Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AMBALAT menjadi kosakata baru dalam pembicaraan masyarakat belakangan ini. Nama blok eksplorasi minyak di lepas pantai Kalimantan Timur itu ramai diberitakan setelah muncul sengketa tentang kepemilikan wilayah yang diduga mengandung cadangan minyak dan gas bumi itu. Penahanan dan penyiksaan pekerja Indonesia yang sedang membangun mercu suar di blok tersebut, tepatnya di Karang Unarang, oleh awak patroli angkatan laut Malaysia, menjadi pemicunya.
Perlakuan tak senonoh itu jelas disesalkan. Kalaupun persoalan siapa sebenarnya pemilik wilayah tempat mercu suar itu dibangun dikesampingkan, tak ada alasan untuk menghalalkan perlakuan biadab yang melanggar segala norma hukum internasional itu. Apalagi para pekerja tersebut merasa sedang bergiat di negara sendiri karena sekadar menjalankan tugas dari Departemen Perhubungan.
Dalam kerangka pemikiran seperti ini, wajar jika banyak kelompok masyarakat Indonesia merasa gusar. Bahwa sebagian reaksi itu kemudian terasa berlebihan, seperti membangun Posko Ganyang Malaysia atau membakar bendera Malaysia, agaknya hal itu harus dipandang sebagai bagian dari dinamika masyarakat yang majemuk dan demokratis. Yang perlu dijaga hanyalah agar luapan emosional itu tak membuat kekuatan bersenjata kedua negara jadi mudah menarik picu bedil atau meriam kapal-kapal perang yang sedang berhadapan di perbatasan yang bermasalah.
Syukur alhamdulillah, puji Tuhan, kesadaran untuk menahan diri memang sangat tampak. Kendati patroli kekuatan laut kedua negara bermanuver bagaikan hendak saling menempur, laras meriam masing-masing masih tertutup terpal pembungkusnya. Upaya menjaga suasana damai ini juga terdengar saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta awak kapal patroli tidak menyalakan radar penuntun persenjataan mereka saat bersongsongan dengan kapal perang Malaysia. Di pihak seberang, pucuk pimpinan negeri jiran pun berbuat sama dengan menyatakan perang antara kedua tetangga adalah sebuah kemustahilan.
Upaya kedua pemerintah menjaga agar "kepala tetap dingin kendati hati boleh panas" ini layak dipuji, tapi harus dilanjutkan dengan dialog untuk mengatasi perbedaan pendapat tentang zona ekonomi ini dengan baik. Kedua negara selekasnya wajib mendinginkan suasana dengan menghilangkan berbagai aksi provokasi. Antara lain, sesuai prosedur internasional yang baku, karena pengakuan Blok Ambalat sebagai kawasan zona ekonomi Indonesia sudah terjadi sebelum kasus kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan diputuskan Mahkamah Internasional, titik awal negosiasi harus dalam kondisi status quo itu. Kalaupun pihak Malaysia merasa keadaan harus berubah setelah status kedua pulau tadi resmi menjadi miliknya, implementasi perubahan tersebut harus disampaikan dahulu melalui jalur diplomasi dan tak serta-merta dipaksakan dengan kekuatan militer.
Apalagi, dalam penentuan batas negara, hukum internasional selalu menyediakan lebih dari satu teori. Itu sebabnya diperlukan keterbukaan semua pihak untuk membahas semua alternatif yang ada dalam suasana damai. Sebab, bila setiap negara memaksakan teori yang paling menguntungkan dirinya dengan mengandalkan kekuatan militer, perang tak dapat dihindari. Mengingat perbatasan Indonesia dan Malaysia di Pulau Kalimantan saja panjangnya hampir 2.000 kilometer, perang antara sesama rumpun Melayu ini pasti akan mengerikan bagi semua pihak.
Harus diakui, karena keinginan mengubah kondisi status quo di Ambalat berasal dari Kuala Lumpur, pilihan untuk menyelesaikan masalah perbatasan ini secara damai atau melalui perang lebih berada di pihak Malaysia. Dalam posisi ini, apa boleh buat, bangsa Indonesia tersudut dalam posisi bertahan atau?bila menggunakan bahasa pasar?terserah pihak sana, "kalau Anda jual, ya saya beli".
Kita tentu berharap pemerintah Malaysia dapat bersikap arif. Terutama karena persengketaan tentang blok Ambalat bukanlah soal perseteruan wilayah kedaulatan kedua negara, melainkan perihal siapa lebih berhak sebagai pemilik zona eksklusif ekonomi yang melingkupi blok itu. Artinya, kalau Kuala Lumpur bersikeras ingin mencaplok perairan ini dengan segala cara, itu dilakukan bukan karena menjalankan amanat konstitusi untuk menjaga wilayah kedaulatan, melainkan memenuhi keserakahan untuk mendapatkan keuntungan dari cadangan minyak yang ada di laut lepas.
Barangkali itu pula sebabnya dukungan mempertahankan Ambalat terlihat sangat besar di kalangan rakyat Indonesia, sementara terkesan hangat-hangat saja di Malaysia. Mudah-mudahan indikasi penting ini dipertimbangkan betul di Kuala Lumpur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo