Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Koalisi Kalang Kabut

25 Mei 2009 | 00.00 WIB

Koalisi Kalang Kabut
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

APA mau dikata, kita sedang dipimpin oleh rezim yang terbelah setelah presiden dan wakilnya menyatakan siap berlaga dalam pemilihan presiden 8 Juli nanti. Rakyat kudu mulai terbiasa menyaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla tak lagi semesra ketika mereka mulai berduet pada 2004.

Dalam musim kampanye ini, publik seperti diajari menerima kenyataan tak sedap bahwa kedua pemimpin sekarang semakin gencar melancarkan perang urat saraf, saling kritik, baku sindir. Benar bahwa keduanya teguh menyatakan akan tetap bergandengan tangan sampai akhir masa jabatan, tapi rasanya sulit mengukur seberapa efektif pemerintahan berjalan.

”Perang bintang” itu dengan gamblang terlihat dari ajang deklarasi sampai tayangan talk show di televisi. Kita pun akhirnya tahu—dan akhirnya juga maklum—mengapa keduanya berpisah. Bukanlah kiamat kalau ”kimiawi cinta” mereka sulit disatukan kembali. Keterbukaan begini malah bagus. Dengan begitu, publik tak lagi dicekoki hipokrisi kedua pemimpinnya, yang dikemas seolah-olah kompak tapi di belakang saling tikam.

Yang penting, pernyataan kedua pemimpin untuk berjalan seiring sampai akhir janganlah cuma menjadi pemanis bibir. Mereka pantas membuktikan komitmen itu dalam keseharian. Presiden Yudhoyono, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, sebaiknya menjamin bahwa persaingannya dengan Jusuf Kalla tak mempengaruhi pemerintahan.

”Politik kantor” di kabinet tak boleh terjadi lagi. Presiden mesti tetap mengundang Wakil Presiden seperti biasa. Sebaliknya Kalla mestinya tetap hadir dalam sidang kabinet, termasuk rapat paripurna dan rapat-rapat terbatas. JK patut berkeras hadir, walaupun ada telepon dari Istana yang mengisyaratkan bahwa kedatangannya tak terlalu diharapkan—seperti yang terjadi pekan-pekan lalu.

Kepentingan negara hendaklah diletakkan lebih tinggi daripada kepentingan Partai Demokrat atau Partai Golkar dalam membangun koalisi demi memenangi kursi kepresidenan. Tak diharapkan urusan koalisi yang kalang kabut, penuh intrik, berubah-ubah, mempengaruhi masa-masa akhir duet kedua pemimpin. Dibutuhkan jiwa besar dan kenegarawanan yang cukup untuk memisahkan dua kepentingan tadi.

Dengan demikian, kritik sengit Ketua Umum Partai Golkar di pelbagai kesempatan mestinya tak dianggap dosa besar yang tak bisa dimaafkan. Tak bijak jika curahan hati Kalla itu direspons dengan memotong haknya ikut rapat kabinet untuk memikirkan masalah negara. Dalam pemerintahan, SBY bagaimanapun masih atasan JK. Kalau ia merasa ada yang salah dengan wakilnya itu, umpamanya lantaran kerap mengobral ”curhat” di luar kantor, ia berhak menegur pembantunya itu.

Di lain pihak, dilema Kalla janganlah diterus-teruskan. Kalau dia tetap saja tak puas, dan berkeras menjadikan rahasia dapur pemerintah sebagai bahan kampanye, sebaiknya dia non-aktif atau bahkan mundur. JK diharapkan mengambil posisi yang jelas, walaupun ia merasa ikut dipilih langsung oleh rakyat.

Setiap menteri hendaknya bertugas seperti sebelum masa pemilu. Aturan libur maupun cuti pejabat tinggi tak bisa dilanggar tanpa alasan. Dalam kaitan ini, kurang elok rasanya mengizinkan Menteri-Sekretaris Negara Hatta Rajasa sebagai ketua tim sukses pasangan SBY-Boediono. Ini sama saja dengan memberikan peluang aparat birokrasi ikut berpihak. Hatta mestinya non-aktif begitu masuk ranah politik praktis, agar tak terjadi benturan kepentingan. Momentum ini bisa sekaligus dijadikan pedoman bagi pejabat negara—dari bupati hingga presiden—agar melepaskan posisi rangkapnya sebagai pengurus partai politik demi menghindari konflik kepentingan.

Terjadinya kekosongan pemerintahan tak boleh terulang. Kedua pucuk pimpinan negeri tak bisa absen secara bersamaan seperti pada awal April lalu. Ketika itu Presiden SBY menghadiri konferensi tingkat tinggi G-20 di London. Adapun Kalla sedang cuti kampanye ke Malang, Jawa Timur, sehingga Jakarta praktis kosong. Meskipun berhadapan secara politik, keduanya bisa berbagi masa cuti dengan transparan dan adil.

Sesungguhnya keadaan ini memberikan pelajaran penting: negeri ini membutuhkan aturan main yang jelas tentang lembaga kepresidenan. Konstitusi pun sudah mengamanatkannya. Rancangan Undang-Undang Lembaga Kepresidenan yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat perlu menjadi agenda penting bagi anggota Dewan yang baru terpilih. Dalam undang-undang itu, misalnya, mesti diatur detail ihwal kampanye dan rangkap jabatan presiden dengan ketua partai.

Demokrasi kita tak perlu surut hanya akibat kedua tokoh tertinggi Republik berpisah dan bersaing memperebutkan jabatan puncak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus