Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Lalove dan Flute dalam Satu Napas

Franki Raden kembali menggelar Indonesian Music Expo. Mencoba mengukuhkan Bali sebagai pusat musik dunia.

12 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penuh semangat, Aksi meniup lalove, seruling panjang dari Palu, Sulawesi Tengah. Iramanya lincah dan riang, memancing orang untuk bergoyang. Di kampungnya, lalove dibawakan dengan irama yang tenang dan terkesan magis, karena seruling itu biasa dimainkan untuk menyembuhkan kesurupan.

Keriangan yang memancar dari permainan kakek 60 tahun itu membuka Indonesian Music Expo (Imex) 2012 di Nusa Dua, Bali, Sabtu-Minggu dua pekan lalu. Orang asli suku Kaili itu tampil bersama Ensambel Modero Palu (EMP), grup musik pimpinan Amin Abdullah. EMP mengaransemen ulang permainan gamelan suku Kaili dan membawakannya secara modern. Grup ini pula yang membawa Aksi berkeliling ke mancanegara dan berbagai daerah sejak 1997. Dengan aransemen baru, Aksi tak lama memainkan serulingnya. Biasanya dia mampu meniupnya hingga dua jam untuk mengiringi pembacaan mantra. "Di sini mainnya pendek-pendek saja," ujarnya sambil tertawa.

Ensambel ini juga mengikuti selera penonton masa kini. Dalam tradisi Palu, gamelan itu biasa digunakan untuk mengantar mempelai laki-laki ke rumah mempelai perempuan dalam sebuah upacara perkawinan. Tapi Amin mengubahnya jadi musik yang bisa dipentaskan dan berinteraksi dengan penonton.

Pada salah satu lagu, misalnya, vokalis perempuan mengundang tiga penonton naik ke panggung untuk memainkan musik bambu pa'e dalam komposisi yang sederhana. "Sangat mudah dan semua bisa ikut bermain," kata Amin. Tapi yang paling ramai adalah saat lagu terakhir, Kakula-kakula, dimainkan. Penyanyi turun panggung dan mengajak penonton menari membentuk lingkaran. Aslinya, tarian ini dimainkan sebagai pesta syukur seusai panen.

Festival musik internasional yang digagas etnomusikolog Franki Raden itu mengusung musik dunia (world music), suatu genre yang mempertemukan musik tradisi dengan musik Barat. Beberapa musikus Indonesia yang sudah populer di jalur musik pop dan rock muncul di sini, seperti Fariz RM, Iwa K, Joy Tobing, Andy "\rif", dan Renny Djajoesman. Mereka tampil membawakan lagu-lagu yang sebelumnya telah ditampilkan dalam pentas "Tembang Harmoni" di Jakarta. Adapun musikus yang sudah dikenal di genre musik dunia adalah Dwiki Darmawan dan Ayu Laksmi dengan Svara Semesta-nya.

Mereka bersanding dengan sejumlah musikus dunia, seperti Clio Karabelias (Yunani), yang piawai memainkan harpa; Pejman Jahanara (Iran), yang mengusung tradisi musik sufi; penekun musik Indian dan Eropa Abad Pertengahan, Kailash Kokopelli (Swiss); pemusik Latin, Ron Reeves (Australia); Wang Ying (Cina), yang tampil memainkan instrumen tradisional negerinya; serta Mayco Santaela (Argentina), yang menguasai perkusi dari berbagai belahan dunia.

Genre musik dunia adalah nama payung untuk menyebut berbagai jenis musik tradisi dan yang di luar arus utama musik Barat. Encyclopedia Britannica 2004 mencatat bahwa nama ini muncul untuk menang­gapi banyaknya rekaman musik non-bahasa Inggris yang dirilis di Inggris dan Amerika Serikat pada 1980-an. Kategori kontroversial ini menampung beragam jenis musik, dari band gitar Zimbabwe, musik sufi Pakistan, hingga musik rakyat Barat, seperti seruling Cajun. Istilah yang ada sebelumnya, "musik internasional", tampaknya kurang memuaskan dan membentang dari album musik tradisi untuk cendera mata wisatawan hingga rekaman lapangan para etnomusikolog di Afrika, Asia, dan kawasan lain.

Jadi, pada dasarnya sejarah musik dunia adalah sejarah pemasaran musik asing oleh perusahaan rekaman Barat, termasuk Real World Records milik bintang rock Peter Gabriel, bekas vokalis Genesis. Gabriel berperan penting di sini karena atas dukungannyalah festival musik dunia terbesar, World of Music, Arts and Dance ­(WOMAD), bergulir sejak 1982 di Inggris. Namun lambat-laun istilah itu dipungut pula oleh para musikus dan kini umumnya dipakai untuk membawa musik "asing" mendekat ke musik populer arus utama Barat.

Bagi Franki, Imex nantinya akan berpuncak pada popularitas Bali sebagai pusat musik dunia. "Bali mempunyai potensi itu karena merupakan daerah persimpangan internasional," ujarnya. Kekayaan musik Bali juga sangat kuat karena musik tradisionalnya diwariskan secara turun-temurun.

Sebetulnya apa yang disajikan Franki di Imex adalah sepotong cakrawala musik dunia, yang memungkinkan kekayaan musik tradisi Indonesia muncul di panggung internasional, yang bukan sekadar pentas ala kadarnya untuk menghibur tamu negara. Pada pergelaran ini, misalnya, kita bisa menyaksikan kekuatan dan keunikan setiap jenis musik yang dimainkan secara profesional.

Bahkan "percakapan" antarmusikus juga ada. Itu terjadi, misalnya, ketika Dwiki Darmawan hendak menyelesaikan pertunjukannya dengan memainkan flute dalam nada santai. Tiba-tiba Kailash Kokopelli ­datang dengan seruling Indian yang melengking tinggi dan menyayat, seperti yang sering muncul di film-film koboi. Dwiki pun membalas dengan permainan flute bernada tinggi. Jadilah keduanya bersahut-sahutan dengan instrumen masing-masing, hingga pada puncaknya kedua alat tiup itu melengking tinggi bersamaan.

Imex juga membuka ruang bagi kemungkinan memasarkan musik tradisi Indonesia. Dalam salah satu diskusi yang menyertai festival, promotor musik Leonardo Pavkovic menyampaikan perlunya para musikus melihat musiknya sebagai sebuah proyek. Jadi, harus ada keterlibatan secara total, mulai penggarapan hingga promosi dan penjualan. "Tidak boleh menyerahkan semua kepada produser dan mereka hanya menggarap proses produksinya," kata Pavkovic, yang melalui MoonJune Records telah menangani sejumlah musikus Indonesia untuk menembus pasar dunia.

Bagi musikus sendiri, musik dunia adalah hiburan dan upaya untuk mempersatukan banyak orang menjaga dunia. "Perdamaian, kebersamaan, dan kerja sama untuk menjaga lingkungan adalah misi di balik musik ini," kata Kokopelli. Menurut dia, semua jenis musik yang masuk genre ini disatukan oleh akar yang sama, yaitu keharmonisan dengan alam dan spiritualitas. Ini membuka peluang untuk terciptanya dialog dari hati ke hati yang lintas budaya dan generasi.

Rofiqi Hasan (Bali), Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus