Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Benarkah ini "akhir sejarah", ketika semua pergulatan untuk dunia yang lebih baik sudah tak berguna lagi? Francis Fukuyama-25 tahun yang lalu menulis The End of History and the Last Man, kita ingat-menguraikan "akhir sejarah" sebagai masa ketika "pergulatan untuk diakui, kesediaan orang mempertaruhkan nyawa buat tujuan yang sepenuhnya abstrak, dan benturan ideologis sedunia yang memanggil tekad, keberanian, imajinasi, dan idealisme" telah habis. Semua itu digantikan "perhitungan ekonomi" dan penyelesaian persoalan-persoalan teknis.
Perhitungan ekonomi, jual-beli, itu juga yang merayap masuk ke persaingan politik dan agama-dan kita menyaksikannya hari-hari ini. Politik dan agama (keduanya sering bercampur) telah jadi pertunjukan narsisisme, dengan politikus dan para pengkhotbah tak henti-hentinya pasang tampang di sepanjang jalan. Atau jadi pertunjukan aritmetik: yang penting angka-angka, dalam jajak pendapat, dalam pemungutan suara, dalam jumlah jemaah dan demonstran.
Maka mungkin Fukuyama benar ketika ia menyebut bahwa ini justru masa yang "sangat sedih", a very sad time. Bukan karena demokrasi liberal berhasil mendesak komunisme dan paham-paham pecundangnya tak berdaya lagi, Fukuyama justru bertepuk tangan untuk kemenangan itu. Tapi ia sementara itu mengakui paradoksnya: ada yang tak menarik hati kemudian setelah itu, yaitu munculnya, di zaman ini, "manusia terakhir".
"Manusia terakhir" adalah makhluk yang letih. Manusia yang memilih kompromi dan stabilitas. Ia bahkan bisa lari dari kemerdekaannya sendiri. Ia hidup dalam kebebasan dan menikmati demokrasi, tapi ia sering juga cemas menghadapi rumit berisiknya kebebasan dan cacat-cacatnya demokrasi. Ketika ia tak bisa lagi menggagas ide, ia sering hanya membuat celoteh dan nyinyir di media sosial.
"Manusia terakhir"-kata itu diambil dari karya besar Nietzsche, Also sprach Zarathustra: manusia terakhir kehilangan keberanian dan tekad untuk mengubah dirinya jadi makhluk ulung, atau Ubermensch.
Ia tak lagi melahirkan "bintang yang menari". Ia tak tahu apa itu cinta, apa pula penciptaan. Bumi telah jadi kecil, dan ke sanalah meloncat datang manusia terakhir, yang "membikin segalanya kecil". Ia bagian dari ras yang tak terhapuskan, macam ngengat.
Bahkan manusia itu tetap dengan cacing dalam dirinya. "Kau telah berubah dari cacing menjadi manusia, tapi banyak unsur dalam dirimu yang tetap cacing. Dulu engkau monyet, tapi sampai sekarang pun manusia lebih monyet ketimbang monyet yang mana pun."
Ada kesan bahwa dengan menyebut "lihat, manusia terakhir", Nietzsche masih mengibarkan ambisi humanisme, yang dalam abad ke-20 (bahkan oleh Nietzsche sendiri) dianggap cuma kegenitan manusia yang takabur mengalahkan sekitarnya. Tapi mungkin juga di saat itu yang digambarkan adalah Zarathustra yang sedang kesal dan kecewa sebagai guru ("Aku mengajarimu manusia unggul") setelah menyaksikan apa yang dihadapinya sehari-hari: manusia sebagai "arus yang cemar", bukan sebagai "laut yang menerima arus yang kotor tanpa jadi cemar".
Tapi mengapa harus kecewa? Barangkali perumpamaan manusia sebagai "arus cemar" justru penting buat memahaminya, bukan untuk menyesalinya. Ia memang bukan untuk dipertentangkan dengan gambaran manusia sebagai subyek yang utuh, padu, murni, selesai sempurna-gambaran humanisme abad yang lalu. Meski demikian, "arus" menggambarkan proses, sesuatu yang belum di titik final. "Arus yang cemar", ein schmutziger Strom, juga menunjukkan gerak yang mustahil murni. Dengan kata lain, manusia adalah keragaman sejarah yang tak selesai. Nietzsche sendiri menggambarkannya sebagai "jembatan", atau "tali titian di atas jurang".
Walhasil, di "akhir sejarah", jika memang bisa dikatakan demikian, kita berhadapan dengan diri kita, makhluk yang tak bisa disimpulkan begitu saja, makhluk yang tak bisa dijadikan monokromatik. Ia memang lemah. Ia "subyek" yang kurang. Tapi dalam hasratnya untuk pengakuan, amarah dan sakit hatinya untuk apa yang dilihatnya sebagai ketidakadilan, ia bisa jadi tekad yang gigantis yang berani menghilangkan nyawanya sendiri. Pendek kata ia tak bisa disekap untuk dihakimi, atau dimurnikan, walau setelah dikutuk dengan cepat sebagai cacing atau monyet.
Maka sejarah tak tahu akan ke mana. Kita bahkan tak tahu apakah ia akan selesai, dan bagaimana "selesai" itu. Kita hanya jalan, jalan, jalan, sesekali mengetuk tembok di depan atau di samping, tiap kali letih, tiap kali antusias.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo