Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Varian Negara Islam Indonesia

Khilafatul Muslimin dan organisasi-organisasi anti-Pancasila lain punya akar yang sama, yakni Negara Islam Indonesia, yang mengusung ide khilafah islamiah. Seberapa berbahaya?

11 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muhamad Syauqillah
Ketua Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia dan Ketua Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIA masih diramaikan isu khilafah, Darul Islam, negara Islam, Daulah Islamiyyah, dan berbagai varian organisasinya dengan agenda dan aksi yang beragam, dari keinginan mengubah ideologi negara hingga terorisme. Terakhir, kita mendengar kabar penangkapan Abdul Qadir Hasan Baraja, yang mengaku sebagai amir Khilafatul Muslimin, organisasi khilafah islamiah di Lampung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah Indonesia merdeka, S.M. Kartosoewirjo mendirikan Negara Islam Indonesia atau Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada 1949. Sebagai fakta keberhasilannya di masa itu, beberapa wilayah di Indonesia menjadi basis gerakan DI/TII: Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Pemerintah Sukarno menangkap Kartosoewirjo dan memvonisnya mati pada 1962.

Kematian Kartosoewirjo tidak menghentikan semangatnya. Dari rezim ke rezim, ide negara Islam tetap ada. Doktrin hijrah yang menjadi pokok ajaran Kartosoewirjo, di samping iman dan jihad, terus hidup dengan pelbagai tokoh dan variannya, hingga yang paling kuat pada 1993 dengan didirikannya Al-Jamaah al-Islamiyyah oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir. Keduanya hijrah ke Malaysia dan menjadikan negara ini halte jihad ke Afganistan yang sedang berperang melawan Rusia. Bom Bali I pada 2002 adalah buntut aktivitas Al-Jamaah al-Islamiyyah. 

Dari mana ajaran khilafah islamiah bermula? Dalam sistem politik Islam ada bagian kajian fiqih siyasah yang bertumpu pada praktik bernegara di era Nabi Muhammad SAW dan empat penerusnya. Praktik bernegara tersebut berlangsung sejak masa Dinasti Muawiyah yang berdiri pada 661 hingga runtuhnya Dinasti Usmani pada 1923. Dinasti Usmani berganti menjadi Republik Turki yang menempatkan Mustafa Kemal Atatürk sebagai figur sentral.

Turki modern dengan model laiklik (sekularisme) Atatürk direspons oleh Taqiyyuddin An Nabhani dengan mendirikan Hizbut Tahrir pada 1949. Ia bercita-cita menyatukan kembali dunia Islam dalam satu sistem politik berbentuk khilafah, dengan mengacu pada sistem pemerintahan Dinasti Usmani. Padahal Dinasti Usmani sendiri memakai istilah khilafah hanya merujuk pada penguasa atau sultan, bukan sistem pemerintahan. Bahasa Usmani menyebut dinasti dengan “devlet” yang secara geografis memiliki kekuasaan dari Eropa Timur, Afrika Utara, hingga Jazirah Arab, yang berpusat di Anatolia. 

Sebelum gagasan khilafah islamiah Hizbut Tahrir muncul, beberapa vilayet (provinsi) Usmani mendeklarasikan negara bangsa dengan berbagai macam bentuk sistem pemerintahan, dari sistem monarki absolut hingga republik. Mesir memilih sistem kerajaan, lalu berubah menjadi republik dengan corak sosialis. Tunisia menyatukan pelbagai ideologi (nasionalis, sekuler, dan islamis). Dan Arab Saudi, yang sejak berdiri memiliki eksklusivitas, dengan Saudi Vision 2030, mengubah diri menjadi negara inklusif lewat kebijakan ramah gender, investasi, dan pariwisata.

Artinya, baik dulu maupun kini, penguasa Timur Tengah yang menjadi penyebar ajaran Islam tidak memilih sistem khilafah sebagai sistem politik dalam kehidupan bernegara mereka. Pencarian identitas kebangsaan oleh bangsa-bangsa Timur Tengah tidak menempatkan khilafah sebagai titik yang mempersatukan kepentingan warga negaranya. Malah saat ini penguasa Timur Tengah mempromosikan aspek keberagaman, keterbukaan, dan toleransi, seperti Qatar, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi. 

Gagasan abstrak dan utopia menjadi motivasi para penggagas khilafah. Menurut Charles Tilly, kesadaran individu dan kelompok yang menganggap khilafah segala-galanya membuat penggagas dan aktivisnya memiliki energi berlebih dalam gerakan organisasi mereka. Tak mengherankan jika Khilafatul Muslimin yang berdiri pada 1997 menjelma menjadi organisasi dengan ribuan pengikut dan cabang di Indonesia. Energi khilafah berhasil menyatukan individu utopis dalam gerakan sosial Khilafatul Muslimin.

Jika merujuk pada pelbagai organisasi sejenis, setidaknya ada beberapa kesamaan dan benang merah Khilafatul Muslimin dengan ide Negara Islam Indonesia Kartosoewirjo serta beragam varian organisasi lain yang pernah ada di Indonesia. Pertama, hampir semua kelompok radikal dan teror di Indonesia memegang doktrin teologi akhir zaman (malhamah kubro, mulkan jabariyah, Imam Mahdi). Mereka percaya bahwa saat ini adalah fase akhir zaman yang harus diikuti dengan implementasi syariat Islam.

Kedua, mereka umumnya memegang teguh doktrin jihad dan hijrah. Kartosoewirjo memaknai hijrah sebagai peralihan keseriusan memberlakukan hukum Islam. Al-Jamaah al-Islamiyyah memaknai hijrah untuk mewujudkan, memanfaatkan, dan mengamankan unsur-unsur kemajuan sebagai persiapan penegakan agama dan negara. Sedangkan Jamaah Ansharut Daulah memaknai hijrah sama seperti kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) mengintroduksi Syam (Suriah) sebagai tempat terbaik untuk hijrah.

Ketiga, dalam Perdjalanan Soetji Isra’ dan Mi’raj Rasoeloellah, Kartosoewirjo menulis bahwa melawan negara Pancasila hukumnya wajib (Santosa, 2015). Pancasila sering dinarasikan sebagai produk kafir, produk yang tidak sesuai dengan syariat Islam, bahkan produk thogut.

Keempat, Khilafatul Muslimin menafsirkan “ulil amri” bukan pemerintahan yang sah saat ini, seperti pandangan mayoritas umat Islam Indonesia. Menurut pengikut Khilafatul Muslimin, “ulil amri” atau pemimpin adalah seorang khalifah. Narasi ini bisa kita jumpai pada beberapa kelompok teror dan organisasi radikal lain.

Sudah cukupkah negara merespons organisasi-organisasi anti-Pancasila seperti ini? Jika melihat sejarah, setidaknya ada tiga fase penanganan kelompok radikal yang hendak mengganti ideologi dalam rezim pemerintahan Indonesia.

Fase pertama sebelum 2002, sebelum terjadi bom Bali. Waktu itu penanganan terorisme memakai Undang-Undang Subversif. Karena aturan itu tak memadai, muncul Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Legalisasi undang-undang antiterorisme tersebut bisa dikategorikan sebagai fase kedua penanganan teror. Pada fase ini ada berbagai aturan berkenaan dengan tindak pidana terorisme, termasuk Undang-Undang Pendanaan Terorisme. Pada fase ini aturan tak bisa menjangkau modus tindak pidana terorisme yang belum berjalan, seperti perencanaan teror, petempur asing, pelatihan militer atau paramiliter, dan rekrutmen pelaku teror. Kevakuman hukum ini mendorong lahirnya fase ketiga pada 2018 dengan penguatan Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme yang bertumpu pada pencegahan terorisme, baik pencegahan aksi maupun ideologi radikalnya.

Pada fase ini, penanganan terorisme beririsan dengan kaidah-kaidah demokrasi dan hak asasi manusia. Pencegahan penyebaran ideologi yang bertentangan dengan Pancasila berbenturan dengan upaya menjaga kebebasan berekspresi dan berorganisasi yang jika tak hati-hati bisa terpeleset menjadi pelanggaran hak asasi manusia, dalam hal hak berbicara dan berorganisasi.

Karena itu, penanganan penyebaran ideologi anti-Pancasila, seperti gagasan khilafah islamiah, memerlukan kontranarasi yang konsisten dan berkesinambungan. Pendekatan keras negara dalam penegakan aturan antiterorisme mesti digabungkan dengan pendekatan lunak yang melibatkan partisipasi masyarakat, organisasi sosial, dan organisasi keagamaan.

Khilafatul Muslimin adalah bentuk metamorfosis berbagai varian Negara Islam Indonesia. Jika hari ini aparatur negara mencokok pemimpin dan pengikut-pengikutnya, pada masa mendatang bukan tidak mungkin organisasi serupa muncul kembali. Ketimpangan sosial, ketidakadilan ekonomi, juga represi yang menimbulkan kekecewaan terhadap ideologi Pancasila tak memiliki saluran resmi sehingga ideologi-ideologi yang menyimpang akan terus muncul dengan pelbagai varian, nama, tokoh, serta ragam bungkusnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus