SALIM baru berusia 10 tahun, siswa kelas IV SD. Seperti teman- teman sebayanya, sebelum berangkat atau sepulang dari sekolah ia membantu orang tuanya, bertani. Musim kemarau ini, misalnya, ia ikut merawat tanaman tembakau di sawahnya yang terletak di pinggir Kali Widas, Nganjuk, Jawa Timur. Setiap awal pembenihan, tanaman tembakau membutuhkan banyak perawatan. Harus disiram tiap pagi. Waktu siram pun harus pagi benar, setelah subuh, sebelum matahari terbit. Karena begitu singkatnya waktu siram itu, semua anggota keluarga Salim (ini bukan nama sebenarnya, memang) dikerahkan. Bapaknya, emboknya, kakaknya, dan Salim sendiri. Bagi Salim, bekerja di sawah sama sekali bukan siksaan. Kegiatan bekerja di sawah itu adalah bagian dari sosialisasinya menuju pendewasaan sebagai calon petani tangguh. Sambil membantu orang tuanya, ia belajar bercocok tanam di ''petak contoh'' sungguhan belajar mengenal ritme tanaman belajar memahami hidup dan makna bermandi keringat. Salim mendapat exposure pendidikan paripurna. Di rumah, oleh teladan dan gemblengan orang tuanya. Di masyarakat, ia menyaksikan bagaimana interaksi antara para petani, pedagang, dan tengkulak tembakau. Dan di sekolah belajar menulis, berhitung, serta pengetahuan lain. Lain lagi dengan Entong (juga nama yang disamarkan), 13 tahun. Setamat SD, ia menjadi pejuang kehidupan yang ulet, salah seorang dari ribuan penjual koran yang ada di Jakarta. Apa dia dipaksa bekerja? Tentu saja tidak. Sebagai produk sosialisasi kota besar, Entong cepat dewasa. Melihat kesulitan ekonomi orang tuanya yang buruh kecil, ia tak berpangku tangan. Ia menanti jatah koran dan majalah, dari bursa Lapangan Banteng tiap subuh. Lalu menjajakannya di perempatan jalan kawasan ''wilayah'' bandarnya di Harmoni, Jakarta. Drop-out? Tentu saja. Tapi bukankah ekonomi Indonesia membutuhkan penjaja koran dan pekerja informal? Kenapa Entong dan kawan-kawan mesti membuang waktu, belajar sampai SMP atau SMA, kalau penjual koran, tukang semir sepatu, pedagang sayur, dan kuli kasar masih diperlukan? Salim, Entong, dan 2,4 juta anak-anak Indonesia berusia di bawah 14 tahun lainnya terjun ke pasar tenaga kerja pada usia dini bukan dipaksa. Tapi, semata-mata karena pola sosialisasi anak-anak di pedesaan, keharusan kehidupan keluarga kota, dan tuntutan tahap perkembangan ekonomi. Yang mereka harapkan cuma satu. Jangan mengganggu kebebasan dan proses sosialisasi mereka, dan jangan pula menyumbat sumber nafkahnya, dengan dalih apa pun. Lain lagi dengan A Tjong (nama bohongan), 45 tahun, pemilik pabrik obat nyamuk tradisional. Dulu usahanya lancar. Lokasinya pun di Jakarta Kota. Omsetnya terus meningkat. Pasarnya jelas, biar utamanya cuma Jakarta dan sekitarnya. Dulu penduduk Jakarta masih banyak yang miskin. Banyak rumah petak, teknologi tempat tidur berkelambu ditinggalkan. Dan tempat tidur yang terbuka itu harus selalu diselamatkan dari gangguan nyamuk. Maka, sisa tahi gergaji ditambah ramuan obat yang ditakuti nyamuk pun dikemas dalam gulungan-gulungan cetak, dijual dengan harga terjangkau. Tapi kini orang Jakarta sudah banyak yang kaya. Produk obat nyamuk pun mendapat saingan produk impor dari pabrik multinasional. Obat semprot, obat bakar listrik, bahkan obat nyamuk gulungnya pun ditiru dan disaingi oleh industri besar itu. Lalu ada lampu pijar yang memancarkan sinar menakuti nyamuk. Maka, A Tjong pun harus memutar otak untuk bisa bersaing. Belum bisa inovatif, ia bertahan pada pangsa pasar lama yaitu lapis masyarakat sangat miskin. Ekspansi pasar paling hanya bisa dilakukan ke lapis masyarakat miskin yang jauh dari Jakarta. Dan A Tjong juga menekan harga sampai perusahaan besar itu tidak mungkin lagi mengejar. Caranya? Menekan biaya operasi, menekan tingkat keuntungan, dan menekan upah buruh. Siapa yang bersedia diupah jauh lebih rendah dari upah minimum? Buruh anak-anak! Di mana ada anak- anak yang begitu rupa miskinnya sehingga tidak menolak untuk bekerja dengan upah yang sangat minim? Di pinggiran dan di sekitar Jakarta! Dan mencetak gulungan obat nyamuk itu bisa dikerjakan oleh anak. Dan anak-anak pinggiran kota tak punya pilihan lain. Mau jual koran atau semir sepatu, jauh dari keramaian dan lalu lintas kendaraan. Mau bergabung ke tengah kota, ongkos jalannya tak terjangkau. Daripada menganggur, peluang seperti yang ditawarkan A Tjong dan perusahaan kecil lain sejenis itu dimanfaatkan oleh lebih dari 50.000 orang anak usia di bawah 14 tahun di kawasan Karawang, Bekasi, dan Tangerang. Apakah A Tjong berdosa? Konon, pertanyaan itu tidak relevan secara ekonomi. Karena mekanisme pasar bekerja bebas nilai. Kalau kondisi kerja tak memadai, itu karena pasar memaksa A Tjong menekan ongkos operasi. A Tjong harus bersaing dengan multinasional yang juga menjual produk unggulan substitusi obat nyamuknya. Apakah pemerintah tak melindungi buruh anak-anak sesuai dengan ketentuan dan konvensi internasional? Saya yakin, kebijaksanaan dasarnya demikian. Tapi telah saya coba gambarkan sekelumit kompleksitas masalah pekerja anak di Indonesia. Kalau pemerintah membuat aturan, niscaya kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya tidak boleh diskriminatif antarsektor dan antarjenis usaha. Harus pula dicegah kesan, pemerintah memihak pengusaha besar dan mematikan daya saing perusahaan kecil, dan lebih-lebih mematikan sumber nafkah warga negaranya justru dari lapis yang paling miskin. Tapi kini rasanya yang bijaksana itu belum tentu yang terbaik. Salah satu prioritas kebijaksanaan ekonomi kita adalah mendorong ekspor. Stabilitas dan pertumbuhan perdagangan internasional kita itu ibarat denyut nadi yang menentukan kelangsungan kehidupan ekonomi nasional. Karena itu, dengan dalih perkara hak buruh dan pekerja anak-anak ini, negara maju memberi ancaman akan menghambat kelancaran ekspor kita. Apa kiat kita? Memang, tidak beralasan lagi menunda mengatasi masalah pekerja anak-anak ini secara bertahap. Dan jangan lupa, kirimkan delegasi!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini