TERAS belakang Istana Merdeka, di penghujung tahun 1965. Hari
masih pagi benar, embun belum terusir dari pucuk rerumputan,
burung-burung prenjak blingsatan dal bersiul-siul seenak hati
seakan di onderneming saja. Ada satudua tekukur -- sungguh
burung yang sopan -- manggung dengan teratur seakan sudah minta
permisi sehari sebelumnya. Pohon sengon di tengah lapangan yang
tak seorang pun tahu bcrapa umurnya seperti jongkok berkerudung
kain pelekat hedinginan, tak ubahnya seperti diperbuat petani
Cileungsi.
Berkaus oblong bercelana yang tak menentu warnanya, bisa biru
langit bisa kelabu, Bung Karno sudah duduk bersila di bangku
rotan tanpa alas dan sandaran apa pun. Seperti biasa, di meja
ada pelbagai pil, juadah, dan segelas madu. Beberapa orang,
baik pembesar resmi maupun pembesar tidak resmi sudah
berdatangan dan ikut menyeropot teh. Sebentar sinar mata Bung
Karno berapi-api, sebentar redup sambil berkata "coba dengarkan
kicau burung-burung itu." Bak Modibo Keita yang berjenggot,
datang menyusul almarhum Ali Sastroamidjojo. Saya kira kursi
rotan sedikit terperanjat karena Ali membanting pantatnya
terlampau keras. Tanpa pendahuluan apa pun dia langsung bicara.
+ "Kenapa sih bung koran Suluh Indonesia dibreidel?"
- "Lho, mana saya tahu," sahut Bung Karno.
+ "Tolong bung gunakan pengaruh supaya bisa terbit lagi. Saya
jadi susah."
- "Wong saya sendiri juga lagi susah kok."
+ "Yaah, tolonglah bagaimana saja supaya bisa terbit lagi."
- "Masa soal koran tutup saja mesti saya yang urus? Pergi saja
ke Kodam."
+ "Tidak bisa."
- "Ya sudah. Begini saja: Kalau Pak Ali mau beritahu pendapat
Pak Ali supaya diketahui umum, ambil pengeras suara, naik ke
genting, dan teriak-teriaklah di situ."
Dengan cemberut Ali Sastroamidjojo memutuskan persoalan.
Mafhumlah ia, dalam keadaan seperti saat itu seorang Bung Karno
pun tak bisa berbuat banyak. Mafhumlah ia, koran pada saat
seperti itu bisa kena pukulan serangan jantung koroner, rebah
terkulai begitu saja dengan mata masih terbelalak. Dan mafhumlah
jago tua ini, julukan wartawan itu ratu dunia, wartawan itu kuli
tinta, wartawan itu nyamuk, tidaklah bisa dijadikan pegangan.
Suatu tempo, seperti digempur lindu, sang ratu terjungkal dari
tahta dan menjadi gembel, sang kuli jadi narapidana, dan sang
nyamuk jadi kecoak. Sebutan jenaka itu hanya ada dalam
buku-buku.
Bisakah orkes nyanyi bernyanyi mengalami nasib nyaris serupa?
Mengapa tidak. "The Hawaiian Seniors" yang memilukan itu tak
akan tampak oleh mata dan terdengar oleh telinga umum -- entah
sementara entah hingga kiamat -- karena sesuatu hal yang kelewat
panjang dipaparkan di sini. Bagaimana kalau mengikuti petuah
Bung Karno seperti diucapkannya kepada Ali Sastroamidjojo, ambil
pengeras suara, merayap naik genting dan bergenjreng-genjreng di
sana palhlg sedikit tatkala purnama sedang bulat-bulatnya
tergantung di langit? Ini bukan barang mustahil asal saja dapat
sepakat tet.mgga, Pak RT, Pak RW, Pak Lurah, Pak Camat, Pak
Walikot. atau Bupati, dan tentu saja Pak Mcnteri Dalam Negeri.
Sedikit repot, tapi konstitusional.
Sekedar nasihat supaya tidak tersandung-sandung lagi kepada
orkes orang-orang gaek ini harap camkan di hati para takhyul
Amerika yang berbunyi:
"If you sing before seven, you'll cry before eleven. " "If you
sing before you eat, you 'll cry before you sleep. "
Atau kalau tidak mau pusing-pusing, kalau tidak mau mengganggu
semua jalur pemerataan, kalau khawatir tidak konstitusional dan
tidak pancasilais, saya punya resep takhyul (ditanggung sip
karena juga dari Amerika) yang lebih praktis "If one happens
to sing while bathing this is sig good luck."
Maka marilah bernyanyi saja di kamar mandi masing-masing, tidak
peduli airnya keluar dari pipa PAM secara nornaal atau kudu
disedot lewat mesin Sanyo karena tanpa itu semut kita mesti
tayammum setiap diperlukan atau menggosok dubur dengan kertas
atau batu sehabis buang hajat besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini