Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laporan berjudul “Dengung Slang Pemadam Dusta” yang diturunkan majalah Tempo edisi 3-9 Desember 2018 menunjukkan bahwa penggunaan bahasa dalam kampanye presiden dan wakil presiden sangat terencana. Ungkapan yang tampaknya seperti celetuk belaka ternyata dipilih dengan pertimbangan yang matang. Para perencana kampanye menghitung secara cermat bukan hanya dampak pragmatik ucapannya, melainkan juga dampak afektifnya.
Majalah ini melaporkan, ungkapan seperti “tempe setipis kartu ATM” dan “ekonomi kebodohan” telah dikapitalisasi agar memiliki dampak politik signifikan. Diproduksi oposisi, ungkapan itu dikelola agar publik skeptis, tidak percaya, bahkan membenci inkumben.
Untuk menandingi itu, petahana melahirkan ungkapan “politikus sontoloyo”, “politik genderuwo”, dan “tabok fitnah”. Ungkapan sarkastis itu sebenarnya tidak cocok dengan performa kebahasaan Joko Widodo sebelumnya, yang datar, cenderung santun, dan berorientasi harmoni. Tampak bahwa ungkapan nyeleneh itu sengaja dimunculkan sebagai strategi afeksi untuk menandingi kompetitornya.
Afeksi berkaitan dengan aspek emosional: suka, benci, senang, sedih, marah, dan sebagainya. Dalam aktivitas berbahasa, afeksi bisa muncul karena kata memiliki makna sekaligus rasa. Ketika tuturan tertentu dihasilkan, ia direspons pendengar secara kognitif sekaligus emosional. Kecenderungan ini tidak terhindarkan karena manusia merupakan pribadi yang kompleks. Ketika merespons stimulus dari luar, manusia akan memberdayakan berbagai kecakapan insani yang dimilikinya, termasuk kecakapan intelektual dan emosional.
Secara umum, afeksi manusia terhadap bahasa dapat dipilah dalam tiga kelompok besar. Afeksi positif berkaitan dengan rasa suka, bahagia, kagum, dan sejenisnya. Afeksi negatif berkaitan dengan rasa benci, muak, sedih, marah, dan semacamnya. Jika tidak masuk salah satu dari keduanya, afeksi bahasa cenderung bersifat netral.
Afeksi bahasa terbentuk berkat pengalaman bahasa setiap orang. Pengalaman bahasa bisa bersifat sosial melalui interaksi individu dengan pengguna bahasa lain. Meski begitu, pengalaman bahasa juga bisa bersifat personal. Karena itulah afeksi bahasa cenderung unik, berbeda antara satu orang dan orang lainnya.
Sikap pengguna bahasa itu relevan dengan kondisi obyektif bahasa yang memang sangat terbuka terhadap berbagai makna. Lyons dalam Semantics (1977) berpendapat bahwa bahasa memiliki tiga makna sekaligus, yaitu makna deskriptif, sosial, dan ekspresif. Makna deskriptif terbentuk berkat hubungan referensial antara penanda dan petanda. Makna sosial berkaitan dengan kategori sosial yang disepakati masyarakat. Adapun makna ekspresif berkaitan dengan rasa, mood, dan watak emosional.
Para pengkaji psikolinguistik telah lama mengungkap bahwa bahasa adalah representasi kondisi batin penuturnya. Pada dasarnya, setiap tuturan mengandung kode emosional tertentu. Hanya, dalam praktik komunikasi, kode-kode itu tidak selalu dibaca karena manusia cenderung berfokus pada makna. Ketika mendengar bunyi bahasa, sebagian besar energi pendengar digunakan untuk memahami pesan. Ekspresi afeksi baru mendapat perhatian jika dikodekan dengan kuat, misalnya melalui nada tinggi, volume nyaring, atau kecepatan tak wajar.
Meski tidak selalu disadari keberadaannya, afeksi bahasa memiliki peran besar dalam membentuk keseluruhan maksud. Bahkan, dalam buku Social Intelligence, Daniel Goleman (2015) menunjukkan bahwa pertimbangan afektif (emosional) kerap lebih dominan dalam menentukan keputusan yang diambil manusia. Ini terjadi karena dalam otak manusia terdapat sekelompok saraf yang bertugas mengendalikan emosi. Kelompok saraf yang disebut amigdala itu kadang bekerja dominan, mengalahkan kelompok saraf yang mengatur logika.
Peran besar amigdala itulah yang dimanfaatkan para motivator, konselor, dan pembicara publik saat berusaha menggugah pendengarnya. Mereka menggunakan kata-kata kunci tertentu yang emotif: hidup, mati, bahagia, keluarga, cinta, kaya, miskin, dan sebagainya. Kata-kata itu dapat menjangkau relung terdalam emosi manusia karena dapat menyentuh harapan, kekhawatiran, dan ketakutan terbesar manusia.
Kini para politikus memanfaatkan daya afektif bahasa untuk kepentingan politiknya. Politikus pragmatis menjadikan politik sebagai permainan perilaku elektoral. Oleh mereka, bahasa dikelola semata-mata sebagai alat meraih dukungan, bukan sarana berdialektika mewujudkan kehidupan berbangsa yang beradab. *) Dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo