"BARANG KALI kita adalah generasi terakhir yang akan mengalami kematian," tulis Alvin Silverstein dalam bukunya Conquest of Death. Bahkan ia telah menyusun skenario perkembangan yang memungkinkan manusia mencapai keabadian (immortality). Ia perkirakan bahwa di tahun 1980-an penyakit infeksi oleh bakteri maupun virus akan teratasi, dan di tahun 1999 tercapailah cita-cita "keabadian yang sebenarnya" Harapan Silverstein itu ternyata meleset. Di awal tahun 80-an justru muncul virus baru, yang sangat mematikan, dan belum ditemukan obatnya -- diduga, setidak-tidaknya, sampai akhir tahun 80-an ini. Penyakit itu, AIDS, pertama kali dijumpai di kalangan kaum homoseksual, pemakai narkotik, dan mereka yang gemar berganti partner seks. Karena itu, bagi kaum yang taat beragama, kedatangan AIDS ini dianggap sebagai olok-olok Tuhan terhadap ketakaburan manusia, dan peringatan bagi yang "berdosa". Ternyata, penyakit ini kemudian tidak hanya menyerang kaum yang "berdosa", tapi juga bayi, anak-anak, dan penerima darah -- transfusi dari penderita AIDS yang beritikad baik ingin menyumbangkan darahnya untuk orang lain. Sungguh ironis, memang. Keganasan penyakit ini, cara penularannya, dan belum ditemukannya vaksin untuk melawannya sangat mendramatisasi kehadirannya, sehingga mudah menarik perhatian media massa dan masyarakat umum. Penyakit yang pada pertengahan 1981 lalu masih merupakan laporan medis antardokter dengan cepat berkembang menjadi milik masyarakat. Kini, AIDS tidak lagi menjadi milik profesi kedokteran dengan perlindungan rahasia jabatannya. Di banyak negara, ia sudah dijadikan penyakit yang wajib dilaporkan dan diumumkan. Tidak hanya itu. Ia juga sudah menjadi masalah sosial, karena adanya pengucilan penderita AIDS. Anak yang menderita AIDS, yang tidak tahu kesalahannya, dikeluarkan dari sekolah, karena orangtua murid yang lain tidak ingin anaknya bergaul dengan penderita itu. Pemerintah Kota New York sampai membentuk dewan yang akan menentukan sikap, apakah anak yang menderita AIDS boleh sekolah di sekolah biasa atau tidak. Penyakit AIDS juga sudah menjadi masalah hak asasi. Kaum homoseks di berbagai kota besar di Amerika dan Paris berdemonstrasi menolak tuduhan bahwa merekalah penyebar wabah tersebut. Timbulnya "homofobia" akibat pemberitaan tentang AIDS di kalangan homoseks telah dianggap mematikan kehidupan mereka sebagai warga negara yang perlu dilindungi hak-haknya. AIDS juga telah menjadi masalah politik, ketika pemerintah Haiti dan Zaire memprotes, karena dianggap sebagai negara asal penyakit itu. Ia juga menjadi masalah bisnis, ketika Delta Airlines ketakutan bahwa penderita AIDS yang naik pesawatnya akan mengurangi pelanggan. Delta lantas berniat mengumumkan bahwa penderita AIDS tidak akan diizinkan naik pesawat mereka bersama penumpang yang sehat. Untunglah, niat itu kemudian dibatalkan setelah pimpinan mereka diyakinkan bahwa penderita AIDS tidak akan menularkan penyakitnya hanya dengan naik pesawat terbang. Kecepatan penyebaran AIDS yang sangat tinggi, yang di Amerika konon meningkat dua kali lipat dalam waktu 6-10 bulan, selain menakutkan juga sering membuat orang gemas terhadap kelambanan birokrasi. Dr. Olav H. Alvig sampai menulis surat pembaca di koran American Medical News: "Sungguh tidak dapat saya mengerti sikap CDC (Centers for Disease Control) dan jawatan kesehatan masyarakat yang bersikap "wait and see" menghadapi penyebaran AIDS ini. Dalam tahun 1986 ini diperkirakan AIDS akan menelan korban 20.000 orang (di Amerika), jika pemerintah bersikap lamban. Dan kerugian yang akan terjadi dapat mencapai US$ 10 milyar. Haruskah kita menunggu sampai penyebarannya tidak terkendali, dan sarana pelayanan medis tidak sanggup lagi menampung mereka. Itu adalah salah satu suara dari mereka yang panik. Tetapi, bukankah kewaspadaan berarti pengikutsertaan kesadaran masyarakat terhadap keseriusan masalah ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini