Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Disinformasi pada masa pemilu adalah propaganda politik yang melibatkan jaringan terstruktur.
Upaya memitigasi disinformasi terhambat dengan pembatasan akses data media sosial.
Platform media sosial perlu melonggarkan akses datanya untuk ikut memerangi disinformasi.
Ika Idris
Associate Professor Public Policy & Management Monash University Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita sudah pernah dipusingkan oleh disinformasi pada Pemilihan Umum 2014, 2019, dan masa pandemi Covid-19. Menjelang Pemilu 2024, berbagai elemen masyarakat sedang bersiap mengantisipasi dan memitigasi disinformasi. Hari-hari sekarang ini sangat penting bagi peneliti, jurnalis, dan pemeriksa fakta untuk bergandengan tangan menangkal disinformasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kolaborasi menjadi penting bukanlah tanpa alasan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa disinformasi pada masa pemilu merupakan bagian dari propaganda politik yang melibatkan jaringan terstruktur dan permodalan yang besar. Hasil riset peneliti dari Monash University Malaysia pada Pemilu 2019 menunjukkan adanya “pabrik” yang memproduksi dan menyebarkan propaganda politik di WhatsApp dengan sangat agresif (Baulch et al, 2022). Pabrik ini didukung oleh perusahaan media yang juga terafiliasi dengan partai politik.
Masih menurut hasil riset yang sama, “pabrik” meme tersebut mempekerjakan setidaknya 40 pembuat meme, yang setiap orangnya ditargetkan membuat 50 meme dalam sehari dan ada target harian jumlah engagement tertentu. Strategi itu sejalan dengan riset saya mengenai pasukan media sosial yang digunakan dalam menyebarkan dan melakukan amplifikasi berita-berita palsu pada Pemilu 2019.
Kebijakan mengatasi disinformasi membutuhkan niat baik dan aksi nyata semua pihak, dari platform media sosial, pemerintah, industri media, partai politik, akademikus, hingga masyarakat. Selama ini kebijakan pemerintah kita masih berfokus pada “penghukuman” individu penyebar hoaks atau literasi media yang sebenarnya juga ditumpangi pesan agar masyarakat tidak mengkritik pemerintah (Idris, 2022). Partai politik dan politikus justru tidak peduli dengan penanganan disinformasi karena berfokus pada pembangunan agenda di media sosial.
Dalam menghadapi potensi disinformasi pemilu, platform media sosial mencoba menunjukkan niat baiknya dengan menggelontorkan miliaran rupiah atas nama pemberdayaan masyarakat. Google, misalnya, berkomitmen menyuntikkan dana sebesar Rp 18,7 miliar ke CekFakta. Namun algoritma AdSense Google, program periklanan Google, sendiri sebenarnya bermasalah karena tidak memberikan ganjaran kepada media yang menulis berita tanpa memverifikasinya. Walhasil, media abal-abal yang hanya mempekerjakan penulis konten (bukan jurnalis) tumbuh subur dan meraup untung besar dari AdSense.
Di sisi lain, tidak ada imbalan lebih pada organisasi media yang beritanya sudah melalui proses verifikasi. Padahal proses verifikasi membutuhkan waktu, biaya, dan keahlian. Sudah sewajarnya jika media yang taat verifikasi mendapat imbalan lebih.
Platform media sosial yang besar, seperti Meta, Twitter, dan TikTok, malah tidak terlihat membuat langkah progresif dalam mengantisipasi disinformasi pada Pemilu 2024. Padahal pemilu Indonesia ini penting karena setidaknya tiga hal. Pertama, ini adalah penyelenggaraan pemilu terbesar di Asia Tenggara. Pemilu ini akan memperebutkan tidak hanya kursi presiden dan wakil presiden, tapi juga 20.462 kursi di DPR, DPRD, serta DPD dan 271 posisi kepala daerah. Para kandidat yang berlaga akan datang dari 17 partai politik dan tiga partai lokal. Jumlah kandidat politik dari tingkat nasional dan lokal sangat besar, yang tentu akan melibatkan perang citra, misinformasi, serta propaganda politik untuk menang.
Kedua, Indonesia adalah salah satu negara dengan pengguna media sosial terbesar di dunia. Pemilu ini berlangsung lebih dulu sebelum pemilihan umum Amerika Serikat. Pemilu mendatang rawan digunakan sebagai laboratorium untuk menguji strategi disinformasi pada masa pemilu, yang ada kemungkinan akan dilakukan juga di Amerika. Ketiga, Indonesia akan menjadi contoh bagi negara-negara lain mengenai bagaimana masyarakat sipil berperang melawan disinformasi di tengah ketidakberdayaan pemerintah mengatur platform media sosial.
Hari-hari ini merupakan masa yang penting dalam melakukan riset pola-pola disinformasi, polarisasi politik, narasi kebencian, ataupun memetakan jaringan penyebar disinformasi. Namun data percakapan dan unggahan media sosial sebagai sumber utama peneliti mempelajari disinformasi sungguh sulit diakses.
Sejak Februari lalu, Twitter menghentikan akses publik untuk mengumpulkan cuitan-cuitan. Platform yang kini lebih dikenal dengan nama X ini mengharuskan siapa saja, tak terkecuali peneliti di universitas, membayar paling kecil US$ 100 atau sekitar Rp 1,5 juta per bulan untuk maksimal 3.000 cuitan. Itu pun terbatas pada cuitan yang baru saja diunggah. Untuk mendapatkan data yang layak sebagai sampel riset, misalnya membuat pemodelan topik atau jaringan penyebaran disinformasi pada kurun waktu tertentu, peneliti harus membayar setidaknya US$ 5.000 atau hampir Rp 77 juta per bulan atau Rp 924 juta per tahun. Di tengah minimnya dana riset, mengakses data Twitter terbilang hampir mustahil karena butuh pendanaan riset yang sangat besar.
Hingga kini, belum terlihat ada keinginan dari pemilik Twitter, Elon Musk, mengubah kebijakan tersebut. Padahal Twitter merupakan platform tempat membangun agenda politik dan memanipulasi perhatian masyarakat terhadap sebuah isu. Disinformasi yang akan terjadi di Twitter pada pemilu kali ini hampir dipastikan tidak akan terjangkau untuk dideteksi sejak awal. Dengan kata lain, platform ini akan menjadi lahan subur disinformasi serta minim pantauan dari peneliti, jurnalis, pemeriksa fakta, aparat hukum, dan bahkan penyelenggara pemilu.
Platform lainnya, yakni Meta, sejak awal memberikan harapan untuk membuka data kepada peneliti, jurnalis, dan pemeriksa fakta via CrowdTangle, dashboard yang menyediakan data percakapan Facebook dan Instagram. Di Indonesia, meski bukan menjadi platform utama dalam mengalihkan perhatian publik, media sosial milik Meta memiliki pengguna terbesar. Pada masa pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina, disinformasi mengenai keduanya marak di grup-grup Facebook. Bahkan narasi yang berpotensi memecah simpul-simpul sosial masyarakat, misalnya Islam versus Pancasila, merupakan narasi yang awet berseliweran di Facebook. Narasi ini dijaga dan diinternalkan di grup-grup Facebook serta digunakan baik pada kisah keseharian maupun pengisahan tentang kebijakan publik.
Pada awalnya, CrowdTangle adalah surga bagi para peneliti karena memungkinkan untuk mengambil data jauh ke belakang. Sayangnya, sejak awal tahun ini, Meta menghentikan pemberian akses CrowdTangle kepada para pengguna baru. Pada saat yang sama, Meta membubarkan tim CrowdTangle, termasuk para insinyurnya. Pendiri dan CEO CrowdTangle, Brandon Silverman, bahkan sudah hengkang sejak Oktober 2021 dan kini menjadi advokat untuk memperjuangkan transparansi platform media sosial, termasuk transparansi Meta.
Belakangan, sekitar sebulan terakhir, sering terjadi penundaan yang sangat lama dalam mengunduh data percakapan CrowdTangle. Jika dulu kita cukup menunggu beberapa menit untuk mengunduh data yang dikirim ke surel, kini data bisa tidak terkirim hingga berhari-hari. Sebenarnya pemilik akses masih bisa memantau percakapan dari dashboard yang tersedia. Namun tanpa mengunduh data akan sulit menganalisis lebih mendalam, misalnya tentang narasi disinformasi, jaringan penyebar disinformasi, upaya memanipulasi engagement, atau jenis-jenis disinformasi.
Sumber utama untuk mempelajari disinformasi ada di platform media sosial itu sendiri adalah pada data yang mereka miliki. Kesungguhan niat platform dalam mengatasi disinformasi dan menjaga demokrasi di Indonesia, tidak cukup hanya dengan menggelontorkan dana untuk mendanai perbaikan di luar sistem platform. Selain itu, perlu diingat bahwa disinformasi dapat ditemui di segala jenis unggahan, seperti cuitan, pos, story, short, reel, video, dan sound. Membuka akses ke data berarti membuka akses ke semua jenis konten dan tanpa membatasi durasi pengumpulannya. Tanpa data, disinformasi akan sulit dipelajari, diantisipasi, dan dimitigasi.
Dengan kondisi seperti itu, jurnalis, pemeriksa fakta, pemerintah, aparat hukum, dan akademikus hanya akan menjadi pemadam kebakaran. Jika sebaran titik api sangat luas dan intensitas apinya sangat besar, pada akhirnya pemadam kebakaran akan tumbang juga.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo