tidak dinaikkan, subsidi BBM pada 1983/1984 akan mencapai Rp 2,1 trilyun lebih, atau lebih dari 1/6 penerimaan negara yang direncanakan dalam tahun anggaran tersebut. Berbagai langkah penghematan dan efisiensi devisa, yang sebelumnya telah diuraikan Menteri Perdagangan Radius Prawiro, juga ditegaskan lagi oleh Pak Harto. Antara lain pembatasan impor barang-barang yang dianggap kurang esensial (misalnya buah-buahan) serta pengendalian impor barang-barang yang telah dapat diproduksi di dalam negeri (misalnya tekstil). RAPBN 1983/1984 yang disarnpaikan Presiden tetap berdasar prinsip anggaran berimbang yang dinamis, berjumlah Rp 16,5 trilyun lebih, berarti naik hanya 6,1% dibanding APBN tahun yang sekarang. Dengan kata lain, bila faktor inflasi turut diperhitungkan, boleh dibilang peningkatan yang sedikit itu akan hilang, digerogoti kenaikan-kenaikan harga. Dari jumlah Rp 16,5 trilyun tersebut, penerimaan dalam negeri akan berjumlah Rp 13,8 trilyun sedang Rp 2,7 trilyun sisanya berasal dari bantuan luar negeri (lihat: Laporan Utama.) Mungkin yang paling menarik dari pidato Kepala Negara adalah rencana penghematan pengeluaran rutin. Selain tidak adanya kenaikan gaji pegawai negeri dan anggota ABRI, dilakukan berbagai langkah lain, misalnya: penghematan pemakaian listrik dan telepon, perjalanan peninjauan ke luar negeri dan daerah serta pemeliharaan kendaraan bermotor. Presiden menegaskan, "untuk tahun anggaran yang akan datang dan seterusnya, pemerintah tidak lagi akan menyediakan kendaraan dinas perorangan untuk pegawai negeri. Kendaraan dinas perorangan hanya disediakan secara terbatas bagi pejabat-pejabat negara yang memang benar-benar memerlukannya." Kendaraan dinas perorangan yang ada sekarang akan dijual kepada pemegangnya dengan pembayaran mengangsur. Tampaknya, himbauan Presiden Soeharto agar seluruh masyarakat Indonesia makin mengetatkan ikat pinggang dalam tahun-tahun mendatang akan benar dilaksanakan Dan juga benar, prospek masa depan kita bukannya suram tanpa harapan, karena yang terkena pukulan resesi adalah seluruh dunia. "Bukan kita sendiri saja yang menghadapi tahuntahun yang sulit ini," kata Presiden. Kapan itu resesi akan pulih di negeri-negeri industri! tak seorang ahli pun yang tahu pasti. Tapi di tengah iklim ekonomi internasional yang serba suram itu, baik juga kalau para pemimpin mulai memberi contoh, di samping menganjurkan rakyatnya untuk membiasakan diri hidup di alam resesi yang panjang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus