PAKAI sepatu lars, guhernur Sum-Bar yang baru, ir Azwar Anas,
naik, ke pelana traktor Kubota. Sehabis memutar kunci kontak,
dia langsung tancap gas, dan menerobos selembar pita merah yang
menghadang di tengah sawah. Para pengunjung tepuk tangan dan
senyum-senyum. Termasuk ir Nurmawan, pimpinan proyek bernama
panjang: "Pilot Proyek Penelitian Penggunaan Traktor Mini Pada
Pengolahan Sawah." Maklumlah, proyeknya dengan demikian telah
diresmikan dan direstui sang Kepala Daerah.
Restu --atau sesungguhnya inisiatif --sebenarnya sudah datang
lebih dulu, dari instansi yang lebih tinggi. Awal 1977, Menteri
Pertanian Toyib Hadiwijaya yang juga anggota DPR-RI mewakili
Sumatera Barat menghadiahkan satu traktor mini berkekuatan 12,5
TK kepada kelompok tani Negari Sicincin, Padang Pariaman. Sejak
saat itu 'demam traktor' meledak di Ranah Minang. Penyalur
traktor Yanmar dan Kubota berhamburan dari Padang ke pedalaman
menawarkan jualannya. Sampai-sampai tiga traktor mini
dihadiahkan pula gratis--kepada Dinas Pertanian (Diperta)
Sum-Bar.
Maka lahirlah ide membuat proyek perintis traktor itu. Ada dua
lokasi permulaan, yakni satu di Sawah Badang, Kabupaten
Limapuluh Kota, dan satunya lagi di Sicincin itu. Masing-masing
lokasi luasnya 20 Ha: 10 Ha termasuk areal inti, sedang 10 Ha
lagi areal penunjang pilot proyek. Pokoknya, idenya adalah
menghapuskan pacul dan bajak bertenaga ternak dengan traktor
yang tak makan nasi atau rumput, melainkan minum bensin.
Bali Juga
Bali, tak kalah getolnya kejangkitan demam traktor. Bekerjasama
dengan PT Indonesia Lease Corporation, bulan "Nopember lalu
Pemda Bali telah membagi-bagi 300 traktor tangan kepada 300
subak (koperasi air tradisionil) di Kabupaten Tabanan, Badung,
dan Gianyar. "Awal 1978 ini akan diserahkan lagi 1.044 traktor
tangan," kata ir Gde Sukaca, Kepala Diperta Bali kepada Putu
Setia dari TEMPO. Artinya: setiap subak di Bali akan kebagian
satu traktor tangan, minimal.
Seluruhnya itu diborongkan kepada satu perusahaan dari Jakarta,
yang kini jadi buah bibir di Bali saking getolnya
mengkampanyekan mesin pertanian modern itu dengan mendompleng
para penyuluh pertanian lapangan.
Sistim sewanya memang terasa ringan. Petani--atau subak--hanya
wajib membayar sewa sebanyak Rp 271,6 ribu yang boleh diangsur
dalam 3 tahun atau 6 kali musim tanaman. Selama 3 tahun itu 90
harga traktor sudall terbayar, sehingga petani tinggal membayar
10% lagi untuk memilikinya.
Nantinya, tak terbatas kepada subak saja. Petani perorangan pun
asal berminat boleh menyewa dan kemudian memilikinya. Tanpa
jaminan kredit seperti kalau pinjam uang di bank. Bahkan sebelum
sang petani berjaya jadi supir traktor di tengah sawah,
instruktur dari perusahaan dengan senang hati mengajarnya.
Seperti juga di Sumatera Barat, bentuk mekanisasi pertanian ini
direstui oleh Gubernur Sukarmen. Pagi-pagi sang brigjen sudah
bilang, penggunaan traktor dalam menggarap sawah lebih efisien
ketimbang menggunakan tenaga manusia atau hewan. Lagi pula,
traktor "dapat merangsang tumbuhnya usaha sampingan di desa,
seperti bengkel yang sekaligus menyerap tenaga penganggur." Ir
Gde Sukaca, juga senada: "Dengan traktor, petani bisa disebut
modern dan hasil pertanian akan meningkat."
Kritik
Namun kritik terhadap demam traktor ini juga tak kurang. Drs
Adnyana Manuaba - agronom yang memimpin bagian faal FK
Universitas Udayana (Unud) -- melihat traktor ini sebagai
monster yang mengerikan. Dia teringat pada pengalaman sejumlah
negara Afrika dan Amerika Latin yang menghadapi masalah
pengangguran pekerja kasar dan wanita secara besar-besaran
akibat masuknya alat pertanian serba otomatis dan mekanis.
Terutama di perkebunan.
Invasi traktor di Bali, menurut Manuaba akan mengundang berbagai
kecemasan. Soalnya, "kondisi tenaga kerja dan tanah di Bali tak
sama dengan Amerika atau Sumatera." Petani Bali umumnya petani
kecil--dalam arti: pemilikan tanah rata-rata sedikit. Itupun tak
semua pemilik tanah, sebab kebanyakan hanya penggarap. Dan
pedesaan di Bali juga sudah dijangkiti pengangguran
besar-besaran, baik pengangguran penuh atau -terselubung. Ini
akan lebih gawat bila lapangan kerja dipersempit oleh traktor.
Fungsi Sapi
Traktor juga akan mengurangi bajak sapi. Padahal fungsi sapi di
Bali bukan hanya sebagai tenaga kerja, tapi juga tabungan yang
sewaktu-waktu dapat dijual kepada eksportir (eksportir di Bali
tak memelihara sendiri sapi secara khusus). Makanya, traktor
akan membabat jalur ekonomi timbal-balik itu samnai putus.
Sementara itu tak boleh dilupakan fungsi sapi yang berkaitan
erat dengan agama Hindu-Bali, kebanggaan orang desa, serta
pensuplai pupuk kandang secara gratis.
Mengelola traktor, kata Adnyana Manuaba, "perlu ketrampilan
khusus." Bukan cuma untuk menyetirnya, tapi juga ketrampilan
merawat dan memperbaikinya. Selain pengelolaan traktor itu perlu
uang, pandai besi di desa yang biasa membuat dan merawat bajak
belum tentu dapat "naik pangkat" jadi montir traktor.
Dan berbeda dengan sapi yang cukup diberi rumput saja, traktor
menggunakan minyak. Padahal menurut Prof. Sadli maupun Prof.
Sumitro, "sumber rninyak kita semakin langka." Apalagi setelah
traktor makin banyak - andai kata setiap petani punya traktor -
persediaan minyak semakin menipis.
Akhirnya, bagi pemilik atau pengemudi traktor sendiri, ada
risiko yang disebut Manuaba sebagai "penyakit akibat kerja."
Yakni kecelakaan, getaran, dan kebisingan. Dan tak lupa sang
agronom mengutip pidato Presiden Suharto ketika membuka kongres
Himpunan Ilmu Pengetahuan Pasifik di Pantai Sanur, Juli, bahwa
"pemilihan teknologi harus menjamin keseimbangan antara
efisiensi dan penggunaan tenaga manusia, sambil memperhatikan
nilai budaya yang hidup di tengah masyarakat seperti teknologi
tradisionil."
Tanpa Minta Pertimbangan
Dosen Udayana itu tak sendiri mengecam invasi traktor ke
pedesaan Bali. Ucap seorang tokoh mahasiswa Udayana yang juga
asisten di Fakultas Pertanian Unud: "Keputusan Pemda Bali
menggunakan traktor tangan dalam bidang pertanian, tak meminta
pertimbangan dan melibatkan unsur perguruan tinggi." Beberapa
orang rekannya yang dihubungi TEMPO, rata-rata menyatakan
"kaget" mendengar keputusan Gubernur dan Diperta Bali itu.
Kecemasan lain, datangnya dari sudut pemuka agama Hindu yang
condong mempertahankan lembaga subak. "Traktor jelas merupakan
ancaman bagi subak. Ini suatu bencana," ucapan dramatis ini
keluarnya dari seorang pemuka Hindu, yang sungkan ditulis
namanya. Tapi dia punya argumentasi begini: ciri khas subak,
adalah kegotong-royongan yang tercermin dalam tata cara
menggarap sawah. Sistim "kerja arisan" yang berakar dalam subak,
bisa pudar disapu lumpur traktor. Dan "dengan traktor, sawah
yang seharusnya dikerjakan seminggu menjadi sehari." Maka
"selama 6 hari yang sisa, si petani akan lebih asyik mengadu
ayam dan berjudi." Diingatkannya, "adu ayam dan main judi ini
masih penyakit orang Bali yang sukar diberantas."
I Gusti Ktut Kaler, seorang ahli persubakan yang juga Kepala
Bimas Hindu dan Budha pada Kanwil Depag Propinsi Bali, belum
bersedia banyak bicara soal heboh traktor itu. Tapi jauh-jauh
hari dia sudah melontarkan ide untuk membuat "museum subak"
sebagai bahan pelampis rindu-dendam jika subak sudah hancur
total. Museum itu nanti, akan lengkap seperti subak sungguhan:
ada lumbung, peralatan upacara, pembasmi hama, dan tatacara
pengaturan air. Apakah ini satu sindiran, bahwa subak sudah kena
bencana?
"Subak sebagai mutiara kebudayaan Bali sudah compang-camping
kena rongrongan dari mana-mana, jauh sebelum traktor masuk,"
sahut Ktut Kaler. Lalu, dengan masuknya traktor, bagaimana? Si
Ahli subak cuma ketawa saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini