BEGITU selesai membacakan pidato 6 halaman -- seperti biasa
secara serius -- Presiden Soeharto meletakkan kacamata dan
memasukkan teks pidatonya ke dalam map bersampul batik. Ia tidak
segera duduk kembali di kursinya yang letaknya diapit Menhankam
Jenderal Jusuf dan Wapangab Laksamana Sudomo. Tanpa teks,
Presiden meneruskan pidatonya pada para peserta Rapim ABRI 1981
yang Kamis pekan lalu menemuinya di Istana Negara. Kali ini
Presiden berbicara dengan santai, disertai banyak senyum.
Menurut Presiden, "mumpung berhadapan dengan para perwira
seluruh jajaran ABRI," ia merasa perlu memberikan penjelasan
tentang pidatonya juga tanpa teks -- di Bangkok yang diucapkan
sepekan sebelumnya. Pokok persoalannya mengenai masalah
referendum. Penjelasan ini dianggap perlu, "sehingga rakyat
tidak tersesat pandangannya."
Di Bangkok, dalam pengarahannya pada masyarakat Indonesia di
sana waktu kunjungan singkat ke Muangthai, Presiden antara lain
menyebut adanya kalangan di Indonesia yang kurang puas dan
kurang mengerti terhadap keadaan di dalam negeri. "Kalangan ini
menyebarkan beriu seolah-olah yang dilaksanakan di Indonesia
sekarang ini pembangunan semu, demokrasi Indonesia adalah
demokrasi semu dan di Indonesia saat ini tidak ada pembangunan
politik," ujar Presiden.
"Bahkan dikatakan pemilihan umum yang dilaksanakan tidak
demokratis, karena sebagian anggota MPR diangkat Presiden,"
tambahnya. Dengan keras Presiden membantah ini. "Pengangkatan
sepertiga anggota MPR itu bukan bertujuan agar ABRI terus
berkuasa, dan agar yang berkuasa sekarang terus menjadi Presiden
seumur hidup," ia menegaskan.
Pengangkatan itu, menurut Presiden, berdasar "konsensus
perjuangan sejak permulaan Orde Baru" untuk mengamankan
pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945." Maksudnya, dengan adanya
orang yang diangkat itu tak ada yang akan berhasil mengubah UUD
melalui MPR -- mengingat perubahan itu dimungkinkan dalam pasal
37.
Tapi haruskah UUD tak boleh diubah sama sekali. Menurut Kepala
Negara, itu bisa saja. Namun harus dengan sangat berhati-hati.
Caranya: "Saya akan mengusulkan pada MPR, agar sebelum pasal 37
UUD 1945 itu dilaksanakan harus terlebih dahulu memperoleh
persetujuan langsung dari rakyat, melalui referendum." Adanya
referendum itu dengan kata lain bisa menjadi semacam pengganti
cara berjaga-jaga yang semula: pengangkatan 1/3 anggota MPR.
Sikap berjaga-jaga itu rupanya dianggap perlu. Soalnya perubahan
UUD dianggap akan memberi peluang perubahan dasar negara.
Khususnya, dasar Pancasila yang diterima banyak pihak dicemaskan
diubah dengan dasar lain yang bisa meretakkan persatuan --
misalnya, dasar "Negara Islam".
Pidato Presiden di Bangkok itu segeta memancing banyak
tanggapan. Ketua Fraksi Persatuan Pembangunan di DPR, Nuddin
Lubis, menyatakan tidak mengerti dengan apa yang dimaksud dengan
referendum. "Saya bingung, sebab bila referendum langsung
terhadap warganegara, maka apa artinya lagi kedudukan MPR
sebagai pemegang kedaulatan rakyat," katanya.
Nuddin Lubis menilai pernyataan Presiden di Bangkok itu kurang
mengena sebab sesudah 16 tahun Orde Baru berdiri, masih ada
pembedaan siapa yang membela Pancasila dan siapa yang tidak.
"Dan seolah-olah hanya ABRI lah yang membela Pancasila dan UUD
1945," katanya. Saat ini, menurut Nuddin, seluruh golongan yang
ada di MPR "benar-benar dan sungguh-sungguh" membela Pancasila
dan UUD 1945.
Sabam Sirait, Wakil Ketua F-PDI, tidak melihat urgensinya
menggunakan referendum. Malah hal itu dianggapnya tidak sesuai
dengan Demokrasi Pancasila. "Inti Demokrasi Pancasila adalah
musyawarah mufakat. Sedang referendum lebih menekankan pada
mayoritas dan minoritas," katanya.
Istilah referendum memang kurang dikenal di Indonesia. Berbagai
perundangan yang ada, termasuk UUD 1945, tidak mencantumkan
istilah tersebut. Hanya sekali referendum pernah dilaksanakan di
sini, yakni di Irian Jaya pada 1969. Cara itu lebih dikenal
dengan istilah Pepera (Pengumpulan Pendapat Rakyat). Hasilnya:
rakyat Irian Jaya memilih masuk RI.
Maka banyaklah orang yang berpikir-pikir tentang gagasan
Presiden tersebut. Apa latar belakangnya? Bagaimana bentuk
referendum yang diusulkan? Pertanyaan lain ialah kalau
pengangkatan 1/3 anggota MPR dihapus, bagaimana dengan
perwakilan ABRI di lembaga legislatif?
Agaknya untuk menjelaskan, Menteri Penerangan Ali Moertopo yang
Rabu pekan lalu untuk pertama kalinya menghadiri sidang Kabinet
setelah istirahat sakit, memberi keterangan pers.
Menurut Menpen, referendum yang dimaksud Presiden Soeharto
bukanlah referendum seperti yang dilaksanakan di negara-negara
Barat, yaitu rakyat langsung yang ditanyai. Menurut dia, itu
tidak sesuai dengan UUD 1945. "Maka Pak Harto mengatakan, kalau
nanti MPR mau, ada niat mengadakan pembicaraan perubahan UUD 45,
harusnya ditanyakan dulu pada rakyat. Siapa yang mewakili? MPR!"
kata Ali Moertopo.
Dengan lain kata, menurut Menpen, referendum yang dimaksud
Presiden adalah yang dilakukan lewat MPR yang merupakan lembaga
perwakilan rakyat. "Karena itu MPR yang harus ditanyai dan
kemudian membahas secara mendalam," ujarnya.
Penjelasan Menpen Ali Moertopo itu agaknya masih belum bisa
mengungkap secara persis gagasan Presiden tentang referendum.
Maklumlah: ini ide yang benar-benar baru, semacam alternatif
bagi cara yang selama ini dipakai dan kemudian kena kritik.
Untuk mengakhiri berbagai kebingungan itulah Presiden Soeharto
pekan lalu di depan peserta Rapim ABRI sekali lagi berpidato
menjelaskan latarbelakang pidatonya di Bangkok.
Menurut Presiden, di awal Orde Baru telah terjadi beberapa
konsensus nasional. Konsensus pertama: untuk melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus
kedua: tidak ingin mengubah Pancasila dan UUD 1945. "Padahal
kenyataannya, kalau kita ingin melaksanakan kemurnian Pancasila
dan UUD 1945 secara konsekuen, berarti pasal 37 UUD 1945 itu
bisa terlaksana," kata Presiden.
"Lha bagaimana supaya kita bisa mengamankan agar perubahan UUD
1945 tidak terjadi?" tanya Presiden. Caranya: waktu itu:
bermusyawarah dengan pimpinan 9 parpol dan Sekber Golkar.
Hasilnya: "Kita lantas memperoleh persetujuan, sepertiga dari
(anggota) MPR sebagai pemegang kedaulatan negara dan kekuasaan
tertinggi diangkat dari ABRI -- dengan konsekuensi ABRI
mengorbankan untuk tidak ikut memilih," kata Presiden.
Agar Berbobot
Tapi kalau sekarang diinginkan agar sepertiga anggota MPR tidak
diangkat, menurut Presiden "Mari kita cari jalan lain." Asal
maksud dan tujuan pengang katan tadi yakni demi mengamankan
tidak terlaksananya pasal 37 UUD tidak diubah.
Jalan lain yang dimaksud Kepala Negara: "Nanti saya usulkan pada
MPR hasil Pemilu yang akan datang agar membuat ketetapan yang
baru, antara lain bahwa pasal 37 UUD 45 (hanya) bisa dilakukan
setelah mendapat persetujuan rakyat," kata Presiden. Persetujuan
langsung dari rakyat inilah yang dimaksud Presiden dengan
referendum.
"Dan yang dimaksud Presiden adalah referendum langsung pada
rakyat, bukan melalui MPR, agar kadarnya lebih berbobot,"
seorang pejabat tinggi menjelaskan pada TEMPO.
Namun dihapuskannya sistem pengangkatan 1/3 anggou MPR tidak
berarti perwakilan ABRI di DPR akan terhapus. "Akan tetap
fungsinya sebagai stabilisator dan dinamisator," kata Presiden.
Ini berarti bakal ada perubahan pada UU Pemilu dan UU tentang
susunan MPR-DPR.
Namun tidakkah referendum itu bertenungan dengan UUD 1945 --
karena istilah itu tidak tercantum di dalamnya? "Lho, kalau
begitu ya tidak usah ada pemilu. Sebab UUD 1945 kan juga sama
sekali tidak menyebut mengenai pemilu," tambah seorang pejabat
di dekat Bina Graha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini