Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Amerika Mendhem Jero

Bill clinton bersedia menjalin hubungan dengan richard nixon. Di masa kekuasaanya, clinton menentang kebijaksanaan politik nixon. Terutama perang vietnam. clinton melupakan hal-hal buruk yang pernah dilakukan pendahulunya.

7 Mei 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA waktu setelah Bill Clinton menang dalam pemilihan presiden 1992, ia ditelepon Richard Nixon, bekas presiden yang ketika itu sudah berusia hampir 80 tahun. Nixon menawarkan jasa baiknya, khususnya di bidang hubungan internasional, kepada presiden terpilih Clinton itu. Jumat malam dua pekan lalu (22/4), Clinton mengumumkan dari Gedung Putih bahwa Nixon telah wafat. Dalam pidato singkat, dia mengaku belajar banyak dari gagasan dan saran yang disampaikan Nixon selama satu tahun lebih. Dia juga mengatakan bahwa dirinya akan hadir pada upacara penguburannya nanti. Kata Clinton: pengetahuan umumnya tentang Rusia, dan jaringan kenalannya yang luas, membuat Nixon sebuah sumber keahlian yang berharga. George Romney, bekas lawan Nixon di Partai Republik, menambahkan, selama paruh kedua abad ke-20, tidak ada presiden yang lebih menguasai masalah internasional ketimbang Richard Nixon. Saya sendiri merasa kaget dan agak jengkel mendengarkan kata- kata pujian dari presiden saya tentang Nixon. Saya kaget sebab Bill Clinton mewakili Partai Demokrat, dan angkatan pembangkang tahun 1970-an. Kesadaran politiknya dibentuk pada masa berkobarnya Perang Vietnam, yang sangat memecah-belah masyarakat Amerika. Dia melawan pemerintah Nixon yang mengebom Kamboja secara rahasia dan memperpanjang perang di Vietnam tanpa alasan jelas. Lagi pula, istrinya Hillary, yang sekarang First Lady, pada tahun 1973-1994 menjadi staf ahli komisi Kongres yang menyelidiki kejahatan Nixon di Watergate. Saya jengkel sebab saya juga termasuk anggota Partai Demokrat dan kubu pembangkang Perang Vientam. Bagi saya Richard Nixon termasuk presiden yang paling mengecewakan selama paruh kedua abad XX. Mengapa Bill Clinton bersedia menjalin hubungan pribadi dengan Nixon? Salah satu alasannya bisa dijelaskan dengan pepatah Jawa yang sering didengar di Indonesia: mikul duwur mendhem jero. Budaya memaafkan itu berlaku juga di Amerika, di tingkat keluarga maupun negara, dan mungkin bersifat universal. Dalam kasus Nixon, saya sendiri belum merasakannya. Tapi saya menghormati orang Amerika lain seperti Clinton yang mau melupakan hal-hal buruk yang telah lama lewat. Selain itu, barangkali Clinton merasa miris di depan tantangan-tantangan internasional yang dihadapinya. Ia tak bodoh mengenai masalah-masalah luar negeri. Tetapi ia dibesarkan dan tinggal hampir seluruh hidupnya di pedalaman Amerika. Lagi pula, lensa kampanyenya terfokus pada soal-soal dalam negeri, seperti bagaimana memperbaiki sistem asuransi kesehatan dan mengentaskan kemiskinan, sebagai presiden, dia terpaksa mengambil keputusan mengenai berbagai masalah internasional yang sangat pelik dan terkadang berbahaya, dari Haiti sampai Korea Utara. Wisdom atau kebijakan Nixon sebagai orang yang berpengalaman tentu menarik bagi Clinton. Tapi ada alasan lain yang lebih meyakinkan. Yang saya maksudkan adalah pengaruh institusi kepresidenan, selaku lembaga yang berdiri terpisah dari orang yang kebetulan sedang menjabatnya. Bill Clinton adalah warga Demokrat dan pembangkang terhadap Perang Vietnam. Namun, sebagai presiden dia merasa senasib-sepenanggungan dengan bekas musuh politiknya yang juga bekas presiden. Mereka berdua terdorong untuk membela dan memajukan kepentingan jabatan mereka terhadap pesaing dalam negeri, seperti Kongres, dan luar negeri, seperti Uni Soviet/Rusia. Hal ini tentu saja berdasarkan keinginan mereka untuk dicatat sejarah sebagai pemimpin yang berprestasi besar untuk bangsa dan dunia. Apakah sikap ini, seperti mendhem jero dan miris, terdapat pula pada lembaga kepresidenan di Indonesia? Meskipun Indonesia sebagai negara merdeka jauh lebih muda dari Amerika Serikat, 200 tahun berbanding 50 tahun, saya kira ada persamaan. Kendati baru dijabat oleh dua orang, institusi kepresidenan di sini sudah mulai melembaga. Salah satu bukti nyata adalah perlakuan Presiden Soeharto terhadap Presiden Soekarno. Sejak awal Orde Baru, Presiden Soeharto selalu menekankan sumbangan-sumbangan positif Soekarno sebagai proklamator dan presiden pertama. Dalam hal ini dia sering berbeda pendapat dengan para bekas pembangkang yang pernah berjuang untuk menjatuhkan Orde Lama. Dan saya yakin bahwa presiden ketiga nanti juga akan merasa terdorong untuk melanjutkan dan memperkuat jabatannya atas dasar prestasi yang telah dicapai oleh dua pendahulunya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus