Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJELANG pemeriksaan sembilan hakim Mahkamah Konstitusi, perdebatan terjadi di Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie meminta pemeriksaan para hakim, termasuk Ketua MK Anwar Usman, diadakan terbuka. Sedangkan anggota Majelis Kehormatan, Bintan Saragih, meminta pemeriksaan digelar tertutup.
Kepada Tempo di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Rabu, 8 November lalu, Jimly bercerita bahwa pemeriksaan terbuka diperlukan karena dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan para hakim konstitusi menyita perhatian publik. Namun kepada Jimly dan anggota lain, Wahiduddin Adams, Bintan mengingatkan bahwa pemeriksaan itu tak bisa berjalan terbuka.
Bintan Regen Saragih mengacu pada Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2003 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi. Pasal 3 ayat 4 aturan itu menyebutkan pemeriksaan hakim digelar tertutup. Aturan itu ditandatangani oleh Jimly saat dia menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi. “Pak Bintan bilang, kita tidak boleh melanggar aturan MK,” ujarnya.
Jimly mengenal Bintan Saragih empat dekade lalu. Keduanya sama-sama menjadi guru besar hukum tata negara. Menurut Jimly, Bintan sangat saklek pada aturan. Meskipun Jimly menyebutkan bahwa sidang etik bisa digelar terbuka jika ada desakan publik, Bintan berkukuh pada pendapatnya.
Akhirnya sidang digelar terbuka khusus untuk pemeriksaan pelapor. Kepada Bintan, Jimly menyebutkan pemeriksaan itu tak melanggar peraturan Mahkamah Konstitusi. “Hanya sedikit tidak sesuai dan tak ada yang dirugikan,” ucap anggota Dewan Perwakilan Daerah ini.
Bintan menuai pujian karena mengajukan perbedaan pendapat (dissenting opinion). MKMK memutuskan Anwar Usman—paman Gibran Rakabuming Raka, calon wakil presiden Prabowo Subianto—dicopot sebagai Ketua MK. Sedangkan Bintan menyatakan Anwar seharusnya diberhentikan secara tidak hormat sebagai hakim konstitusi, bukan hanya dipecat dari ketua majelis hakim.
“Sanksi terhadap pelanggaran berat hanya pemberhentian tidak dengan hormat dan tidak ada sanksi lain,” ujarnya dalam sidang pembacaan putusan MKMK pada Selasa, 7 November lalu.
Jimly dan Bintan sama-sama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Tatkala Jimly menempuh studi hukum pada 1982, Bintan, seniornya, menjadi pengajar di kampus kuning. Bintan menjadi asisten dosen Ismail Suny, mendiang guru besar hukum tata negara yang juga salah satu pendiri Universitas Cenderawasih, Papua.
Baca Juga:
Sejawat Bintan adalah Harmaily Ibrahim dan Moh. Kusnardi—keduanya penulis buku Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Bersama Kusnardi, Bintan menulis buku Ilmu Negara yang terbit pada 1995.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengenal Bintan pada awal Reformasi 1998. Usman bercerita, Bintan acap hadir dalam berbagai pertemuan ahli hukum. Termasuk menjelang pembentukan Komisi Hukum Nasional. Lembaga nonstruktural yang bertugas memberi masukan kepada presiden itu dibentuk pada tahun 2000. Presiden Joko Widodo membubarkan lembaga itu pada 2014.
“Ketika itu para ahli hukum dari Universitas Padjadjaran, Universitas Airlangga, Universitas Diponegoro, Universitas Indonesia, sampai yang swasta berkumpul,” ucap Usman. Menurut Usman, Bintan berkontribusi memberikan pandangan-pandangannya agar negara menyelaraskan produk undang-undang serta menata kembali sistem hukum dan peradilan.
Rekam jejak Bintan tak melulu menuai pujian. Mantan Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki, mengingat Bintan saat menjadi anggota Dewan Etik Mahkamah Konstitusi periode 2017-2020. Salah satu kasus yang ditanganinya adalah pelanggaran kode etik hakim konstitusi Arief Hidayat.
Pada November 2017, Arief bertemu dengan pimpinan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat di tengah pencalonannya kembali sebagai hakim konstitusi. Saat itu sikap Bintan Saragih berbeda dengan penilaiannya terhadap Anwar Usman. “Bintan ikut memberi sanksi peringatan atau sanksi ringan kepada Arief,” tutur Suparman, Jumat, 10 November lalu. Kala itu publik mencela putusan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Egi Adyatama, Hussein Abri Dongoran, dan Raymundus Rikang berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawahjudul "Dua Sanksi dari Bintan"