Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Selamat datang, traktor. selamat ...

Traktor dimasukkan ke bali untuk meningkatkan hasil pertanian. ahli pertanian & tokoh masyarakat di bali mengkritik, karena pengangguran akan meningkat, sehingga petani lebih asyik mengadu ayam & main judi.(ilt)

7 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAKAI sepatu lars, guhernur Sum-Bar yang baru, ir Azwar Anas, naik, ke pelana traktor Kubota. Sehabis memutar kunci kontak, dia langsung tancap gas, dan menerobos selembar pita merah yang menghadang di tengah sawah. Para pengunjung tepuk tangan dan senyum-senyum. Termasuk ir Nurmawan, pimpinan proyek bernama panjang: "Pilot Proyek Penelitian Penggunaan Traktor Mini Pada Pengolahan Sawah." Maklumlah, proyeknya dengan demikian telah diresmikan dan direstui sang Kepala Daerah. Restu --atau sesungguhnya inisiatif --sebenarnya sudah datang lebih dulu, dari instansi yang lebih tinggi. Awal 1977, Menteri Pertanian Toyib Hadiwijaya yang juga anggota DPR-RI mewakili Sumatera Barat menghadiahkan satu traktor mini berkekuatan 12,5 TK kepada kelompok tani Negari Sicincin, Padang Pariaman. Sejak saat itu 'demam traktor' meledak di Ranah Minang. Penyalur traktor Yanmar dan Kubota berhamburan dari Padang ke pedalaman menawarkan jualannya. Sampai-sampai tiga traktor mini dihadiahkan pula gratis--kepada Dinas Pertanian (Diperta) Sum-Bar. Maka lahirlah ide membuat proyek perintis traktor itu. Ada dua lokasi permulaan, yakni satu di Sawah Badang, Kabupaten Limapuluh Kota, dan satunya lagi di Sicincin itu. Masing-masing lokasi luasnya 20 Ha: 10 Ha termasuk areal inti, sedang 10 Ha lagi areal penunjang pilot proyek. Pokoknya, idenya adalah menghapuskan pacul dan bajak bertenaga ternak dengan traktor yang tak makan nasi atau rumput, melainkan minum bensin. Bali Juga Bali, tak kalah getolnya kejangkitan demam traktor. Bekerjasama dengan PT Indonesia Lease Corporation, bulan "Nopember lalu Pemda Bali telah membagi-bagi 300 traktor tangan kepada 300 subak (koperasi air tradisionil) di Kabupaten Tabanan, Badung, dan Gianyar. "Awal 1978 ini akan diserahkan lagi 1.044 traktor tangan," kata ir Gde Sukaca, Kepala Diperta Bali kepada Putu Setia dari TEMPO. Artinya: setiap subak di Bali akan kebagian satu traktor tangan, minimal. Seluruhnya itu diborongkan kepada satu perusahaan dari Jakarta, yang kini jadi buah bibir di Bali saking getolnya mengkampanyekan mesin pertanian modern itu dengan mendompleng para penyuluh pertanian lapangan. Sistim sewanya memang terasa ringan. Petani--atau subak--hanya wajib membayar sewa sebanyak Rp 271,6 ribu yang boleh diangsur dalam 3 tahun atau 6 kali musim tanaman. Selama 3 tahun itu 90 harga traktor sudall terbayar, sehingga petani tinggal membayar 10% lagi untuk memilikinya. Nantinya, tak terbatas kepada subak saja. Petani perorangan pun asal berminat boleh menyewa dan kemudian memilikinya. Tanpa jaminan kredit seperti kalau pinjam uang di bank. Bahkan sebelum sang petani berjaya jadi supir traktor di tengah sawah, instruktur dari perusahaan dengan senang hati mengajarnya. Seperti juga di Sumatera Barat, bentuk mekanisasi pertanian ini direstui oleh Gubernur Sukarmen. Pagi-pagi sang brigjen sudah bilang, penggunaan traktor dalam menggarap sawah lebih efisien ketimbang menggunakan tenaga manusia atau hewan. Lagi pula, traktor "dapat merangsang tumbuhnya usaha sampingan di desa, seperti bengkel yang sekaligus menyerap tenaga penganggur." Ir Gde Sukaca, juga senada: "Dengan traktor, petani bisa disebut modern dan hasil pertanian akan meningkat." Kritik Namun kritik terhadap demam traktor ini juga tak kurang. Drs Adnyana Manuaba - agronom yang memimpin bagian faal FK Universitas Udayana (Unud) -- melihat traktor ini sebagai monster yang mengerikan. Dia teringat pada pengalaman sejumlah negara Afrika dan Amerika Latin yang menghadapi masalah pengangguran pekerja kasar dan wanita secara besar-besaran akibat masuknya alat pertanian serba otomatis dan mekanis. Terutama di perkebunan. Invasi traktor di Bali, menurut Manuaba akan mengundang berbagai kecemasan. Soalnya, "kondisi tenaga kerja dan tanah di Bali tak sama dengan Amerika atau Sumatera." Petani Bali umumnya petani kecil--dalam arti: pemilikan tanah rata-rata sedikit. Itupun tak semua pemilik tanah, sebab kebanyakan hanya penggarap. Dan pedesaan di Bali juga sudah dijangkiti pengangguran besar-besaran, baik pengangguran penuh atau -terselubung. Ini akan lebih gawat bila lapangan kerja dipersempit oleh traktor. Fungsi Sapi Traktor juga akan mengurangi bajak sapi. Padahal fungsi sapi di Bali bukan hanya sebagai tenaga kerja, tapi juga tabungan yang sewaktu-waktu dapat dijual kepada eksportir (eksportir di Bali tak memelihara sendiri sapi secara khusus). Makanya, traktor akan membabat jalur ekonomi timbal-balik itu samnai putus. Sementara itu tak boleh dilupakan fungsi sapi yang berkaitan erat dengan agama Hindu-Bali, kebanggaan orang desa, serta pensuplai pupuk kandang secara gratis. Mengelola traktor, kata Adnyana Manuaba, "perlu ketrampilan khusus." Bukan cuma untuk menyetirnya, tapi juga ketrampilan merawat dan memperbaikinya. Selain pengelolaan traktor itu perlu uang, pandai besi di desa yang biasa membuat dan merawat bajak belum tentu dapat "naik pangkat" jadi montir traktor. Dan berbeda dengan sapi yang cukup diberi rumput saja, traktor menggunakan minyak. Padahal menurut Prof. Sadli maupun Prof. Sumitro, "sumber rninyak kita semakin langka." Apalagi setelah traktor makin banyak - andai kata setiap petani punya traktor - persediaan minyak semakin menipis. Akhirnya, bagi pemilik atau pengemudi traktor sendiri, ada risiko yang disebut Manuaba sebagai "penyakit akibat kerja." Yakni kecelakaan, getaran, dan kebisingan. Dan tak lupa sang agronom mengutip pidato Presiden Suharto ketika membuka kongres Himpunan Ilmu Pengetahuan Pasifik di Pantai Sanur, Juli, bahwa "pemilihan teknologi harus menjamin keseimbangan antara efisiensi dan penggunaan tenaga manusia, sambil memperhatikan nilai budaya yang hidup di tengah masyarakat seperti teknologi tradisionil." Tanpa Minta Pertimbangan Dosen Udayana itu tak sendiri mengecam invasi traktor ke pedesaan Bali. Ucap seorang tokoh mahasiswa Udayana yang juga asisten di Fakultas Pertanian Unud: "Keputusan Pemda Bali menggunakan traktor tangan dalam bidang pertanian, tak meminta pertimbangan dan melibatkan unsur perguruan tinggi." Beberapa orang rekannya yang dihubungi TEMPO, rata-rata menyatakan "kaget" mendengar keputusan Gubernur dan Diperta Bali itu. Kecemasan lain, datangnya dari sudut pemuka agama Hindu yang condong mempertahankan lembaga subak. "Traktor jelas merupakan ancaman bagi subak. Ini suatu bencana," ucapan dramatis ini keluarnya dari seorang pemuka Hindu, yang sungkan ditulis namanya. Tapi dia punya argumentasi begini: ciri khas subak, adalah kegotong-royongan yang tercermin dalam tata cara menggarap sawah. Sistim "kerja arisan" yang berakar dalam subak, bisa pudar disapu lumpur traktor. Dan "dengan traktor, sawah yang seharusnya dikerjakan seminggu menjadi sehari." Maka "selama 6 hari yang sisa, si petani akan lebih asyik mengadu ayam dan berjudi." Diingatkannya, "adu ayam dan main judi ini masih penyakit orang Bali yang sukar diberantas." I Gusti Ktut Kaler, seorang ahli persubakan yang juga Kepala Bimas Hindu dan Budha pada Kanwil Depag Propinsi Bali, belum bersedia banyak bicara soal heboh traktor itu. Tapi jauh-jauh hari dia sudah melontarkan ide untuk membuat "museum subak" sebagai bahan pelampis rindu-dendam jika subak sudah hancur total. Museum itu nanti, akan lengkap seperti subak sungguhan: ada lumbung, peralatan upacara, pembasmi hama, dan tatacara pengaturan air. Apakah ini satu sindiran, bahwa subak sudah kena bencana? "Subak sebagai mutiara kebudayaan Bali sudah compang-camping kena rongrongan dari mana-mana, jauh sebelum traktor masuk," sahut Ktut Kaler. Lalu, dengan masuknya traktor, bagaimana? Si Ahli subak cuma ketawa saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus