TUBUHNYA sudah begitu kurus, tapi perut dan lehernya membengkak. Di beberapa bagian perut, kulitnya melepuh, dan di antaranya ditumbuhi bintik-bintik merah, mirip orang yang terkena demam berdarah. Keadaan wanita yang mengenaskan itu memang tak berlangsung lama. Tepat pukul 23.23, menjelang tengah malam, 7 Januari yang lalu, ia meninggal -- setelah 8 jam lebih tidak sadarkan diri. Upaya untuk menyelamatkannya, sebenarnya, sudah cukup banyak. Sejak awal Desember 1985, ia dirawat intensif di sebuah rumah sakit swasta terkenal di Jakarta, dengan pengawasan tiga dokter ahli. "Pak Zubairi memberikan perhatian yang amat besar, malah sampai menawarkan bantuan biaya pengobatan andainya kami kekurangan biaya," ujar kakak pasien itu. Yang dimaksudkannya adalah dr. Zubairi Djoerban, ahli hematologi RSCM, salah seorang dokter yang merawat pasien itu. Ternyata Juliati (bukan nama sebenarnya), 25, pasien itu mengidap AIDS, penyakit yang amat menakutkan karena belum ada obatnya. Penyakit itu diketahui sudah menyergap ibu tiga orang anak itu, ketika September tahun lalu, dilakukan tes dengan menggunakan reagensia atas darah pasien ini, di laboratorium penyakit dalam RSCM, dan memberikan kesimpulan positif. Artinya, darah Juliati sudah mengandung virus HTLV III, kuman penyebab AIDS. Tes itu dilakukan tiga kali, dan semua hasilnya: positif. Tanda-tanda klinis pada sang pasien, memperkuat hasil pemeriksaan laboratorium itu: terjadi penurunan bobot tubuh sampai 10%, rasa lemas, dan sakit kepala berkepanjangan. Tak cuma itu, ternyata Juliati juga sudah terserang Pneumocytis Carinii, radang paru-paru berat yang sulit sembuh, dan kemudian, melalui pemeriksaan ultrasonografi, terdeteksi bahwa sang pasien sudah mengidap pembesaran kelenjar getah bening, yang menyebabkan perut dan lehernya membengkak. Ditemukannya virus HTLV III, dan kemudian disertai berbagai gejala klinis itu, sudah merupakan petunjuk yang teramat kuat bagi tim dokter untuk menyimpulkan Juliati terserang AIDS. Hanya saja, para dokter dengan berbagai pertimbangan rupanya tak pernah mengungkapkannya kepada keluarga korban. "Dokter hanya mengatakan bahwa Almarhumah mengidap penyakit Auto Immune Hemolytic Anaemia. Tapi kami -- terutama anak-anak -- diminta agar jangan terlalu dekat dengan Juliati, karena kata dokter dia terkena penyakit yang amat menular. Sehabis menyentuhnya saja, disuruh cuci tangan," ujar sang kakak mencoba menjelaskan. Selain itu, dr. Zubairi Djoerban juga mengusut suami dan anak-anak Juliati, terutama anak bungsunya, "bila anak itu kurang lincah dan tampak lemah, harap segera dilaporkan," kata ayah Juliati kepada TEMPO, menirukan instruksi dokter itu. Di rumah keluarga ini, di sebuah kompleks perumahan di kawasan Jakarta Utara, anak berumur 3 tahun itu memang cukup tangkas memanjat mobil colt yang diparkir di depan rumah. Ia lincah meskipun tubuhnya tampak agak kurus. Tentang keadaan suami Juliati, kurang jelas bagi keluarga ini. Soalnya, sebelum Juliati menderita penyakit aneh itu, mereka berpisah. Yang mereka ketahui, suami Juliati kini tinggal di Sumatera Barat. Menikah pada usia yang amat muda -- ketika dia masih kelas II SMP -- Juliati masih sehat-sehat saja, dan tubuhnya terhitung bongsor sampai mempunyai dua anak. Tapi ketika mengandung anaknya yang ketiga, pada pertengahan 1982, Juliati mulai sakit-sakitan. Tubuh Juliati lemah dan tangannya suka gemetaran. Setelah diperiksa dokter, ketahuan bahwa Juliati mengidap Auto Immune Hemolytic Anaemia (AIHA), sejenis penyakit kelainan darah. Sebagai akibatnya, korban selalu kekurangan darah. Menurut sang ayah, biasanya setiap 3 bulan, anaknya itu pergi ke rumah sakit untuk transfusi. Dan, setelah itu, Juliati akan kuat kembali. Hal itu berlangsung hampir 3 tahun, sampai Juni tahun lalu, tiba-tiba kondisi Juliati menjadi lebih buruk. Keadaannya tetap saja tak membaik, meskipun berkali-kali pergi ke rumah sakit dan menerima transfusi. Malah, sampai 2 Desember tahun lalu, Juliati terpaksa dirawat di rumah sakit. Setelah dirawat, keadaannya tetap memburuk. HB darahnya, misalnya, selalu turun-naik secara drastis. Dari catatan harian yang dibuat kakak Juliati terlihat, terkadang HB itu normal, 12,7, tapi beberapa hari kemudian jatuh ke titik yang sangat rendah. Misalnya, cuma 5, malah pernah hanya 4,11. Transfusi darah dari PMI dilakukan kian sering. Ternyata, Juliati bertambah payah. Sejak 15 Desember, dia harus diberi obat penenang (valium), karena pikirannya mulai terganggu. "Dia menunjuk gelas, padahal maksudnya mau minta makan," ujar sang kakak. Selanjutnya, dia seperti orang sinting, ketawa atau menjerit-jerit ketakutan. Pada 3 Januari 1986, akhirnya dr. Zubairi Djoerban mengatakan kepada keluarga Juliati bahwa kondisi Juliati sudah kritis. Otaknya sudah terserang virus," kata dokter itu seperti diungkapkan kakak pasien itu kemudian. Dokter itu, katanya, mengungkapkan, bahwa kasus seperti Juliati itu amat langka dan di Jakarta baru ditemukan tak sampai 4 kasus. Empat hari kemudian, Juliati boleh dibilang korban AIDS pertama sepanjang yang diketahui dokter di Jakarta. Virus AIDS diduga masuk lewat transfusi darah ketika ia mengobati penyakit anaemianya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini