Richard Williams kini bisa tertawa lebar sekaligus menertawai para pengoloknya. Pada awal turnamen tenis Amerika Terbuka tahun ini dia dianggap terlalu jumawa dengan sesumbar bahwa dua putrinya—Venus (19 tahun) dan Serena (18 tahun)—bakal bertemu di final. Harapan itu memang kandas setelah Venus ditundukkan Martina Hingis di semifinal. Namun, Serena, sang adik, berhasil membayar kontan dengan menundukkan Hingis di final. Kebahagiaan keluarga Williams makin lengkap setelah Venus dan Serena juga berhasil memboyong gelar ganda putri.
Sukses dua bersaudara yang gemar memakai manik-manik penghias rambut ini tak bisa lain adalah keberhasilan sang ayah yang sekaligus pelatih mereka. Williams membalikkan anggapan umum. Selain dikritik besar mulut, dia dinilai salah menerapkan metode pembinaan. Williams memang tak getol mengikutsertakan Venus dan Serena dalam turnamen junior, jalan yang lazim dijalani petenis pemula untuk mematangkan diri. Martina Hingis dan Monica Seles adalah contoh bagus untuk ini. Namun, Williams punya dalih, terlalu banyak ikut dalam kejuaraan junior secara strategi justru tidak menguntungkan. Setinggi apa pun prestasi, nama sang atlet muda tetap saja nyaris tak terdengar. Lebih penting lagi, sang anak akan terbebani karena kegembiraan bermain menghilang dan cedera pun mudah mampir.
Ia mencontohkan kasus Jenifer Capriati dan Andrea Jaeger, dua petenis putri yang sempat berjaya dalam usia muda beberapa tahun lalu. Jaeger terpaksa mundur dalam usia dini karena cedera bahu yang parah, sementara Capriati, peraih emas Olimpiade Atlanta 1996, malah terkena kasus pemakaian mariyuana. Maka, alih-alih menggenjot dua anaknya habis-habisan di tenis, Williams justru mendahulukan pendidikan dan kegiatan lain yang digemari dua putrinya di luar tenis, seperti kursus bermain gitar. Sebuah pilihan yang bijak.
Sebetulnya, kritik yang dialamatkan ke Williams pada awalnya adalah kecaman umum pada sosok orang tua mana saja yang terobsesi membentuk anaknya menjadi atlet hebat dan tambang dolar sekaligus. Williams memang tak pernah menutupi ambisinya. Ia sendiri mengaku mulai tergerak mengarahkan anaknya ke tenis ketika pada 1979 ia melihat besarnya penghasilan yang bisa diraih juara tenis. Mengingat tiga putrinya yang pertama sudah lewat umur untuk belajar tenis, ia lalu mengincar Venus dan Serena, yang saat itu masih bocah.
Namun, Venus dan Serena baru serius berlatih pada 1991, ketika keluarga ini pindah dari California ke Florida. Di tempat baru, mereka diasuh Rick Macchi, pelatih yang mengorbitkan Capriati. Namun, ketika pada 1995 Macchi dianggap tak cocok lagi, Williams dan istrinya, Oracene, memutuskan menjadi pelatih sendiri bagi kedua anaknya. Bisnis biro keamanan yang mereka miliki pun dilego untuk lebih total di tenis.
Terbukti kini Williams tak salah. Venus dan Serena, yang terkenal dengan pukulan geledek, menuai sukses sejak mulai turun di gelanggang profesional (Venus pada 1994, Serena pada 1995). Mereka memanen hadiah senilai lebih dari US$ 4 juta. Yang membuat nama Venus dan Serena yang kini berperingkat tiga dan empat dunia ini lebih bergaung adalah kepintaran sang ayah mengemas "jualannya". Williams menyebut anak-anaknya "Cinderella dari Ghetto". Sebuah akal-akalan tentu saja, karena sejak awal mereka bukan berasal dari keluarga yang hidup di bagian kota kumuh seperti umumnya orang kulit hitam Amerika. Siasat lain: meminta mereka mengenakan busana ketat berwarna menyala sehingga perhatian publik langsung tersedot. Namun, di sisi lain, karena kehadiran merekalah tenis putri dunia jadi lebih funky.
Kini, penggemar mereka pun tak terbatas peminat tenis, karena mereka adalah pujaan sekaligus kebanggaan kulit hitam di seluruh dunia. Pebasket Kobe Bryant dari klub Los Angeles Lakers dan penyanyi kondang Seal (keduanya berkulit hitam) mengaku baru melirik tenis setelah hadirnya Williams bersaudara. Maklumlah, kulit hitam lebih identik dengan basket, tinju, dan atletik. Memang dulu ada mendiang Arthur Ashe di bagian putra, tapi ia praktis sendiri. Di bagian putri pun Evonne Goolagong Cawley, petenis putri Australia keturunan suku Aborigin Wiradjuri, bernasib sama. Setelah Goolagong menjuarai tunggal putri Wimbledon untuk kedua kalinya pada 1980, praktis tak ada lagi petenis putri kulit berwarna yang berjaya di ajang Grand Slam. Kini, Serena dan Venus bisa memuaskan dahaga itu.
Yusi A. Pareanom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini