BEKAS Presiden Diosdado Macapagal adalah anak desa. Ia gemar
bergambar bersama kerbaunya. Tentu saja dengan pakaian petani,
biarpun wajah dan senyumnya penuh pretensi politik. Ia lebih
suka dipanggil secara akrab sebagai Kang Dadung Cong Dadong
dari pada mister President.
Memang, ia sangat sederhana dalam sikap dan perilakunya.
Macapagal pula yang mempopulerkan kembali pakaian nasional
Pilipina. Dihapusnya unsur aristokrat dan feodal dari Barong
Tagalog. Dipeloporinya pemakaian bahan katun murahan untuk
Barong yang ia pakai sebagai baju dinas kepresidenan.
Sesungguhnya Macapagal, di samping seorang politikus juga
sarjana hukum, doktor ekonomi dan gurubesar Universitas Santo
Thomas. Karena itu sepantasnya ia bisa menjadi model presiden
yang ideal. Impiannya tentang Pilipina muluk. Perhatiannya pada
soal reformasi politik, demokrasi dan kesejahteraan rakyat
sangat menonjol. Langkahnya ke arah itu dibekali pembawaan
dirinya yang tenang dan selalu senyum. Karena itu ia berhasil
memikat hati rakyat banyak.
Macapagal ingin merobah model demokrasi Pilipina yang saat itu
njiplak Amerika, menjadi demokrasi parlementer gaya Inggeris.
Rakyatnya yang tertindas sistim ramuan antara feodalisme dan
kapitalisme, ingin ia bebaskan dengan merombak tatanan sosial.
Ide-ide welfare state yang dikembangkan di Eropa ia gandrungi.
Kepribadian nasional ia bangkitkan dengan langkah ke arah
melepaskan diri dari bayangan Amerika Serikat. Hari kemerdekaan
pun ia robah. Posisi tawar politik ia coba perkuat. Perjanjian
bilateral, pangkalan militer dan preferensi perdagangan dengan
Amerika mulai ia persoalkan. Orientasi politik luar negerinya ia
bikin seimbang juga. Perhatian terhadap negara tetangga dan
negara sosialis mulai ia jajagi.
Land Reform
Sebagai anak desa, ia tahu betul arti tanah buat seorang petani.
Karena itu reformasi sosial ingin ia mulai dengan pembaharuan
dalam tatanan pemilikan dan penguasaan tanah. Ia bertekat
mengadakan land reforn.
Penjajahan Spanyol telah meninggalkan pola pemilikan dan
penguasaan tanah yang sangat timpang. Tuan-tuan tanah menguasai
Hacienda yang tersebar di seluruh negara. Kebon itu ditanami
tanaman ekspor. Khususnya kopra tebu dan tembakau. Petani kecil
hanyalah mengabdi sebagai buruh kebun atau petani penggarap.
Jalan hidup, nyala dapur dan masa depannya - termasuk hak
politiknya - praktis ditentukan oleh si tuan tanah dan kaki
tangannya.
Sistim ini berjalan terus sampai masa penjajahan Amerika dan
jaman kemerdekaan. Tuan tanah itu di jaman kemerdekaan menjelma
menjadi elite politik.
Atau ada juga pemilik hacienda yang emoh pusing. Mereka cukup
mencengkeram politisi di pusat dan daerah dengan dana kampanye
dan berbagai bentuk sumbangan.
Euginio Lopez misalnya, yang pernah menjadi menteri pertanian,
melanjutkan peran tuan tanah di propinsi sebelah selatan
ibukota. Khususnya Ho-Ho dan Visayan, Para Gubernur, bukan
rahasia lagi, adalah big shot dalam penguasaan tanah di
propinsinya. Senator, Anggota Kongres, Menteri, banyak yang
bersekongkol dengan pemilik modal untuk mengkapling hutan di
pulau terbesar negeri itu, Mindanau.
Konon inilah salah satu sebab timbulnya benih kegetiran penduduk
Muslim di selatan. Mereka merasa kekayaan alam peninggalan
nenek-moyang nyaris habis dibikin ropyan-ropyan politisi di
Manila.
Juga tanah di sekitar Ibukota, Makati, Marikina, Quezon, Cubao,
beramai-ramai dipetak dalam daerah kekuasaan, dibangun untuk
kawasan tempat tinggal yang nyaman dan elok. Sebutan
proeyek-proyek real estate itu sangat nostalgik. San Lorenzo
Village Urdaneta Village, Rizal Village, dan berpuluh "village"
lainnya yang tak lain adalah daerah eksklusif buat orang kaya.
Macapagal tahu, ini semua merupakan bom waktu yang setiap saat
bisa meledak.
Gebrakan Manglapus
Dalam pidato lustrum di Universitas Pilipina tahun 1962, Raul
Manglapus dengan garang menggebrak keadaan itu. Senator muda
yang brilian itu menuduh adanya gejala penjajahan oleh bangsanya
sendiri. Sistim dan kultur penjajahan oleh bangsa sendiri
menindas jauh lebih sadis.
Betapa tidak. Dulu orang Spanyol atau orang Amerika bila
menghendaki tanah rakyat, mereka membelinya. Karena mereka itu
imperialis bermodal. Tetapi kini penjajah bangsa dewek cuma
bermodal dengkul. Untuk memperoleh tanah rakyat, mereka tidak
mampu membeli. Karenanya tanah diperoleh mereka dengan
kekuasaan, kekuatan dan kerja sama dengan pemilik uang yang
licik. Dibikinnya segala peraturan yang disusun, dilaksanakan
dan diawasi oleh sistim kekuasaan yang sedang berlaku. Maka tak
ayal lagi akumulasi pemilikan tanah di tangan elite tambah
menjadi-jadi.
Dengan situasi politik yang dianggapnya makin matang untuk land
reforrn itu, Macapacal membuka langkah. Diambilnya kasus Lopez
untuk mengukur kemungkinan politik pelaksanaan programnya.
Setelah mempelajari semua segi hukumnya ia keluarkan dekrit yang
membatalkan hak berlebihan atas tanah oleh Lopez itu.
Tentu saja Lopez yang sudah pasang kuda-kuda sebelumnya, sigap
segera menggeliat. Dan dilemparkanlah masalah itu ke Mahkamah
Agung Pilipina.
Suara hakim agung terpecah. Tetapi setelah ketegangan yang
mencekam, akhirnya keputusan pun keluar. Pemilikan dan
penguasaan tanah oleh Lopez sudah memenuhi segala peraturan yang
berlaku. Karena itu, dekrit Presiden Macapagal dinyatakan oid
(batal) oleh Mahkamah.
Pertimbangan mahkamah yang klise, kita dengar di mana-mana.
Macapagal terkepung oleh sistim nasionalnya yang terlanjur
menindas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini