Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Anjuran Bung Karno Kepada Ali ...

Koran Suluh Indonesia dibreidel, Ali Sastroamidjojo minta agar Bung Karno turun tangan. Bung Karno menolak dan menganjurkan, bila pendapatnya mau didengarkan, ali s., naik genting saja, berteriak-teriak.

28 Juni 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERAS belakang Istana Merdeka, di penghujung tahun 1965. Hari masih pagi benar, embun belum terusir dari pucuk rerumputan, burung-burung prenjak blingsatan dal bersiul-siul seenak hati seakan di onderneming saja. Ada satudua tekukur -- sungguh burung yang sopan -- manggung dengan teratur seakan sudah minta permisi sehari sebelumnya. Pohon sengon di tengah lapangan yang tak seorang pun tahu bcrapa umurnya seperti jongkok berkerudung kain pelekat hedinginan, tak ubahnya seperti diperbuat petani Cileungsi. Berkaus oblong bercelana yang tak menentu warnanya, bisa biru langit bisa kelabu, Bung Karno sudah duduk bersila di bangku rotan tanpa alas dan sandaran apa pun. Seperti biasa, di meja ada pelbagai pil, juadah, dan segelas madu. Beberapa orang, baik pembesar resmi maupun pembesar tidak resmi sudah berdatangan dan ikut menyeropot teh. Sebentar sinar mata Bung Karno berapi-api, sebentar redup sambil berkata "coba dengarkan kicau burung-burung itu." Bak Modibo Keita yang berjenggot, datang menyusul almarhum Ali Sastroamidjojo. Saya kira kursi rotan sedikit terperanjat karena Ali membanting pantatnya terlampau keras. Tanpa pendahuluan apa pun dia langsung bicara. + "Kenapa sih bung koran Suluh Indonesia dibreidel?" - "Lho, mana saya tahu," sahut Bung Karno. + "Tolong bung gunakan pengaruh supaya bisa terbit lagi. Saya jadi susah." - "Wong saya sendiri juga lagi susah kok." + "Yaah, tolonglah bagaimana saja supaya bisa terbit lagi." - "Masa soal koran tutup saja mesti saya yang urus? Pergi saja ke Kodam." + "Tidak bisa." - "Ya sudah. Begini saja: Kalau Pak Ali mau beritahu pendapat Pak Ali supaya diketahui umum, ambil pengeras suara, naik ke genting, dan teriak-teriaklah di situ." Dengan cemberut Ali Sastroamidjojo memutuskan persoalan. Mafhumlah ia, dalam keadaan seperti saat itu seorang Bung Karno pun tak bisa berbuat banyak. Mafhumlah ia, koran pada saat seperti itu bisa kena pukulan serangan jantung koroner, rebah terkulai begitu saja dengan mata masih terbelalak. Dan mafhumlah jago tua ini, julukan wartawan itu ratu dunia, wartawan itu kuli tinta, wartawan itu nyamuk, tidaklah bisa dijadikan pegangan. Suatu tempo, seperti digempur lindu, sang ratu terjungkal dari tahta dan menjadi gembel, sang kuli jadi narapidana, dan sang nyamuk jadi kecoak. Sebutan jenaka itu hanya ada dalam buku-buku. Bisakah orkes nyanyi bernyanyi mengalami nasib nyaris serupa? Mengapa tidak. "The Hawaiian Seniors" yang memilukan itu tak akan tampak oleh mata dan terdengar oleh telinga umum -- entah sementara entah hingga kiamat -- karena sesuatu hal yang kelewat panjang dipaparkan di sini. Bagaimana kalau mengikuti petuah Bung Karno seperti diucapkannya kepada Ali Sastroamidjojo, ambil pengeras suara, merayap naik genting dan bergenjreng-genjreng di sana palhlg sedikit tatkala purnama sedang bulat-bulatnya tergantung di langit? Ini bukan barang mustahil asal saja dapat sepakat tet.mgga, Pak RT, Pak RW, Pak Lurah, Pak Camat, Pak Walikot. atau Bupati, dan tentu saja Pak Mcnteri Dalam Negeri. Sedikit repot, tapi konstitusional. Sekedar nasihat supaya tidak tersandung-sandung lagi kepada orkes orang-orang gaek ini harap camkan di hati para takhyul Amerika yang berbunyi: "If you sing before seven, you'll cry before eleven. " "If you sing before you eat, you 'll cry before you sleep. " Atau kalau tidak mau pusing-pusing, kalau tidak mau mengganggu semua jalur pemerataan, kalau khawatir tidak konstitusional dan tidak pancasilais, saya punya resep takhyul (ditanggung sip karena juga dari Amerika) yang lebih praktis "If one happens to sing while bathing this is sig good luck." Maka marilah bernyanyi saja di kamar mandi masing-masing, tidak peduli airnya keluar dari pipa PAM secara nornaal atau kudu disedot lewat mesin Sanyo karena tanpa itu semut kita mesti tayammum setiap diperlukan atau menggosok dubur dengan kertas atau batu sehabis buang hajat besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus