Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAHKAMAH Agung semestinya bersikap lebih bijak menghadapi konflik antara Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI). Sebagai institusi yang berwenang mengesahkan praktek advokat, Mahkamah tidak bisa membiarkan konflik itu berlarut-larut. Jalan keluar perlu dicari sebelum pertikaian menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Sejauh ini, patut disesalkan cara yang ditempuh Ketua Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa dalam mengatasi konflik itu. Harifin mengirim surat kepada semua ketua pengadilan tinggi untuk meminta pengadilan tidak mengambil sumpah advokat baru. Batas permintaan itu juga tak jelas: sampai dua organisasi yang berseteru itu berdamai. Bentuk penyelesaian begini bukan saja tak bijaksana melainkan juga menimbulkan persoalan baru. Sebab, ada sekitar dua ribu calon advokat yang tidak bisa menjalankan profesinya karena pengadilan tidak mengambil sumpah mereka.
Pertikaian antara Peradi dan KAI yang sudah berjalan setahun itu pun semakin menjadi-jadi. Saling klaim sebagai wadah tunggal advokat yang resmi seakan tiada hentinya. Kedua organisasi itu merasa kehadirannya sudah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. KAI, yang lahir belakangan, menuding Peradi tak sah karena dibentuk tanpa melalui kongres. Peradi berkukuh dirinya sebagai representasi undang-undang karena merupakan peleburan delapan organisasi pengacara dan sudah diputuskan Mahkamah Konstitusi sebagai wadah tunggal pengacara.
Akibat pertikaian itu sungguh buruk. Kedua organisasi berlomba mencari anggota baru sebanyak-banyaknya. KAI, misalnya, menyatakan memiliki 19 ribu anggota, sementara Peradi mengklaim kini mempunyai 21 ribu anggota. Mereka juga terus berkampanye, terutama kepada stakeholder masing-masing—seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan—bahwa organisasi merekalah yang sahih di mata hukum. Terang saja para hakim, yang sebelumnya hanya mengenal kartu anggota Peradi, dilanda kebingungan. Mahkamah Agung diharapkan mencari solusi terbaik.
Ada dua hal yang harus dilakukan Mahkamah Agung untuk menyelesaikan kemelut ini. Pertama, mengubah aturan tentang wadah tunggal advokat seperti dalam Pasal 25 UU Advokat. Kemajemukan sudah merupakan keniscayaan bagi bangsa ini. Itu sebabnya membatasi jumlah organisasi profesi seperti dalam Undang-Undang Advokat ibarat melawan keberagaman itu. Apalagi, dengan kewenangan besar—misalnya mengutip uang iuran, menentukan besarnya biaya kursus, dan menentukan lulus-tidaknya seseorang sebagai pengacara—organisasi tunggal rawan diselewengkan menjadi sarang korupsi. Aturan pembatasan ini perlu dicabut. KAI dan Peradi mesti mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk meminta pasal wadah tunggal tadi ditanggalkan.
Kedua, seleksi calon advokat sebaiknya kini diserahkan kepada sebuah komisi independen. Mahkamah Agung bisa membentuk komisi itu. Anggotanya, umpamanya, para pengacara dan hakim senior yang integritasnya tidak diragukan. Calon advokat—termasuk didikan Peradi dan KAI—yang dinyatakan lulus oleh komisi independen inilah yang kemudian dilantik dan diambil sumpahnya oleh pengadilan.
Mahkamah Agung mesti berani membuat terobosan itu. Mahkamah tak boleh terus-menerus membiarkan ketidakpastian terjadi atas para calon advokat. Selain itu, Mahkamah juga perlu ikut berperan memperbaiki kualitas pengacara di negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo