Tahun 1999 ini barangkali sangat menentukan bagi banyak hal dalam politik di Indonesia. Soal yang diterima sebagai ''sudah semestinya demikian" ternyata masih bisa berubah menjadi sebaliknya pada hari-hari mendatang, seperti misalnya: reformasi dianggap terus berlangsung, ternyata macet total. Soeharto akan diadili, nyatanya tidak. Pemilihan umum terselenggara seperti dikehendaki, setidaknya memenuhi persyaratan minimum. Karena kacau, lalu ditunda. Habibie tidak menyiapkan diri jadi presiden lagi, mungkin malah sebaliknya, dan terpilih. Peran politik ABRI tidak menonjol lagi, tapi mengambil alih kekuasaan. Setiap salah satu dari beberapa kemungkinan ''antiklimaks" itu terjadi, sedikit atau banyak pasti disertai pertikaian dan benturan keras.
Dalam fase beberapa bulan ini, sudah akan ditentukan apakah reformasi total akan berlanjut atau tidak. Ukurannya bukan terletak pada ada-tidaknya kelanjutan aksi mahasiswa di Jakarta sesudah Ramadan nanti. Tetapi kalau Soeharto tidak diajukan ke sidang pengadilan dan tidak dihukum, semua gerakan pembersihan korupsi rezim Orde Baru juga praktis akan terhenti. Ini sama dengan menggagalkan gerakan reformasi. Protes akan bermunculan, tentunya. Ada yang mengancam, lebih baik pemilu diundur kalau Soeharto belum diadili.
Sebaliknya, bagi Soeharto, keluarganya, dan orang-orang sekitarnya, sekali peradilan sempat dimulai, itu akan bergulung dan menyapu semuanya tanpa tentu batasnya. Karena itu, harus dicegah, berapa pun ongkosnya. Habibie, walaupun sudah memisahkan diri, bisa diduga akan berpikiran sama. Kalau ia menghambat secara terbuka, akan tampak terlalu mencolok dan menyudutkan posisi pemerintah. Yang terbaik ialah dengan mengulur waktu, sambil secara resmi melangsungkan proses pemeriksaan dan mengeluarkan pernyataan yang menyenangkan masyarakat. Namun cara ini hanya efektif untuk sementara, katakanlah sampai Maret atau April ini saja. Apa yang akan terjadi setelah itu, sulit digambarkan sekarang.
Selain soal Soeharto, pemilihan umum juga dipengaruhi oleh banyak soal lain, terutama saat berlangsungnya kampanye. Setiap ketegangan politik selalu memungkinkan timbulnya komplikasi pertikaian sosial—sekarang sering dinamakan ''konflik horizontal"—yang terjadi antaragama, antaretnis, antarsuku, atau sekadar antarkelompok dan antarkampung. Timbulnya mendadak dan sukar dicegah. Walaupun ancaman ini selalu ada, tetapi rupanya itu bukan alasan untuk tidak menyelenggarakan pemilihan umum. Semua sepakat tentang itu. Namun, dalam dua bulan pertama tahun ini, ada ganjalan lain yang harus diatasi dulu: perundang-undangan politik yang sedang disusun tanpa turut sertanya banyak peserta pemilu yang akan datang, dan pelaksanaan persiapan awalnya. Kalau kurang mencerminkan keadilan, perpecahan juga mungkin terjadi.
Dengan segala cacat dan celanya, pemilihan umum masih diharapkan untuk bisa selamat terlaksana. Andaikata semua kendala bisa dikesampingkan dulu, soal berikutnya ialah proyeksi hasil pemilu nanti. Bagaimana kalau Habibie memaksakan diri untuk menjadi presiden lagi? Sebab, nasibnya akan bisa seperti Soeharto kalau tidak berkuasa lagi. Boleh saja keberatan diajukan, tetapi secara legal hak Habibie sama penuhnya dengan siapa pun (termasuk Tutut Soeharto, misalnya) untuk menjadi calon presiden. Dari pandangan reformasi, memang ada masalah legitimasi. Tetapi justru itu soalnya: masihkah reformasi berbunyi pada tahun 1999?
Dari kalangan yang mendambakan stabilitas dan kepastian, dunia bisnis misalnya, ada proyeksi yang konservatif. Diperkirakan, dengan dukungan ABRI, adalah Habibie bersama koalisi Golkar dan beberapa partai Islam yang akan memenangkan kursi presiden pada akhir 1999 nanti. Alternatif kedua ialah seorang perwira, karena ABRI akan mengambil alih kendali kekuasaan. Proyeksi ketiga, yang paling kecil kemungkinannya, ialah kekacauan, chaos. Kita tidak tahu seberapa sahihnya perkiraan ini. Teranglah, kemungkinan pertama dan kedua akan mengalami penolakan karena dianggap kurang mewakili reformasi. Dan agar wujud penolakan tak berubah jadi chaos, pemerintahan demikian hanya bisa berlangsung bila menggunakan bantuan represi.
Sesungguhnya situasi politik masih terlalu cair untuk bisa memberi dasar meramal yang bertanggung jawab. Setiap perkembangan akan membuka kemungkinan baru yang berlainan. Sambil menghitung peluang timbulnya hal-hal yang mengejutkan, mungkin saat ini kita hanya bisa melihat sebatas masa dua bulan saja dulu, yaitu Soeharto diadili atau tidak, dan perundang-undangan politik akan diterima baik atau tidak. Selebihnya, kita harus sabar menunggu sebelum membuat proyeksi lebih lanjut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini