Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Amsal akhir tahun

Keluh kesah mungkin saja pertanda sikap cengeng. tapi ia dapat menjadi indikator bagi dinamik situasi masyarakat. pada saat aktivitas dan aktivisme tertutup, maka keluh kesah menjadi bentuk survival.

7 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENYAIR memang lebih sering menjengkelkan. Tingkah polanya yang awutan, sikap egoistis, baju dan jaketnya yang dekil, bisa bikin sebal. Tapi puisi lebih sering mengharukan. Pesannya yang langsung, ekspresi yang tulus dan "telanjang", suasana personal yang universil, mudah membuat kita terkena. Luluh. Kalau komunikasi, empat sampai ke hati, maka hal-hal lain segera terasa sebagai embel-embel. Sampingan dan tidak penting. Pada tahun 1975, entah di hari bulan mana, seorang penyair Indonesia menulis selalu tak dapat kulihat kau dengon jelas / Padahal aku tidak rabun dan ku pun tidak pula bercadar / Hanya setiap hal memang harus lebih diwajarkan dari semula". (Abdul Hadi W.M.) Pada akhir tahun 1977, keresahan penyair itu tiba-tiba terasa bagaikan bukan hanya keresahannya seorang. Ada banyak hal besar-kecil, dengan apa kita berurusan, hilang timbul seperti cahaya lampu dalam kabut. Pernyataan sikap ABRI terhadap situasi dewasa ini, dengan sinyalemen yang terkandung di dalamnya, mengesankan adanya keinginan kuat untuk membuat jelas beberapa masalah yang masih samar. Khususnya, yang berhubungan dengan stabilitas nasional, perjuangan Orde Baru, Sidang Umum MPR, demokrasi Pancasila dan kehidupan konstitusionil menurut WD 45. Semua yang baru disebut itu adalah soal besar, hakiki dan sebetulnya jelas. Dalam kata penyair kita, soal-soal itu sebetulnya "tidak pula bercadar."Berarti kita tahu benar bahwa stabilitas nasional adalah masalah seluruh rakyat, perjuangan Orde Baru belum pernah ditolak sampai kini, demokrasi Pancasila sedang dikembangkan, UUD 45 akan selalu dipertahankan dan sidang umum MPR adalah momentum yang amat penting bagi tercapainya konsensus nasional. Tetapi kenapa gerangan "tak dapat kulillat kau dengan jelas?" Seperti umum diketahui, dalam dasar filsafat negara kita -- Philosophische Grundlage - demokrasi Pancasila adalah jelas dalam sistim hukum kita UUD 45 adalah jelas dalam Trilogl Pembangunan stabilitas nasional adalah jelas. Karena itu hal jelas-tak jelas mungkin bukan harus dicari pada kedudukan de jure masalah-masalah itu, tetapi pada kedudukannya yang de facto: dalam kehidupan aktuil, dalam perjumpaan dan penghadapan kita dengan politik, dengan kenyataan ekonomi, dan dengan realitas sosial. Adakah jelas juga di situ semua cita-cita yang dibanggakan selama ini? Dalam konteks yang demikian inilah, ajakan ABRI menjadi relevan: membuat cita-cita nasional menjadi kenyataan sosial. Tidaklah mengherankan kalau ABRI tak bertepuk sebelah tangan dengan pernyataannya. Ada gayung bersambut, ada kata berjawab, dari Dewan Mahasiswa, dari DPP-PDI, dan dari organisasi mahasiswa ekstra-universiter seperti HMI. Sebabnya mungkin karena apa yang, disuarakan oleh pernyataan itu mengandung pula unsur hasrat berbagai kalangan masyarakat. Keinginan itu tidak megah, tapi mendasar, tidak fundamental. Dalam kata-kata penyair kita: "Setiap hal memang harus lebih diwajarkan dari semula. ** Entah di tahun berapa - yang pasti sebelum masa Orde Lama - penyair Indonesia yang lain juga menulis: "Aku menyeru --- tapi tidak satu suara / membalas, hanya mati di beku udara / Dalam diriku terbujur keinginan / juga tidak bernyawa. " Kalau sajak itu ditulis oleh Amir Hamzah, mungkin tidak terasa istimewa. Raja Penyair Pujangga Baru itu suka "menangis" dalam puisinya mungkin juga dalam kamarnya. Menjadi menarik justru karena keluh-kesah itu adalah suara "binatang jalang" Chairil Anwar, pemberontak yang memilih terbuang dari kumpulamlya. Jelas juga sebab-musabab keluh-kesahnya: komunikasi yang terputus: "tidak satu suara, membalas". Keluh-kesah mungkin saja jadi pertanda sikap cengeng. Tetapi ia dapat juga menjadi indikator bagi dinamik situasi masyarakat. Pada saat kemungkinan untuk aktivitas dan aktivisme menjadi tertutup, maka dialn dan keluh-kesah menjadilah bentuk survival lain dalam sifatnya yang defensip. Di mana kemungkinan bagi keleluasaan, pertumbuhan, kemerdekaan dan kreativitas terancam bungkam oleh inhibisionisme politik, di sana mekanisme satu-satunya untuk berahan adalah keluh-kesah. Apa yang masih mungkin diharapkan kalau keinginan "juga tidak bernyawa?" Maka agak mengherankan memang kalau mendengarkan ucapan "ada oknum-oknum tertentu yang ingin bertindak inkonstitusionil". Yang mengherankan adalah kenapa ucapan begituan sampai berulangkali dilempar ke tengah masyarakat, yang sudah payah memikirkan duit karcis bis dan tabungan untuk tahun sekolah baru? Kalau benar ada oknum-oknum yang bertindak menentang atau ingin mengkhianati konstitusi? kenapa tidak terang-terangan menyeret mereka ke pengadilan? Biar jelas di mata dunia, mana belangnya anak Indonesia yang durhaka tak tahu di untung? Dengan begitu jelas juga bahwa di Indonesia hukum masin jadi kriterium pengukur kebajikan dan dosa kepada ibu Pertiwi. Membombardir masyarakat banyak dengan peringatan-peringatan setengah jelas, tanpa memberi penindakan hukum terhadap para penyeleweng, sama saja seperti memperingatkan wabah sampar ke dalam kota, tanpa menyungkirkan orang ini ke dalam karantina atau rumah sakit. Kalaulah kemantapan dan keamanan nasional menjadi perhatian dan sebab kewaspadaan, maka menindak secara hukum para pengacau nasional, adalah jalan yang efisien kepada kemantapan. *** Komunikasi memang pada dasarnya proses tukar-menukar kesempatan bicara dan kesempatan-diam. Bila dua nrang serempak bicara pada suatu saat yang sama, maka komunikasi tidak terjadi. Bila keduanya serempak berdiam diri, komunikasi pun menjadi sulit. Bila hanya satu pihak yang terusmenerus bicara, maka yang terjadi adalah komunikasi satu arah. Bila kedua pihak dapat tukar-menukar saat-diam dan saling mendengarkan, komunikasi menjadi lengkap dalam dialog. Tak dapat dipastikan pihak mana di Indonesia ini yang ingin bicara terus-menerus, dan mengharuskan pihak lain untuk diam terus-menerus. Yang dapat dipastikan adalah ngerinya situasi nasional bila sajak hairil Anwar benar berlaku untuk masyarakatnya: "Aku menyeru tapi tidak satu suara / membalas, hanya mati di beku udara / Dalam diriku terbuiur keinginan / juga tidak bernyawa". *** Seorang anak muda iseng-iseng mengatur kamar sewaannya untuk menyambut Tahun Baru. Biar rapih, tersedia, dan punya suasana. Di balik buku-bukunya terselip-selip berbagai dokumen tahun yang lampau: surat-surat kehasihnya yang telah pergi hanya karena sebab sepele yang tak masuk akal, surat-pindah kerja ketika dia mengundurkan diri dari kantornya yang lama karena tak sependapat dengan pimpinannya, telegram dari rumah orangtuanya minta bantuan uang dan setumpuk kartu ulang tahun dari teman-teman sekuliahnya dulu. Entah apa sebabnya, tiba-tiba ada rindu terasa mengenang di hatinya. Ada yang hilang dari dirinya, dan adakah kehilangan itu telah membawa sekedar manfaat? Di matanya terbayang tanah-airnya yang besar, megah tapi miskin pada akar-akarnya. Sekonyong-konyong ada sepi memagut seluruh perasaannya: telah banyak nian orang yang mati demi harapan perbaikan nasib negerinya. Kini di sebuah majalah berita, dia dengan sedih membaca surat seorang pembaca: "Terimakasih buat mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang tetap tidak apatis. Teruskan pengabdian kalian, tapi jangan tambah pahlawan lagi walaupun satu."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus