Kurang dari empat minggu, pada Selasa 5 November yang lalu polisi berhasil menangkap seorang tersangka anggota komplotan pengeboman di Kuta, Bali. Penangkapan Amrozi atau M. Rozi di Dusun Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur, itu akan menguakkan jalan untuk membongkar semua pelaku di balik pengeboman Bali. Sementara ini, Amrozi dinyatakan terlibat karena dia mengaku begitu kepada polisi.
Ada beberapa hal yang ingin kita catat dari peristiwa penangkapan ini. Mula-mula kita ingin diyakinkan bahwa proses menuju penangkapan Amrozi ini adalah hasil penyidikan reserse polisi yang biasa. Hendaknya penangkapan itu bukan gerakan semu dari kiat intelijen untuk memancing sesuatu yang lain dan mungkin lebih besar.
Lalu kita juga harus memperhitungkan kemungkinan adanya pengaruh semangat tinggi memerangi terorisme secara global, sampai memakai cara-cara istimewa untuk penumpasannya. Tak bisa disangkal, ada semacam ketidaksabaran dalam kampanye anti-terorisme sehingga membenarkan orang menempuh jalan pintas yang lebih cepat.
Kalau betul ada yang luar biasa, masyarakat jangan dikorbankan dengan informasi yang membingungkan, atau yang membuatnya jadi bertanya-tanya. Tidaklah adil memberi sugesti ke suatu arah, lalu kemudian membelokkan lagi ke arah lainnya. Pemerintah, melalui aparat keamanannya, harusnya memberi pegangan, bukan membiarkan opini masyarakat terbangun tanpa dasar.
Ketika pertama kali kabar penangkapan Amrozi disiarkan televisi Rabu tengah hari, sorenya Kepala Dinas Penerangan Kepolisian Daerah Jawa Timur membantahnya dengan amat tegas. Bahkan dia menyangkal mengenal nama Amrozi dan mengetahui soal minibus Mitsubishi L300 yang diduga jadi kendaraan pengangkut bom itu. Sangkalan ini tentu membingungkan karena sebetulnya sumber berita penangkapan berasal dari polisi juga.
Sekarang, sejak Kamis petang, penangkapan dan penetapan status tersangka bagi Amrozi itu diakui oleh Kepala Polisi RI Jenderal Da'i Bachtiar sendiri, persis sama dengan berita kemarinnya. Tapi, simpang-siur telah terjadi dan tidak diluruskan dengan keterangan apa latar belakangnya. Karena polisi merasa tidak berutang penjelasan, masyarakat mereka-reka sendiri kemungkinan penyebabnya.
Ada yang menduga bahwa semacam disinformasi—keterangan menyesatkan untuk membuat efek tertentu—telah dilancarkan dengan sengaja oleh polisi. Apa tujuannya, tentu tidak dijelaskan. Tapi teknik disinformasi, atau misinformasi, yang hakikatnya sama dengan sekadar berbohong itu, bisa merugikan banyak pihak, dan memalukan kalau terungkap. Dinas rahasia Amerika Serikat dulu pernah mengarang informasi tentang regu pembunuh bayaran yang dikirim Muammar Qhadafi dari Libia untuk menghabisi Presiden Reagan. Ketika kebohongan itu dibongkar pers, dinas rahasia dan pemerintahan Reagan dipermalukan, dikecam, dan kredibilitasnya dilukai.
Barangkali polisi kita sudah lama tidak peduli lagi soal malu. Tapi, bagaimanapun, kepolisian selalu butuh kredibilitas. Karena itu, penjelasan yang jujur tetap diperlukan. Memang bisa juga yang terjadi bukan disinformasi. Mungkin sekadar masalah prosedur penangkapan di suatu daerah kepolisian yang dilanggar oleh tim pemburu Amrozi—yang datang dari Jakarta dan dari Bali—sehingga terjadi silang pernyataan yang berlawanan di antara pejabat polisi sendiri. Ini pun harus dikritik, karena lebih mengurangi kredibilitasnya lagi kalau polisi masih mementingkan persaingan wewenang dan gengsi ketika menghadapi persoalan nasional yang gawat.
Sementara ini, setelah tertangkapnya Amrozi, dengan merekat keping-keping yang terkumpul—mau tidak mau—mulai tersusun gambaran jaringan yang mengaitkan Ustad Abu Bakar Ba'asyir dari Pondok Pesantren Ngruki, Jamaah Islamiyah, dan peledakan bom di Bali. Masih agak samar, tapi polanya mulai muncul. Apakah pola itu sudah digambar lebih dulu, baru kepingan informasi yang cocok atau disesuaikan dikumpulkan belakangan, itulah yang masih harus diperiksa selanjutnya.
Yang terang, Ba'asyir ditangkap lebih dulu dari Amrozi. Masyarakat sendiri, melalui beberapa jajak pendapat, lebih banyak yang menyangsikan keterlibatannya dalam beberapa peristiwa peledakan bom di Indonesia. Polisi juga menahan diri untuk membuat asosiasi yang terlalu dini antara Ba'asyir dan Amrozi.
Ba'asyir sendiri langsung menyangkal. Amrozi mengakui turut ambil bagian dalam pengeboman Bali, kata polisi. Data tentang Amrozi yang digali dan diberitakan pers mengungkapkan banyak titik singgungnya dengan Ba'asyir. Dia berasal dari Tenggulun, Lamongan, tempat Pondok Pesantren Al-Islam yang dipimpin Ustad Zakaria, lulusan Pesantren Al-Mukmin di Ngruki pimpinan Ba'asyir. Pendiri pesantren di desa Tenggulun itu adalah H. Khosin, abang kandung Amrozi.
Kecurigaan boleh makin bertumpuk, tapi tak berarti kita diizinkan memaksakan korelasi kepingan fakta itu dirangkai dalam pola yang tersedia. Memang, dalam perang melawan teror, jalan memotong punya daya tarik untuk dilakukan. Perpu Anti-Terorisme, penangkapan Umar al-Faruq dan proses verbal pengakuannya, tekad unilateralisme Amerika menyerang Saddam Hussein, sweeping di Australia, semua adalah contoh jalan pintas yang tengah dilaksanakan.
Tapi, dalam soal Amrozi, jalan pintas tidak perlu dipakai. Selain karena menambah keresahan masyarakat yang sudah tipis kepercayaannya, juga sebaliknya akan membuang kesempatan membongkar komplotan yang menghalalkan teror ini sampai ke puncak dan akarnya. Ini perlu, dan caranya ialah dengan penyidikan kepolisian yang sempurna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini