LAIN 1981, lain pula 1983. Dalam pidato kenegaraan Presiden
sewaktu menyampaikan RAPBN 1981/1982 di DPR dua tahun lalu,
tepuk tangan bergemuruh menyambut pengungkapan bahwa gaji
pegawai negeri dalam tahun anggaran itu dinaikkan.
Pada acara yang sama, 6 Januari lalu, tepuk tangan itu kembali
bergema. Namun kali ini keplok itu muncul tatkala Pak Harto
menyelesaikan kalimat: "Kali ini pun negara belum dapat
menaikkan gaji, karena keadaan keuangan negara yang belum
memungkinkan." Gaji pegawai negeri memang tidak naik pada tahun
anggaran 1982/1983.
Tepuk tangan beruntun malah menggema setiap kali Kepala Negara
mengungkapkan rencana tindakan penghematan anggaran.
"Pemerintah," kata Presiden, "tidak lagi akan menyediakan
kendaraan dinas perorangan untuk pegawai negeri." Tepuk tangan
berbunyi. "Rapat kerja, seminar, loka karya dan sebangsanya
supaya dikurangi. " Tepuk tangan lagi. "Perjalanan dinas ke luar
negeri dan daerah supaya dibatasi." Keplok lagi. "Upacara
peresmian proyek harus dibatasi, sebab memang yang penting bukan
upacaranya." Gemuruh tepuk tangan terdengar kembali.
Tepuk tangan basa-basi? Agaknya bukan. Tampaknya para anggota
DPR menyadari, masa keprihatinan sudah tiba dan harus dihadapi
bersama, dan langkah penghematan memang satu-satunya pilihan.
Nada prihatin yang melebihi tahun lalu memang membayangi pidato
kenegaraan Presiden mengantarkan RAPBN 1983/1984 di DPR pekan
lalu, walau secara keseluruhan tetap dilandasi kepercayaan diri
yang tak goyah. "Tahun yang akan datang memang tampak suram!
Tapi bukannya tahun tanpa harapan!," kata Presiden menjelang
akhir pidatonya.
Dan harapan itu digambarkan Presiden Soeharto dengan menyodorkan
sederet bukti keberhasilan. "Di bidang ekonomi, stabilitas
ekonomi dapat kita kendalikan," ujar Presiden. Laju inflasi
selama 1982 yang 9,7% disebutnya hampir setingkat dengan laju
inflasi negara industri maju, dan lebih rendah dari
negara-negara yang membangun secara keseluruhan. Walau
pertumbuhan ekonomi 1982 tidak setinggi 1981 yang mencapai 7,6%,
ekonomi Indonesia tetap mengalami pertumbuhan di tengah suasana
resesi ekonomi dunia. Sedang produksi pangan dan pupuk misalnya,
sudah melewati target.
Sekitar 4 halaman dari 46 halaman pidato Kepala Negara
dipergunakannya untuk menguraikan menurunnya produksi dan harga
minyak bumi dunia serta pengaruhnya bagi Indonesia. Ini memang
pokok dasar permasalahan yang dihadapi Indonesia sebab sekitar
70% penerimaan devisa dan penerimaan negara berasal dari hasil
ekspor minyak bumi.
Keputusan pemerintah: "demi kelanjutan pembangunan yang akan
membawa kemajuan bangsa," harga BBM dinaikkan. Alasannya, jika
harga BBM tidak dinaikkan, subsidi BBM pada 1983/1984 akan
mencapai Rp 2,1 trilyun lebih, atau lebih dari 1/6 penerimaan
negara yang direncanakan dalam tahun anggaran tersebut.
Berbagai langkah penghematan dan efisiensi devisa, yang
sebelumnya telah diuraikan Menteri Perdagangan Radius Prawiro,
juga ditegaskan lagi oleh Pak Harto. Antara lain pembatasan
impor barang-barang yang dianggap kurang esensial (misalnya
buah-buahan) serta pengendalian impor barang-barang yang telah
dapat diproduksi di dalam negeri (misalnya tekstil).
RAPBN 1983/1984 yang disarnpaikan Presiden tetap berdasar
prinsip anggaran berimbang yang dinamis, berjumlah Rp 16,5
trilyun lebih, berarti naik hanya 6,1% dibanding APBN tahun yang
sekarang. Dengan kata lain, bila faktor inflasi turut
diperhitungkan, boleh dibilang peningkatan yang sedikit itu akan
hilang, digerogoti kenaikan-kenaikan harga. Dari jumlah Rp 16,5
trilyun tersebut, penerimaan dalam negeri akan berjumlah Rp 13,8
trilyun sedang Rp 2,7 trilyun sisanya berasal dari bantuan luar
negeri (lihat: Laporan Utama.)
Mungkin yang paling menarik dari pidato Kepala Negara adalah
rencana penghematan pengeluaran rutin. Selain tidak adanya
kenaikan gaji pegawai negeri dan anggota ABRI, dilakukan
berbagai langkah lain, misalnya: penghematan pemakaian listrik
dan telepon, perjalanan peninjauan ke luar negeri dan daerah
serta pemeliharaan kendaraan bermotor.
Presiden menegaskan, "untuk tahun anggaran yang akan datang dan
seterusnya, pemerintah tidak lagi akan menyediakan kendaraan
dinas perorangan untuk pegawai negeri. Kendaraan dinas
perorangan hanya disediakan secara terbatas bagi pejabat-pejabat
negara yang memang benar-benar memerlukannya." Kendaraan dinas
perorangan yang ada sekarang akan dijual kepada pemegangnya
dengan pembayaran mengangsur.
Tampaknya, himbauan Presiden Soeharto agar seluruh masyarakat
Indonesia makin mengetatkan ikat pinggang dalam tahun-tahun
mendatang akan benar dilaksanakan Dan juga benar, prospek masa
depan kita bukannya suram tanpa harapan, karena yang terkena
pukulan resesi adalah seluruh dunia. "Bukan kita sendiri saja
yang menghadapi tahuntahun yang sulit ini," kata Presiden.
Kapan itu resesi akan pulih di negeri-negeri industri! tak
seorang ahli pun yang tahu pasti. Tapi di tengah iklim ekonomi
internasional yang serba suram itu, baik juga kalau para
pemimpin mulai memberi contoh, di samping menganjurkan rakyatnya
untuk membiasakan diri hidup di alam resesi yang panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini