SEBERAPA akrab kita—yang bukan etnis Papua—dengan Irianjaya? Seberapa dalam empati kita kepada saudara yang bangga dengan rambut keriting dan kulit hitamnya itu? Pernah dalam salah satu kunjungannya ke Irianjaya, Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri sampai menitikkan air mata. Mega bersimpati dengan penderitaan orang Papua, tak ubahnya antropolog yang tergugah melihat keterbelakangan mereka. Malah bisa dipastikan, dalam menghadapi warga Papua, siapa pun kita akan terpanggil secara manusiawi untuk kemudian larut dalam solidaritas yang tinggi.
Masalahnya, bangsa ini lemah dalam merealisasikan empatinya secara nyata. Dan itu masih ditambah dengan ketidaksiapan Jakarta menyambut tekad Papua untuk merdeka. Padahal, bertahun-tahun di bawah Orde Baru, pemerintah pusat menawarkan pilihan sulit bagi Irianjaya: harus menderita dan harus tunduk kepada Jakarta. Pilihan yang sama disodorkan kepada Aceh, Kalimantan Timur, dan Riau.
Presiden Abdurrahman Wahid, yang kini mewarisi akibat "kolonisasi" Orde Baru, tidak dibekali dana berlimpah untuk mewujudkan empati dan meluruskan kebijakan sentralistis ala Soeharto. Bahkan, di luar kehendaknya, Gus Dur bertindak keliru dengan mengizinkan pengibaran bendera Bintang Kejora dan ikut membiayai Kongres II Papua. Ketika kekeliruan itu dikoreksi—dengan larangan pengibaran Bintang Kejora—pecahlah perang di Wamena. Dan jangan salah, bentrokan itu memperlihatkan agresivitas orang asli Wamena melawan yang bukan Wamena alias kaum pendatang. Padahal orang luar itu tidak dalam posisi untuk diperangi, karena bukan mereka yang melarang pengibaran Bintang Kejora.
Walaupun demikian, konflik Wamena juga tak bisa dikategorikan sebagai konflik horizontal biasa. Perlu diingat, warga pendatang di Wamena hidup rukun dengan warga asli, setidaknya sepanjang satu generasi. Jadi, berbeda sekali dengan sengketa di Kalimantan Barat, yang diwarnai rasa permusuhan sangat kental antara Dayak dan Melayu di satu pihak, lawan Madura di lain pihak.
Sampai di sini, tampaknya gejolak Papua merdeka secara tak sengaja telah berkobar dalam sebuah perang lokal. Bukankah mereka menggunakan senjata tradisional seperti tombak beracun, panah, dan kapak? Para pelakunya bahkan mengenakan aksesori perang, mirip kebiasaan tempo dulu. Sungguh beda dibandingkan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang terbiasa dengan AK-47 dan taktik perang gerilya.
Kesimpulannya: tindak kekerasan di Wamena tak direncanakan dengan matang. Bahwa mereka spontan melabrak, hal itu harus dilihat sebagai aktualisasi gelora perang dari orang-orang Wamena, yang dikenal paling suka perang di antara 250 anak suku Papua lainnya. Juga tidak beralasan untuk melihat "agresi" itu dalam strategi besar menuntut kemerdekaan. Apalagi percik api di Wamena tidak disambut percik-percik serupa di provinsi yang luasnya lima kali Pulau Jawa itu. Pokoknya, dari segi militer, perlawanan Wamena belum apa-apa.
Hanya, korban telah jatuh. Sumber polisi menyebutkan 40 orang tewas, sumber lain mengatakan 58 orang. Dan karena darah lebih kental dari air, bukan mustahil perang lokal di Wamena kelak meningkat jadi perang wilayah. Tergantung Jakarta, apakah akan mengulang kebijakan represif Orde Baru atau mencoba persuasif tanpa berlaku ceroboh. Juga tergantung kehati-hatian Megawati, karena gejolak Papua sudah sampai pada tahap yang tidak cukup dihadapi hanya dengan sejumput empati dan seonggok simpati. Otonomi sudah tepat, tapi masih diperlukan perimbangan keuangan yang berkeadilan, pendidikan yang lebih merata, beberapa sekolah atlet, studi mendalam tentang Papua, kawasan industri, atau jalan lintas Irianjaya. Memang kinilah saatnya mengungkapkan empati dengan nyata, sekonkret panah yang melesat dan tombak beracun yang menancap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini