Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
My Friend the Fanatic: Travels with an Indonesian Islamist Penulis: Sadanand Dhume Penerbit: Text Publishing, Australia 2008 Tebal: 274 halaman
Sadanand Dhume tiba-tiba teringat akan amuba ketika membicarakan Gontor. Amuba adalah makhluk yang hanya mampu memproduksi ulang dirinya sendiri. Menurut penulis yang tinggal di Washington, DC, Amerika, ini, dari Gontor hanya lahir para santri, tak pernah penulis, pelukis, ataupun ilmuwan besar, apalagi grandmaster catur atau konduktor orkestra. Pendapat ini didapat Dhume setelah mengobrol dengan seorang santri muda bernama Hasan al-Banna, yang bilang bahwa 150 lulusan Gontor telah membuka pesantren sendiri.
Kisah yang muncul pada bab ”Ponorogo” dalam buku My Friend the Fanatic: Travels with an Indonesian Islamist ini tentu menerbitkan pertanyaan. Pertama, apakah sekolah-sekolah persiapan yang terkenal di Barat pernah menghasilkan ulama besar? Mungkin ya, mungkin tidak. Kedua, apakah Sekolah Catur Enerpac dengan sendirinya lebih tinggi derajatnya ketimbang sekian ratus pesantren karena ia telah mencetak grandmaster? Kedua pertanyaan ini bisa dianggap main-main, bisa pula serius. Poinnya, mengukur prestasi sebuah lembaga, atau apa pun, berdasarkan parameter yang tak tepat jelas bermasalah. Ini terjadi karena Dhume datang dengan prasangka atau setidaknya sebagai orang asing.
Buku My Friend yang terbit Mei lalu ini diniatkan sebagai potret mutakhir Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Apa yang terjadi di tengah-tengah mereka, terutama setelah peristiwa Bom Bali pada 2002? Dhume mencoba mencari tahu melalui perjalanan keliling Indonesia dengan Herry Nurdi, wartawan majalah Sabili, pada 2002 hingga 2004.
Hanya, Dhume, putra seorang diplomat India, lebih sibuk mendengar suaranya sendiri. Lulusan Princeton ini sejak awal sudah mengaku seorang ateis yang menaruh sedikit saja simpati terhadap agama-agama. Ia, misalnya, menyebut Islam sebagai keyakinan penuh takhayul dari abad pertengahan. Ajaran-ajarannya tak mengundang selera, bahkan barbarik. Singkatnya, Islam tak kompatibel dengan modernitas.
Maka, sepanjang buku, Islam muncul dengan wajah yang tegang, atau Dhume yang menjadi tegang saat berhadapan dengan Islam. Akibatnya, ia menjadi tukang keluh profesional karena nyaris semua hal membuatnya gusar. Nurcholish Madjid muncul dari Gontor? Tak penting karena, ya itu tadi, belum lahir konduktor orkestra dari sana. Ngruki apa lagi. Pemakai jilbab, baik yang menyembunyikan seluruh tubuhnya maupun yang memadukannya dengan jins dan kaus ketat, sama-sama dicelanya: yang pertama kurang pikir, yang kedua bingung.
Herry, teman seperjalanan Dhume, juga tak selamat. Bahkan ia menjadi korban utama. Dhume menampilkan Herry sebagai anak muda pemuja Usamah bin Ladin yang kadang naif, bingung, berapi-api, dan sering konyol. Herry muncul sebagai sosok yang enak untuk diolok-olok. Apakah Herry seperti itu? Pembaca yang tak mengenalnya secara langsung tak akan pernah tahu.
Sebagai seorang teman, semestinya Dhume tak enteng saja mencemooh penampilan fisik istri Herry. Apalagi, pada dasarnya Herry bersedia mendampingi karena ia dibayar sebagai fixer. Label Herry sebagai seorang fanatik juga bermasalah, karena di buku ini disebutkan Herry adalah orang fanatik yang pilih-pilih dan hanya melakukan kefanatikannya pada hari-hari kerja. Judul yang lebih tepat untuk buku ini barangkali adalah My Fixer the Weekdays Fanatic: Travels with an Indonesian that You Can Call Him Islamist.
Perjalanan keliling Dhume sering membuatnya megap-megap. Ia bahkan pernah jatuh sakit di pedalaman Kalimantan. Untunglah, ia punya suaka: sekelompok penulis Jakarta yang sering ditemuinya—Richard Oh, Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki, dan Moammar Emka. Ia takzim mendengar saran Oh tentang buku-buku yang mesti ia baca. Ia juga ngintil Djenar ke sana-kemari. Bagian ini menghibur, tapi berkepanjangan.
Dengan berpindah-pindah pokok bahasan: kebangkitan Islam radikal di Indonesia, hubungan Dhume dan Herry, serta kehidupan Dhume sendiri, buku ini kurang berfokus. Seandainya Dhume punya kesediaan setara terhadap Herry dan berteman dengan kalangan muslim yang lebih moderat, My Friend bisa menjadi buku yang lebih memikat dan bermanfaat. Atau, buku ini bisa menjadi lebih reflektif atau provokatif jika Dhume berani berterus terang kepada sumber-sumbernya bahwa ia ateis.
Yusi Avianto Pareanom, Penulis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo