Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Antara Kata ’Warga’ dan ’Negara’

16 Juni 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

  • Freddy Kalidjernih

    Pada rubrik ini, Qaris Tajudin mempermasalahkan penggunaan kata warga di masyarakat dan media massa yang dianggapnya berlebihan (Tempo, 28 April-4 Mei 2008). Selain melalui analisis bahasa (grammatical analysis), mungkin satu cara lain yang dapat dilakukan guna mendapatkan jawaban sebab-musabab penggunaan kata yang berlebihan tersebut adalah menengok kondisi politik yang mempengaruhi psikologi masyarakat penutur bahasa (termasuk pers).

    Saya setuju dengan Qaris, yang mencatat bahwa dalam majalah Tempo yang diterbitkan antara 1971 dan 1995 tidak ditemukan penggunaan kata warga yang berlebihan. Kata warga baru mulai digunakan secara ”bebas” pada awal 1990-an, sejalan dengan penguatan civil society. Isu civil society mulai didengungkan pada pertengahan 1980-an. Tampaknya, kata warga makin sering digunakan secara bebas sejalan dengan isu civil society. Kita ingat bahwa kata civil society sendiri baru populer setelah diadakan seminar oleh para Indonesianis (baik dari Indonesia maupun dari negara non-Indonesia) di Universitas Monash, Australia, pada akhir 1980-an. Hasil seminar itu telah dibukukan dengan judul State and Civil Society (suntingan Arief Budiman, 1990) .

    Tampaknya ada euforia untuk menggunakan kata warga yang selama berpuluh-puluh tahun dianaktirikan oleh rezim Orde Baru. Hal ini, antara lain, disebabkan kekuasaan negara (rezim otoriter) yang begitu kuat, sehingga kata negara lebih mendominasi masanya. Sementara itu, rezim (pemerintahan) Orde Baru disamakan dengan negara.

    Wacana warga digunakan untuk menunjukkan sikap, yakni sebagai penyeimbang atau bahkan perlawanan (counter-balancing force) terhadap negara dalam upaya mempromosikan hak-hak sipil dan hak asasi warga negara.

    Sebagai contoh, dalam studi kewarganegaraan, ada upaya untuk memberikan tekanan horizontal relasi individu (dan kelompok individu) dalam masyarakat di samping hubungan horizontal antara negara dan masyarakat.

    Sejak konstitusi negara Indonesia disusun, kata kewarganegaraan yang dipahami dalam bahasa Indonesia terbentuk dari kata dasar warga dan negara, ditambahkan dengan sirkumfiks ke- -an. Kata kewarganegaraan ini merujuk kepada sebuah relasi ”vertikal” warga (citizen) dan negara (state) yang dipersandingkan secara paralel dan dilegitimasi oleh pengertian ”hak dan kewajiban”. Sedangkan relasi ”horizontal” merujuk kepada hubungan antarwarga atau kewargaan (citizen-citizen relationship), yang idealnya tidak mendapat campur tangan negara, dan sering disebut dengan civil society.

    Sekali lagi, kelihatannya, gerakan civil society yang disebut di atas telah mempengaruhi penggunaan warga yang berlebihan. Semua yang bertalian dengan individu dalam masyarakat (penduduk) diasosiasikan dengan suatu kata sekaligus konsep yang menekankan civil society, yakni warga.

    Dalam konteks civil society, yakni keinginan untuk ”melupakan” (campur tangan) negara, penggunaan kata warga tampaknya dianggap masuk akal. Apalagi untuk mencari padanan kata civic dan civil di dalam bahasa Indonesia tidaklah mudah. Hingga kini, selain konsep civil society yang sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia, kata civil juga tampaknya tidak terlalu cocok dengan kata sipil (notabene dikhawatirkan sebagai oposisi kata dan konsep militer dalam konteks sosial-politik Indonesia). Karena itu, umumnya orang masih menggunakan civil society alih-alih masyarakat madani karena secara konseptual (terutama secara historis) dianggap tidak sama atau tidak terlalu mirip. Contoh lain adalah civic engagement yang menyangkut hubungan sosial sesama warga dan keterlibatan politik warga atau political engagement. Rasanya sulit diterjemahkan dengan kata penduduk.

    Kalau kita mengganti kewargaan (relasi horizontal) dengan kependudukan jelas tidak ”bunyi”. Sama halnya dengan kewarganegaraan (relasi vertikal). Jika diterjemahkan sebagai kependudukan akan rancu dengan konsep demografi.

    Demikian juga, kita sulit mencari kata lain sebagai pengganti kata warga bila kita ingin menerjemahkan konsep sosiologis sebagai berikut: periode negara-kota, dengan persona warga (denizen) dan hak legal; Periode negara-bangsa dengan persona warga negara (citizen) dan hak politik, dan periode negara-kesejahteraan dengan persona warga sosial (social citizen) dan hak sosial. ”Penduduk” (denizen), ”penduduk negara” (citizen) dan ”penduduk sosial” (social citizen)? Rasanya tidak ”enak”.

    Penggunaan kata warga memang berlebihan di masyarakat dan perlu dirapikan. Akan tetapi, kata warga sebenarnya bermanfaat dan mengandung implikasi kuat dalam penguatan civil society yang diimpi-impikan.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus