PENYAIR memang lebih sering menjengkelkan. Tingkah polanya yang
awutan, sikap egoistis, baju dan jaketnya yang dekil, bisa bikin
sebal. Tapi puisi lebih sering mengharukan. Pesannya yang
langsung, ekspresi yang tulus dan "telanjang", suasana personal
yang universil, mudah membuat kita terkena. Luluh. Kalau
komunikasi, empat sampai ke hati, maka hal-hal lain segera
terasa sebagai embel-embel. Sampingan dan tidak penting.
Pada tahun 1975, entah di hari bulan mana, seorang penyair
Indonesia menulis selalu tak dapat kulihat kau dengon jelas /
Padahal aku tidak rabun dan ku pun tidak pula bercadar / Hanya
setiap hal memang harus lebih diwajarkan dari semula". (Abdul
Hadi W.M.)
Pada akhir tahun 1977, keresahan penyair itu tiba-tiba terasa
bagaikan bukan hanya keresahannya seorang. Ada banyak hal
besar-kecil, dengan apa kita berurusan, hilang timbul seperti
cahaya lampu dalam kabut. Pernyataan sikap ABRI terhadap situasi
dewasa ini, dengan sinyalemen yang terkandung di dalamnya,
mengesankan adanya keinginan kuat untuk membuat jelas beberapa
masalah yang masih samar. Khususnya, yang berhubungan dengan
stabilitas nasional, perjuangan Orde Baru, Sidang Umum MPR,
demokrasi Pancasila dan kehidupan konstitusionil menurut WD 45.
Semua yang baru disebut itu adalah soal besar, hakiki dan
sebetulnya jelas. Dalam kata penyair kita, soal-soal itu
sebetulnya "tidak pula bercadar."Berarti kita tahu benar bahwa
stabilitas nasional adalah masalah seluruh rakyat, perjuangan
Orde Baru belum pernah ditolak sampai kini, demokrasi Pancasila
sedang dikembangkan, UUD 45 akan selalu dipertahankan dan sidang
umum MPR adalah momentum yang amat penting bagi tercapainya
konsensus nasional. Tetapi kenapa gerangan "tak dapat kulillat
kau dengan jelas?"
Seperti umum diketahui, dalam dasar filsafat negara kita --
Philosophische Grundlage - demokrasi Pancasila adalah jelas
dalam sistim hukum kita UUD 45 adalah jelas dalam Trilogl
Pembangunan stabilitas nasional adalah jelas. Karena itu hal
jelas-tak jelas mungkin bukan harus dicari pada kedudukan de
jure masalah-masalah itu, tetapi pada kedudukannya yang de
facto: dalam kehidupan aktuil, dalam perjumpaan dan penghadapan
kita dengan politik, dengan kenyataan ekonomi, dan dengan
realitas sosial. Adakah jelas juga di situ semua cita-cita yang
dibanggakan selama ini?
Dalam konteks yang demikian inilah, ajakan ABRI menjadi relevan:
membuat cita-cita nasional menjadi kenyataan sosial. Tidaklah
mengherankan kalau ABRI tak bertepuk sebelah tangan dengan
pernyataannya. Ada gayung bersambut, ada kata berjawab, dari
Dewan Mahasiswa, dari DPP-PDI, dan dari organisasi mahasiswa
ekstra-universiter seperti HMI.
Sebabnya mungkin karena apa yang, disuarakan oleh pernyataan itu
mengandung pula unsur hasrat berbagai kalangan masyarakat.
Keinginan itu tidak megah, tapi mendasar, tidak fundamental.
Dalam kata-kata penyair kita: "Setiap hal memang harus lebih
diwajarkan dari semula.
**
Entah di tahun berapa - yang pasti sebelum masa Orde Lama -
penyair Indonesia yang lain juga menulis: "Aku menyeru --- tapi
tidak satu suara / membalas, hanya mati di beku udara / Dalam
diriku terbujur keinginan / juga tidak bernyawa. "
Kalau sajak itu ditulis oleh Amir Hamzah, mungkin tidak terasa
istimewa. Raja Penyair Pujangga Baru itu suka "menangis" dalam
puisinya mungkin juga dalam kamarnya. Menjadi menarik justru
karena keluh-kesah itu adalah suara "binatang jalang" Chairil
Anwar, pemberontak yang memilih terbuang dari kumpulamlya. Jelas
juga sebab-musabab keluh-kesahnya: komunikasi yang terputus:
"tidak satu suara, membalas".
Keluh-kesah mungkin saja jadi pertanda sikap cengeng. Tetapi ia
dapat juga menjadi indikator bagi dinamik situasi masyarakat.
Pada saat kemungkinan untuk aktivitas dan aktivisme menjadi
tertutup, maka dialn dan keluh-kesah menjadilah bentuk survival
lain dalam sifatnya yang defensip. Di mana kemungkinan bagi
keleluasaan, pertumbuhan, kemerdekaan dan kreativitas terancam
bungkam oleh inhibisionisme politik, di sana mekanisme
satu-satunya untuk berahan adalah keluh-kesah. Apa yang masih
mungkin diharapkan kalau keinginan "juga tidak bernyawa?"
Maka agak mengherankan memang kalau mendengarkan ucapan "ada
oknum-oknum tertentu yang ingin bertindak inkonstitusionil".
Yang mengherankan adalah kenapa ucapan begituan sampai
berulangkali dilempar ke tengah masyarakat, yang sudah payah
memikirkan duit karcis bis dan tabungan untuk tahun sekolah
baru?
Kalau benar ada oknum-oknum yang bertindak menentang atau ingin
mengkhianati konstitusi? kenapa tidak terang-terangan menyeret
mereka ke pengadilan? Biar jelas di mata dunia, mana belangnya
anak Indonesia yang durhaka tak tahu di untung? Dengan begitu
jelas juga bahwa di Indonesia hukum masin jadi kriterium
pengukur kebajikan dan dosa kepada ibu Pertiwi.
Membombardir masyarakat banyak dengan peringatan-peringatan
setengah jelas, tanpa memberi penindakan hukum terhadap para
penyeleweng, sama saja seperti memperingatkan wabah sampar ke
dalam kota, tanpa menyungkirkan orang ini ke dalam karantina
atau rumah sakit.
Kalaulah kemantapan dan keamanan nasional menjadi perhatian dan
sebab kewaspadaan, maka menindak secara hukum para pengacau
nasional, adalah jalan yang efisien kepada kemantapan.
***
Komunikasi memang pada dasarnya proses tukar-menukar kesempatan
bicara dan kesempatan-diam. Bila dua nrang serempak bicara pada
suatu saat yang sama, maka komunikasi tidak terjadi. Bila
keduanya serempak berdiam diri, komunikasi pun menjadi sulit.
Bila hanya satu pihak yang terusmenerus bicara, maka yang
terjadi adalah komunikasi satu arah. Bila kedua pihak dapat
tukar-menukar saat-diam dan saling mendengarkan, komunikasi
menjadi lengkap dalam dialog.
Tak dapat dipastikan pihak mana di Indonesia ini yang ingin
bicara terus-menerus, dan mengharuskan pihak lain untuk diam
terus-menerus. Yang dapat dipastikan adalah ngerinya situasi
nasional bila sajak hairil Anwar benar berlaku untuk
masyarakatnya: "Aku menyeru tapi tidak satu suara / membalas,
hanya mati di beku udara / Dalam diriku terbuiur keinginan /
juga tidak bernyawa".
***
Seorang anak muda iseng-iseng mengatur kamar sewaannya untuk
menyambut Tahun Baru. Biar rapih, tersedia, dan punya suasana.
Di balik buku-bukunya terselip-selip berbagai dokumen tahun yang
lampau: surat-surat kehasihnya yang telah pergi hanya karena
sebab sepele yang tak masuk akal, surat-pindah kerja ketika dia
mengundurkan diri dari kantornya yang lama karena tak sependapat
dengan pimpinannya, telegram dari rumah orangtuanya minta
bantuan uang dan setumpuk kartu ulang tahun dari teman-teman
sekuliahnya dulu.
Entah apa sebabnya, tiba-tiba ada rindu terasa mengenang di
hatinya. Ada yang hilang dari dirinya, dan adakah kehilangan itu
telah membawa sekedar manfaat?
Di matanya terbayang tanah-airnya yang besar, megah tapi miskin
pada akar-akarnya. Sekonyong-konyong ada sepi memagut seluruh
perasaannya: telah banyak nian orang yang mati demi harapan
perbaikan nasib negerinya. Kini di sebuah majalah berita, dia
dengan sedih membaca surat seorang pembaca: "Terimakasih buat
mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang tetap tidak apatis. Teruskan
pengabdian kalian, tapi jangan tambah pahlawan lagi walaupun
satu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini