Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Al Makin
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelaksanaan ibadah keagamaan selama masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) lebih banyak mempertimbangkan faktor kesehatan. Agama ternyata tidak kaku melainkan lentur dan penuh penyesuaian. Rangkaian ibadah yang menyangkut massa dapat disesuaikan. Pertemuan fisik antar-manusia dikurangi. Umat beragama dan institusinya berusaha untuk beradaptasi selama masa wabah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Indonesia, bahkan lebih banyak tokoh dan organisasi keagamaan yang mendukung seruan pemerintah demi menjaga kemaslahatan bersama daripada yang mencoba menentangnya. Tidak jarang bukti kerja sama mereka dilengkapi dengan dalil teologis agar umat bersama-sama menghadang laju penyebaran virus.
Organisasi resmi yang selama ini berusaha menjembatani kepentingan pemerintah Indonesia dan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia, secara khusus mengeluarkan Fatwa Nomor 14 Tahun 2020. Fatwa itu membahas tata cara ibadah dan anjuran moral saat pandemi: menjaga jarak sosial, bagaimana mengurus mayat korban corona, menghindari salat Jumat di masjid, larangan penimbunan barang saat darurat, dan ajakan untuk tetap taat kepada seruan pemerintah.
Dua organisasi muslim terbesar di negeri ini, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, juga mengajak umat Islam tetap beribadah selama Ramadan dan perayaan Idul Fitri di rumah masing-masing. Tarawih, sahur bersama, buka bersama, ataupun pengajian yang melibatkan banyak orang hendaknya dihindari. Para pemimpin agama menegaskan bahwa kesendirian tidak mengurangi kekhusyukan. Lebih jauh lagi, dua organisasi terbesar itu menyarankan agar pemerintah lebih tegas lagi dalam mengambil keputusan dan cepat bertindak agar virus tidak menyebar lebih luas lagi.
Di samping itu, masa pandemi corona juga sudah melewati dua hari suci penting: Nyepi bagi umat Hindu dan Paskah bagi umat Kristen. Dalam merayakan keduanya, para pemimpin kedua agama tersebut juga kurang-lebih mengingatkan umatnya tentang kecepatan penyebaran virus corona. Mereka sepertinya sepakat untuk menghindari pengumpulan massa dan membangun solidaritas pada saat wabah berlangsung.
Dalam menyambut Nyepi, Gubernur Bali I Wayan Koster menyerukan agar pawai ogoh-ogoh yang melibatkan banyak orang ditiadakan. Begitu juga penyucian diri Melasti di pantai, agar diikuti tidak lebih dari 25 orang. Pelaksanaan omed-omedan, saling peluk dan tarik di antara para remaja sebagai simbol kehangatan dan persaudaraan manusia, juga disesuaikan agar tetap mematuhi protokol kesehatan.
Dalam perayaan Paskah lalu, secara khusus Paus Fransiskus di Vatikan mengingatkan dalam pesan suci Urbi et Orbi (Kepada Kota Roma dan dunia) tentang pentingnya Paskah dalam kesendirian. Paus menekankan urgensi solidaritas antar-umat manusia dalam masa cobaan ini dan agar menghibur mereka yang terkena virus.
Paskah, baik di Indonesia maupun di luar negeri, lebih banyak dilaksanakan secara online. Dari belanja, misa, bahkan hingga berburu telur pun dilakukan secara virtual. Di Indonesia, perjamuan kudus banyak dilakukan di rumah untuk menghindari berkumpulnya orang di gereja.
Institusi dan pemimpin agama terbukti bijak dan berani dalam menghadapi wabah. Ibadah yang suci dan hari raya yang dihormati ternyata dapat dimodifikasi sesuai dengan kebaikan dan keamanan masyarakat. Maka, tidak sepenuhnya benar anggapan bahwa agama saat ini tengah gagap dalam menghadapi Covid-19. Agama terbukti mampu menangkap pesan sains dan protokol medis. Buktinya, para pemimpin agama menyeru umat agar menyesuaikan diri dengan prosedur kesehatan.
Adaptasi agama pada masa wabah dalam konteks yang lebih luas dalam sejarah manusia sebetulnya tidak terlalu mengejutkan. Agama sudah bertahan di dunia ini selama ribuan tahun. Dalam setiap perubahan zaman, peralihan peradaban, dan perubahan struktur masyarakat, agama menyesuaikan diri berkali-kali. Agama telah lama mempengaruhi struktur kolektivitas manusia dan mengaturnya dalam bersikap dan bertindak.
Hinduisme sudah dikenal lebih dari 3.000 tahun di India. Gereja Katolik sudah berumur 2.000 tahun di Romawi. Islam sudah beradaptasi dengan berbagai bangsa sejak 1.500 tahun silam. Keberanian tokoh-tokoh agama kali ini dalam konteks bahaya virus bukanlah barang baru dalam sejarah agama-agama. Para pemimpin agama juga berpikir kritis dan ternyata siap sedia memodifikasi aturan dan tata cara ritualnya.
Jika dilihat lebih jauh lagi, agama-agama itu sudah berperan besar dalam sejarah patronasi ilmu pengetahuan. Walaupun para ilmuwan juga kritis terhadap doktrin dan institusi agama, kelahiran ilmu pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari peran keagamaan. Sungguh, agama telah memberikan sumbangan kepada manusia dalam rangka berpikir abstrak, membayangkan hal yang tak terlihat, dan itu merupakan modal dasar pengembangan imajinasi pengetahuan manusia. Kenyataannya, perkembangan sains dan perubahan agama selalu bahu-membahu, tarik-menarik, dan saling mempengaruhi.
Lihatlah masa Pencerahan di Eropa yang ditandai dengan Renaisans (kelahiran kembali) kemanusiaan yang lebih universal yang dimulai di bidang seni. Dua seniman utama, Leonardo da Vinci (1452-1419) dan Michelangelo (1475-1564), yang berkarya di Kota Florence, tidak bisa lepas dari peran tokoh agama dan gereja.
Begitu juga para ilmuwan muslim di masa itu mendapat patronasi dari para khalifah dan sultan. Penulisan buku-buku filsafat dan sastra disponsori oleh para penguasa. Kejayaan mereka juga berkat perlindungan politik dan finansial dari para penguasa yang sadar akan pentingnya pengetahuan.
Pemerintah Indonesia sangat beruntung, para tokoh agama mendukung upaya pengendalian penyebaran virus corona. Tidak selamanya relasi agama dan pemerintah negatif dan bersaing dalam otoritas. Kali ini keduanya saling mendukung.