Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siti Khoiyaroh, bocah empat tahun itu, pasti tak paham kenapa dagangan ibunya harus ditertibkan. Ibunya, Sumariyah, hanya berjualan bakso, bukan barang terlarang seperti narkoba. Tapi Sumariyah tentu maklum. Polisi pamong praja datang mengobrak-abrik pedagang karena diperintahkan menciptakan ketertiban. Perintah itu datang dari atasannya, ya, sebut saja Wali Kota. Dan sang Wali Kota bertindak atas nama peraturan, karena Jalan Raya Boulevard, di depan World Trade Center Surabaya yang megah itu, harus menjadi kawasan yang tertib. Artinya, tidak boleh ada yang berjualan di jalanan.
Surabaya tak lantas jadi bersih. Problem sosial kota-kota besar Indonesia tetap saja membelit ibu kota Jawa Timur itu. Lapangan kerja sulit dicari, banyak orang lari ke sektor informal, salah satunya dengan berjualan. Karena modal seadanya, mereka tak mampu menyewa kios, jadilah mereka membuat gerobak dorong dan berjualan di jalan-jalan. Kota menjadi ”kotor” dan mereka dianggap melanggar ketertiban karena jalan merupakan tempat terlarang untuk berjualan. Rakyat kecil yang disebut pedagang kali lima ini—entah siapa yang mengarang julukan itu—selalu saja menjadi sasaran penertiban meskipun terkadang membayar bermacam pungutan kepada aparat.
Dilematis, karena pemerintah kota tak mampu menampung mereka di tempat yang layak. Atau, justru pedagang kaki lima sendiri yang ogah berjualan di tempat yang ditentukan, lantaran pembelinya sepi. Jadi ada lagi keterlibatan pihak ketiga, yakni pembeli yang ingin mendapat barang lebih murah dan membeli karena pedagang kali lima datang menghampiri mereka.
Pembeli tak pernah terlibat bentrokan karena tak pernah ditertibkan. Bentrokan kerap terjadi sebab yang namanya penertiban hampir selalu disertai kekerasan. Jika penertiban dilakukan dengan sopan dan bahasa yang lembut, itu namanya ”peringatan”. Polisi pamong praja pasti merasa tak perlu memberikan peringatan lagi—apalagi biasanya di kawasan itu sudah ada tanda ”dilarang berjualan”.
Masalahnya, bisakah penertiban dilakukan dengan manusiawi. Kenapa Sumariyah harus dijambak rambutnya, yang menyebabkan bocah Siti terlepas dan terguyur kuah bakso yang mendidih? Sungguh menyedihkan dan keterlaluan. Bocah malang itu terkena luka bakar berat dan meninggal dalam perawatan di rumah sakit.
Kekejaman polisi pamong praja memang tak sekali ini. Di banyak kota, praktek penertiban yang tak tertib berlangsung hampir setiap hari. Pedagang tak cuma diusir, barang dagangannya pun diobrak-abrik dan dirampas, padahal modal pedagang, ya, hanya seisi gerobaknya itu. Perikemanusiaan polisi pamong praja bagai luntur. Lihat contoh lain, polisi pamong praja di Tangerang membiarkan Fifi yang diduga pelacur tercebur ke Sungai Cisadane setelah dikejar dan dilempari batu. Fifi akhirnya tewas. Bahwa ia pelacur atau tidak, siapa yang sanggup menghakiminya lagi?
Penertiban oke-oke saja. Sedikit ada ketegangan itu jamak, karena yang satu mau tertib, yang lain pada dasarnya tidak tertib. Tapi akar ketidaktertiban rakyat kecil ini harus dipecahkan. Wali Kota Solo berhasil menertibkan pedagang kali lima dengan damai, karena pendekatannya manusiawi. Polisi pamong praja di kota lain harusnya belajar dari Solo dan perlu mengasah kepekaan sosial. Mungkin saatnya polisi pamong praja ditatar bagaimana menertibkan massa. Selalu terjadi, mereka yang sejatinya warga sipil tapi karena diberi embel-embel ”polisi” tindakannya ”overdosis”. Mereka bertingkah melebihi polisi yang sebenarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo