DI kalangan elite politik, kini ketegangan baru muncul, menyangkut perolehan suara. Saya melihat ada semacam element of surprised yang terjadi, di mana Golkar mengalami penurunan yang cukup substansif secara nasional, terutama di Jawa. Dari hasil perhitungan sementara sampai hari ketiga ada gejala Golkar mengalami penurunan antara tiga sampai dengan enam prosen dibandingkan Pemilu 1987, sementara PDI memperoleh tambahan lebih dari 4% dan PPP hampir 2%. Yang lebih menarik adalah yang terjadi di semua daerah pemilihan di Jawa, kecuali DKI. Di Jawa Barat, Golkar kehilangan hampir 1%, di Jawa Tengah turun sekitar 12,78%, Daerah Istimewa Yogyakarta hilang 11,58%, dan Jawa Timur kehilangan sekitar 12,44%. Hanya di DKI Jakarta Golkar mengalami kemajuan. Sementara itu PPP mengalami kenaikan yang cukup berarti di semua daerah pemilihan di Jawa. Di DKI PPP memperoleh tambahan 1,2%, di Jawa Barat meningkat dari 13,81% pada 1987 menjadi 15,02%. Di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami peningkatan hampir 5%, sedangkan di Jawa Timur memperoleh tambahan suara sekitar 4,46%. PDI mencapai kemajuan yang sangat berarti di Jawa Tengah dengan tambahan 8,04%, demikian juga di Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu 7,98% dan 5,67%. Namun, PDI tidak berhasil di Jawa Barat dan DKI Jaya, karena perolehan suaranya menurun 0,26% di JaBar, dan 5,23% di DKI. Peningkatan suara bagi PDI tidak hanya di Jawa, tetapi juga di Bali, Timor Timur, dan yang menarik adalah di Aceh. Mengapa hal itu terjadi? Apa yang terjadi dengan Golkar? Apakah ini merupakan referendum terhadap kebijaksanaan Orde Baru sehingga angin perubahan tak dapat dibendung lagi? Apalagi penurunan perolehan suara itu belum pernah dialami pada masa sebelumnya, kecuali pada tahun 1977 yang hanya mencapai kurang dari 1%. Ini yang saya maksudkan dengan element of surprised. Dari pengamatan yang selama ini terjadi, tampaknya ada sejumlah faktor yang memberikan kontribusi terhadap menurunnya suara dari Golkar, sementara PPP dan PDI mencapai kemajuan yang sangat berarti. Faktor yang pertama adalah peranan Lembaga Pemilihan Umum dan Panitia Pemilihan Indonesia yang keduaduanya dipimpin oleh Mendagri Rudini. LPU memberikan kelonggaran yang cukup lumayan terhadap ketiga partai politik. Implementasi peraturan yang menyangkut penyelenggaraan kampanye tidak dilaksanakan dengan ketat sehingga memberi peluang bagi PPP dan PDI untuk melakukan pengerahan massa secara besarbesaran, terutama di Jawa. Tambahan pula, Mendagri melarang semua pejabat Pemda, mulai dari Gubernur sampai dengan Lurah/Kepala Desa untuk ikut terlibat di dalam kegiatan kampanye. Hal ini jelas tidak menguntungkan Golkar. Kemudian terjadi apa yang disebut dengan realigment, yaitu proses penyatuan kembali para pemilih tradisional yang pernah mendukung partai lain untuk sementara waktu. Hal ini terlihat dengan jelas untuk para pendukung PPP dan PDI. Inilah yang merupakan penyebab kedua menurunnya perolehan suara Golkar, terutama di Jawa. Sudah sejak lama saya meramalkan bahwa para pemilih yang berasal dari kalangan "santri" yang pernah menyeberang ke Golkar pada suatu waktu akan kembali memilih PPP. Mereka memang lebih merasa "at home" dengan PPP karena PPP merupakan warisan orang Islam, apalagi Nahdlatul Ulama tidak lagi melakukan penggembosan. Demikian juga dengan para pemilih PDI yang berasal dari kalangan "abangan" yang secara historis mempunyai jalinan emosional dengan sejumlah partai pada masa sebelum fusi, terutama PNI, IPKI, Parkindo, dan Partai Katolik. Gejala realigment ini terlihat dengan jelas di Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, dan Bali. Dimensi lain yang perlu dipertimbangkan adalah dimensi "perubahan sosial". Pembangunan yang dijalankan selama 25 tahun ini membawa dampak yang positif terhadap kemampuan politik masyarakat, dan ini menjadi bumerang bagi Golkar sendiri. Tidak dapat disangkal lagi bahwa selama 25 tahun ini terjadi perubahan yang substansif atau tingkat kesejahteraan rakyat dilihat dari peningkatan pendapatan, kemampuan baca tulis, ekspose terhadap mass media, urbanisasi, dan lain sebagainya. Akibatnya, adalah kemampuan politik masyarakat dengan sendirinya meningkat pula. Semakin banyak warga negara yang independen dari negara, sehingga kemudian terbentuk kelas menengah yang merupakan bumper dari kekuasaan negara, sekali pun proporsinya belum terlampau besar. Mereka yang terakhir ini umumnya berada di daerah perkotaan, berada di lingkungan kampus, kemudian mewujudkan dirinya dengan perilaku pemilihan yang berbentuk protes (protest voting). Mereka memilih PPP dan PDI bukan karena senang dengan program yang diajukan oleh kedua partai tersebut, tapi sebagai wujud atas protes mereka terhadap kemapanan Golkar dan birokrasi yang sudah sedemikian kuat. Mereka pada umumnya sudah mengharapkan adanya perubahan yang substansif dalam bidang politik, mengimpikan terjadinya proses demokratisasi. Sementara itu memasuki Pemilu '92 Golongan Karya dibebani dengan target yang sangat berat (75%), sementara dihimpit oleh isu yang rumit menyangkut cengkeh/BPPC, iuran TVRI/Mekatama Raya, listrik, masalah korupsi, monopoli ekonomi oleh sejumlah konglomerat, dan lainlain. Golkar menjadi sedemikian defensif dan apologetik ketika mengadakan kampanye. Hal ini dimanfaatkan dengan sebaikbaiknya oleh PPP dan PDI, yang diangkat dengan lugas oleh Sri Bintang Pamungkas dan Guruh di JaTeng, DIY, dan JaTim. PDI berani "tampil beda", misalnya, meneriakkan perubahan, seperti mencalonkan Rudini, dan membatasi masa jabatan presiden. Apakah ini merupakan gejala ke arah perubahan yang fundamental untuk masamasa mendatang, dan munculnya people's power? Untuk sementara saya masih belum yakin, karena masih ada dua daerah pemilihan di Jawa di mana Golkar masih menang dengan sangat meyakinkan, yaitu di Jawa Barat dan DKI, bahkan di Jakarta PDI mengalami penurunan sekitar 5,23%. Saya melihat bahwa peningkatan suara yang dicapai oleh kedua partai politik nonpemerintah masih merupakan gejala "protest voting" dan "antivoting" terhadap Golkar. Memang angin perubahan sudah mulai ada, tapi belum mampu menggoyahkan tatanan mapan yang sudah dibentuk Golkar dan birokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini