SUAMIKU sayang, kau terlampau kasar.
Begitulah kata Nyonya Martin Luther kepada suaminya pada suatu
hari di abad ke-16. Ini bukan dalam pertengkaran keluarga. Sang
isrri cemas mendengarkan bagaimana suaminya dengan kata-kata
ganas melabrak Gereja dan Paus.
Tapi sang suami, bapak Protestanisme yang gemuk dan penuh api
seperti sebuah volkano Jerman itu hanya menjawab kalem: "Sebuah
ranting dapat dipotong dengan sepucuk pisau roti, tapi sebatang
pohon jati memerlukan sebuah kampak."
Hampir tiap hari, untuk menumbangkan kekuasaan Gereja, Luther
mengayunkan kampak. Dia menyebut dekrit kepausan tahi sampi. Ia
menggebuk para uskup sebagai monyet goblok. Dan ia tak merasa
puas dengan hanya itu. "Aku kepingin bisa meniupkan petir ke
paus dan kepausannya," katanya.
Harus cepat-cepat ditambahkan, bahwa pembaharu agama dari
Wittenberg ini sebenarnya orang yang punya rasa humor -- biarpun
humor kasar petani -- dan hati yang lembut.
Tak mudah orang untuk tak tersentuh membaca tentang Luther di
hari-hari ketika ia menunggui anaknya, Magdalena, menjelang ajal
dalam umur 14. Dia berdoa siang malam untuk kesembuhannya. Lalu
ia tahu maut mendekat. Ia pun berkata, "Lena sayang, anakku, kau
senang untuk tetap berada di sini bersama bapamu suka pulakah
kau pergi kepada Bapa yang lain itu?" Lena menyahut, "Ya, papa"
dan anak itu meninggal.
"Du liebes Lenichen," bisik sang ayah, "Kau akan bangkit dan
bercahaya seperti bintang dan mentari . . . "
Luther seorang manusia biasa. Hanya ia terlibat dalam suatu
zaman yang gemuruh, tatkala pertikaian soal agama berkait erat
dengan pertikaian kepentingan ekonomi dan politik. Dan di tengah
sengitnya pertikaian itulah ia berkata, "Aku tak mengakui, bahwa
ajaranku dapat dihakimi oleh siapa pun, bahkan oleh para
malaikat. Siapa yang tak menerima doktrinku tak akan dapat
diselamatkan." Itu juga di tahun 1522. Letupannya bisa hebat.
Di tahun 1524-26 terjadi pemberontakan petani. Tentu saja bukan
karena ajaran Luther. Para petani itu sudah terlampau lama
merasa tertindas oleh Gereja yang manunggal dengan Negara, dan
api Luther jadi terasa sebagai cahaya penerang. Tokohnya, Thomas
Munzer, seorang pengkhotbah radikal, menyatakan bahwa para
petani dan buruh tambang lebih bisa memahami Injil ketimbang
para pastur -- lalu dia menyerukan dibangunnya masyarakat
komunistis setelah mereka yang "tak bertuhan" dibinasakan.
Luther sebenarnya tak menyukai radikalisme itu semua. Ia memang
memaki-maki para bangsawan dan tentu saja para uskup dan
pendeta, tapi komunisme? "Bukankah Abraham dan patriakh serta
nabi lain memakai budak?" -- dan Luther menolak ide
sama-rata-sama-rasa.
Tapi api memang sudah gemertak di Jerman. Pasukan para petani
sudah tak bisa mundur lagi. Tapi sementara pasukan petani, di
bawah Munzer, hanya mengandalkan artileri bikinan sendiri,
ditambah doa dan pidato, pasukan para pangeran menggebuk kota
Frankenhausen dengan kanon.
Syahdan, 5.000 orang yang dialahkan dibunuh. 300 tawanan
dijatuhi hukuman mati. Ketika istri-istri mereka meminta ampun,
permohonan itu disetujui -- dengan syarat. Wanita-wanita itu
harus menghantam kepala dua pendeta yang menganjurkan
pemberontakan, sampai otaknya muncrat. Mereka setuju. Setelah
130.000 petani tewas, pemberontakan padam.
Api Luther juga redup. Para petani kini mengogahi ajarannya,
bahkan menyebutnya Lr. Lugner, "Doltor Justa."
Protestantisme memang tak jadi kalah karena itu. Tapi mungkin
orang jadi arif, bahwa ajaran terasa mutlak hanya bila dalam
pertikaian. Bila segalanya mereda, dan sejarah menengoknya
kembali, yang nampak selalu seorang tua yang berkata, seperti
Luther di hari-hari terakhir, "Aku capek dengan dunia, dan ia
capek denganku."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini