Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Ekonomi Bisa Bangkrut?

4 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak perlu ragu lagi, 1998 adalah tahun penuh rekor dalam ekonomi dan keuangan. Inflasi mencapai 80 persen, nilai tukar pernah jatuh sampai Rp 16.500 terhadap dolar AS, suku bunga pinjaman 70 persen, dan pertumbuhan ekonomi mengkerut sampai minus 16 persen. Rekor yang tidak menyenangkan. Belum lagi kalau kita bicara tentang banyaknya bank yang harus dilikuidasi atau praktis tak beroperasi serta perusahaan yang gulung tikar karena tak sanggup membayar kewajibannya. Yang lebih membuat putus asa ialah angka pengangguran dan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan absolut yang mencapai 100 juta jiwa. Inilah resesi ekonomi yang dimulai dengan krisis moneter. Kita masih ingat, di pertengahan tahun 1997, tatkala banyak pakar dan pejabat menyangkal terjadinya krisis keuangan itu dan memperingan masalahnya sebatas krisis nilai tukar mata uang saja. Itu cuma contagion effect saja dari krisis baht di Thailand dan akan segera berlalu karena fundamental ekonomi Indonesia yang lebih kuat, ujar mereka meyakinkan. Padahal, ternyata kemudian sama saja, bahkan lebih keropos. Terlalu banyak pinjaman swasta dalam dolar yang ditukar ke mata uang sendiri dan ditanam sebagai modal atau dipinjamkan ke usaha realestat. Ketika nilai tukar anjlok, kewajiban membayar dalam dolar membengkak, perusahaan merugi besar dan penghasilannya terkuras, nilai saham jatuh, utang tidak terbayar sesuai jadwalnya, dan bank-bank pun kewalahan karena tertimpa beban kredit macet besar-besaran. Setiap unsur menjadi faktor yang saling memperburuk keadaan unsur lainnya. Spekulasi perdagangan mata uang asing juga ikut merusak. Sebab pinjaman swasta sejumlah US$ 80 miliar itu banyak tidak terlindungi dengan hedging—pengamanan terhadap turun naiknya nilai tukar uang—sebagaimana mestinya. Selain itu, faktor internasional juga lebih mempersulit keadaan. Misalnya, kondisi perbankan di Jepang yang juga kalang-kabut tidak mengizinkan untuk memberi keringanan kepada usaha restrukturisasi utang debiturnya di Indonesia. Padahal banyak utang luar negeri swasta kita, termasuk perusahaan besar yang kondisinya prima, berasal dari negeri itu. Kait-mengait semacam inilah yang mendorong resesi makin luas. Prospek ekonomi tahun baru 1999 ini sebenarnya tidak terpisah dan masih merupakan kelanjutan dari kebijakan yang ditempuh sebelumnya. Pada intinya, yang sudah digariskan Dana Moneter Internasional (IMF) tampaknya sampai sekarang tetap dijadikan pedoman. Berhasil atau tidak pelaksanaannya, itu masalahnya. Mengendalikan inflasi, dus kebijakan uang ketat dan suku bunga yang cukup tinggi serta penyehatan struktur perbankan, masih tetap menjadi prioritas. Kalau semua mulus, diharapkan inflasi bisa ditekan sampai 20 persen setahun atau lebih rendah, dan kontraksi ekonomi diperkecil menjadi tinggal 2,8 persen saja. Kurva pertumbuhan mulai menjungkit naik lagi, begitulah diperkirakan, baru pada pertengahan tahun 2000 nanti. Jadi, di tahun kelinci ini kehidupan ekonomi yang berat masih akan merosot lagi, karena efek krisis belum sampai ke dasar lubang yang terendah. Faktor "Politikonomi" Perubahan bukan tidak mulai terlihat. Angka inflasi untuk tiga bulan terakhir tahun 1998 selalu di bawah satu persen dan kurs dolar hampir stabil pada kisaran Rp 7.500 (walau mendekati Lebaran inflasi mungkin melonjak dan kurs merambat ke atas Rp 8.000 per dolar). Perhatian sebenarnya ditumpahkan pada kemungkinan konsolidasi ekonomi di tahun 1999, apakah ekonomi akan bangkit dari resesi atau keadaan justru semakin runyam? Disederhanakan, pertanyaannya menjadi, apakah dana akan datang menggerakkan pasar lagi dan modal akan mengalir kembali ke sektor riil atau tidak? Penyaluran uang ke sektor riil hanya mungkin kalau struktur perbankan sudah sehat dan tingkat bunga pinjaman terjangkau secara ekonomis. Sedangkan penyehatan perbankan bergantung pada program rekapitalisasi bank-bank, yang masih harus menunggu beberapa bulan lagi untuk bisa dinilai kemungkinan berhasil tidaknya. Penurunan suku bunga juga tidak bisa diharapkan cepat terjadi karena kebijakan keuangan mengutamakan pengendalian inflasi dan mencegah harga dolar naik ke atas lagi. Aliran modal dari luar akan sangat bergantung pada jaminan kestabilan yang bisa ditawarkan. Modal yang sempat terbang juga hanya bisa kembali kalau ada jaminan yang sama. Karena itulah sekarang, agak di luar kebiasaan tahun-tahun sebelumnya, para ahli ekonomi—tanpa sungkan lagi—selalu bicara tentang faktor non-ekonomi sebagai penentu untuk tahun 1999 ini. Penentuan "politikonomi" itu artinya semua serba tidak menentu. Ramalan ekonomi didirikan di atas asumsi dan skenario. Sedangkan kestabilan politik tak mungkin diandaikan tercipta begitu saja, apalagi menjelang pemilihan umum dan sidang MPR yang bercorak baru itu. Kita hanya bisa dengan aman mengatakan, kalau kacau dan bergejolak, ekonomi makin memburuk; kalau relatif stabil, perbaikan ekonomi masih bergantung pada konsistensi dan mutu kepemimpinan pemerintah. Pemerintah baru yang terpilih juga belum pasti bisa membawa kestabilan dan belum tentu efektif menjalankan program pemulihan ekonomi. Sementara itu, yang jelas masa pemerintah Habibie baru selesai November 1999. Melihat peta situasi tahun ini, tampaknya memang inisiatif pemerintahlah, bukan swasta, yang berperan penting dalam rehabilitasi ekonomi. Tetapi, kalau harus mengandalkan kepemimpinan Habibie, memang banyak yang merasa khawatir. Kebijakannya simpang-siur, timbulnya sekonyong-konyong, dan sering kontradiktif. Bagaimana mempercayai pemerintah yang di satu pihak mempromosikan ekonomi kerakyatan, tapi di pihak lain bukan menyajikan air minum kemasan dalam negeri di sidang kabinet atau naik Kijang saja, melainkan air mineral Perrier dari pegunungan Eropa dan mengendarai jip mewah Range Rover yang sepuluh kali lipat harganya? Keynes, yang menyerukan untuk berbelanja gila-gilaan demi memompa uang ke pasar, juga tak akan setuju dengan konsumsi barang impor semacam itu. Kalau ini dilanggar juga, memang kita bisa bangkrut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus