Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUNIA pendidikan tiba-tiba berada diambang kegelapan. Dengan penjatahan anggaran yang hanya 3,8 persen dari total nilai rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) tahun 2001, sektor pendidikanyang menentukan kualitas bangsajustru dianaktirikan. Padahal, tahun-tahun sebelumnya volume anggaran pendidikan rata-rata 7 persen dari APBN.
Namun, jangan serta-merta gusar kepada Menteri Pendidikan Yahya Muhaimin. Sebenarnya Pak Menteri mengajukan angka Rp 27 triliun, tapi dalam RAPBN jumlah itu ditekan menjadi Rp 11,3 triliundengan Rp 2,8 triliun di antaranya dalam bentuk rupiah murni. Sisanya bergantung pada pinjaman luar negeri. ''Saya sampai harus menadahkan tangan dan minta-minta dari luar negeri," kata Yahya, memelas.
Tragis, memang. Dengan anggaran sangat mini, Yahya, yang mewarisi berbagai kesemrawutan bidang pendidikan, masih harus mengatasi masalah yang timbul karena krisis ekonomi. Jumlah anak putus sekolah, misalnya, dua tahun lalu sudah mencapai 2 juta siswa. Belum lagi masalah manajemen pendidikan, yang tak kunjung ditemukan jalan keluarnya. Anggaran senantiasa tak memadai sehingga sekolah acap kali terpaksa membebankan kekurangan dana kepada orang tua murid, dari uang gedung, seragam, buku, sampai tetek-bengek lainnya. Dan itu sudah terjadi bertahun-tahun di masa Orde Baru. Kenyataan yang mengkhawatirkan itu menjadi semakin parah di masa krisis tiga tahun terakhir.
Lalu, menyiasati dana yang cekak, apakah mungkin? Departemen Pendidikan ternyata memprioritaskan agar program wajib belajar, perbaikan dampak bencana alam, serta program beasiswa lewat jaring pengaman sosial menjadi tanggung jawab departemen ini. Selain itu, perguruan tinggi negeri juga tetap diurus oleh Jakarta.
Akan halnya pendidikan menengah, ''Kita serahkan ke pemerintah daerah (pemda) tingkat II," kata Sutjipto, Kepala Biro Perencanaan Departemen Pendidikan. Dan tidak hanya itu. Pengembangan ilmu pengetahuan serta kesejahteraan anak dan remaja juga menjadi tanggungan pemerintah daerah. Pendeknya, Departemen Pendidikan hanya menyusun program pendidikan berskala nasional serta membuat kurikulum. Lagi pula, tahun depan otonomi daerah mulai diberlakukan.
Sutjipto pun membuat perhitungan. Dalam RAPBN 2001, dana alokasi umum (DAU) yang diterima daerah mencapai Rp 56 triliun. Nah, jika pemda mau menyisihkan 20 persen saja anggaran belanjanya, nasib pendidikan masih bisa tertolong. Masalahnya, ''Saya masih khawatir, apakah pemda punya komitmen terhadap pendidikan," katanya, ragu.
Apa kata daerah? ''Pemerintah pusat jangan egoistis menetapkan kebijakan di bidang pendidikan," kata Mochammad Roem, Bupati Sinjai, Sulawesi Selatan. Selama ini, pemda sudah banyak menalangi berbagai kebutuhan di sektor pendidikan. Jika tahun depan harus dibebani lagi, pembagian jatah daerah menjadi tak berarti.
Tanggapan senada dilontarkan Farid Al Fauzi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur. ''Pemda akan memberi jatah tujuh persen untuk dunia pendidikan," kata arid. Dan itu dengan syarat Pemda Jawa Timur mendapat bagian dari pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (Pph) perusahaan milik negara (BUMN), dan cukai rokok, yang besarnya sekitar Rp 13 triliun.
Semula Farid menduga pemerintah pusat hanya menghentikan biaya riset, sementara biaya rutin sekolah menengah tingkat pertama ataupun atas (SMP dan SMU) masih ditanggung pusat. Ternyata, seperti pemuka daerah lainnya, ia harus menelan pil pahit.
Persyaratan yang diajukan Farid rupanya tidak sampai mengejutkan Ki Supriyoko, anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional. ''Omong kosong kalau kita bisa meningkatkan mutu pendidikan," kata pimpinan Majelis Luhur Taman Siswa, Yogyakarta, ini. Soalnya, dia merasa akan sia-sia mengharapkan agar 320 daerah tingkat II di Indonesia mau peduli pada masalah pendidikan. Bukankah pemerintah pusat selama ini juga tidak pernah menunjukkan komitmennya pada dunia pendidikan?
Bagi Ki Supriyoko, yang penting saat ini pemerintah harus menyelamatkan generasi yang hilang akibat krisis. Tiga tahun saja mereka meninggalkan sekolah, peluang untuk kembali ke jenjang pendidikan yang ditinggalkan sudah tertutup. ''Sebab, usia mereka sudah kedaluwarsa," ujarnya lirih.
Di Jakarta, pakar pendidikan Mochtar Buchori melantunkan keprihatinan yang sama. ''Mana ada bupati atau gubernur yang peduli soal pendidikan," kata mantan Wakil Ketua Komisi VI DPR ini. Pemerintah daerah paling-paling hanya memprioritaskan sektor yang bisa mengisi kas pemda. Mochtar, yang mundur dari keanggotaan DPR bulan lalu, mengaku kecewa dengan sikap pemerintah dan DPR yang mengabaikan pendidikan. ''Proses pembodohan bangsa ini bakal berlangsung selama lima belas tahun ke depan," demikian Mochtar meramalkan masa suram yang membayang-bayangi generasi penerus. Risikonya bisa fatal, karena masa depan bangsalah yang dipertaruhkan.
Agung Rulianto, Iwan Setiawan, Zed Abidien (Surabaya), Syarief Amir (Ujungpandang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo