Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Alat pengaman baru

Penjelasan presiden soeharto di depan para peserta rapim abri, mengenai pidatonya di bangkok (referendum untuk mengubah uud '45 berdasarkan pasal 37). keterangan ali moertopo tentang referendum. (nas)

11 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEGITU selesai membacakan pidato 6 halaman -- seperti biasa secara serius -- Presiden Soeharto meletakkan kacamata dan memasukkan teks pidatonya ke dalam map bersampul batik. Ia tidak segera duduk kembali di kursinya yang letaknya diapit Menhankam Jenderal Jusuf dan Wapangab Laksamana Sudomo. Tanpa teks, Presiden meneruskan pidatonya pada para peserta Rapim ABRI 1981 yang Kamis pekan lalu menemuinya di Istana Negara. Kali ini Presiden berbicara dengan santai, disertai banyak senyum. Menurut Presiden, "mumpung berhadapan dengan para perwira seluruh jajaran ABRI," ia merasa perlu memberikan penjelasan tentang pidatonya juga tanpa teks -- di Bangkok yang diucapkan sepekan sebelumnya. Pokok persoalannya mengenai masalah referendum. Penjelasan ini dianggap perlu, "sehingga rakyat tidak tersesat pandangannya." Di Bangkok, dalam pengarahannya pada masyarakat Indonesia di sana waktu kunjungan singkat ke Muangthai, Presiden antara lain menyebut adanya kalangan di Indonesia yang kurang puas dan kurang mengerti terhadap keadaan di dalam negeri. "Kalangan ini menyebarkan beriu seolah-olah yang dilaksanakan di Indonesia sekarang ini pembangunan semu, demokrasi Indonesia adalah demokrasi semu dan di Indonesia saat ini tidak ada pembangunan politik," ujar Presiden. "Bahkan dikatakan pemilihan umum yang dilaksanakan tidak demokratis, karena sebagian anggota MPR diangkat Presiden," tambahnya. Dengan keras Presiden membantah ini. "Pengangkatan sepertiga anggota MPR itu bukan bertujuan agar ABRI terus berkuasa, dan agar yang berkuasa sekarang terus menjadi Presiden seumur hidup," ia menegaskan. Pengangkatan itu, menurut Presiden, berdasar "konsensus perjuangan sejak permulaan Orde Baru" untuk mengamankan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945." Maksudnya, dengan adanya orang yang diangkat itu tak ada yang akan berhasil mengubah UUD melalui MPR -- mengingat perubahan itu dimungkinkan dalam pasal 37. Tapi haruskah UUD tak boleh diubah sama sekali. Menurut Kepala Negara, itu bisa saja. Namun harus dengan sangat berhati-hati. Caranya: "Saya akan mengusulkan pada MPR, agar sebelum pasal 37 UUD 1945 itu dilaksanakan harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan langsung dari rakyat, melalui referendum." Adanya referendum itu dengan kata lain bisa menjadi semacam pengganti cara berjaga-jaga yang semula: pengangkatan 1/3 anggota MPR. Sikap berjaga-jaga itu rupanya dianggap perlu. Soalnya perubahan UUD dianggap akan memberi peluang perubahan dasar negara. Khususnya, dasar Pancasila yang diterima banyak pihak dicemaskan diubah dengan dasar lain yang bisa meretakkan persatuan -- misalnya, dasar "Negara Islam". Pidato Presiden di Bangkok itu segeta memancing banyak tanggapan. Ketua Fraksi Persatuan Pembangunan di DPR, Nuddin Lubis, menyatakan tidak mengerti dengan apa yang dimaksud dengan referendum. "Saya bingung, sebab bila referendum langsung terhadap warganegara, maka apa artinya lagi kedudukan MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat," katanya. Nuddin Lubis menilai pernyataan Presiden di Bangkok itu kurang mengena sebab sesudah 16 tahun Orde Baru berdiri, masih ada pembedaan siapa yang membela Pancasila dan siapa yang tidak. "Dan seolah-olah hanya ABRI lah yang membela Pancasila dan UUD 1945," katanya. Saat ini, menurut Nuddin, seluruh golongan yang ada di MPR "benar-benar dan sungguh-sungguh" membela Pancasila dan UUD 1945. Sabam Sirait, Wakil Ketua F-PDI, tidak melihat urgensinya menggunakan referendum. Malah hal itu dianggapnya tidak sesuai dengan Demokrasi Pancasila. "Inti Demokrasi Pancasila adalah musyawarah mufakat. Sedang referendum lebih menekankan pada mayoritas dan minoritas," katanya. Istilah referendum memang kurang dikenal di Indonesia. Berbagai perundangan yang ada, termasuk UUD 1945, tidak mencantumkan istilah tersebut. Hanya sekali referendum pernah dilaksanakan di sini, yakni di Irian Jaya pada 1969. Cara itu lebih dikenal dengan istilah Pepera (Pengumpulan Pendapat Rakyat). Hasilnya: rakyat Irian Jaya memilih masuk RI. Maka banyaklah orang yang berpikir-pikir tentang gagasan Presiden tersebut. Apa latar belakangnya? Bagaimana bentuk referendum yang diusulkan? Pertanyaan lain ialah kalau pengangkatan 1/3 anggota MPR dihapus, bagaimana dengan perwakilan ABRI di lembaga legislatif? Agaknya untuk menjelaskan, Menteri Penerangan Ali Moertopo yang Rabu pekan lalu untuk pertama kalinya menghadiri sidang Kabinet setelah istirahat sakit, memberi keterangan pers. Menurut Menpen, referendum yang dimaksud Presiden Soeharto bukanlah referendum seperti yang dilaksanakan di negara-negara Barat, yaitu rakyat langsung yang ditanyai. Menurut dia, itu tidak sesuai dengan UUD 1945. "Maka Pak Harto mengatakan, kalau nanti MPR mau, ada niat mengadakan pembicaraan perubahan UUD 45, harusnya ditanyakan dulu pada rakyat. Siapa yang mewakili? MPR!" kata Ali Moertopo. Dengan lain kata, menurut Menpen, referendum yang dimaksud Presiden adalah yang dilakukan lewat MPR yang merupakan lembaga perwakilan rakyat. "Karena itu MPR yang harus ditanyai dan kemudian membahas secara mendalam," ujarnya. Penjelasan Menpen Ali Moertopo itu agaknya masih belum bisa mengungkap secara persis gagasan Presiden tentang referendum. Maklumlah: ini ide yang benar-benar baru, semacam alternatif bagi cara yang selama ini dipakai dan kemudian kena kritik. Untuk mengakhiri berbagai kebingungan itulah Presiden Soeharto pekan lalu di depan peserta Rapim ABRI sekali lagi berpidato menjelaskan latarbelakang pidatonya di Bangkok. Menurut Presiden, di awal Orde Baru telah terjadi beberapa konsensus nasional. Konsensus pertama: untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus kedua: tidak ingin mengubah Pancasila dan UUD 1945. "Padahal kenyataannya, kalau kita ingin melaksanakan kemurnian Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen, berarti pasal 37 UUD 1945 itu bisa terlaksana," kata Presiden. "Lha bagaimana supaya kita bisa mengamankan agar perubahan UUD 1945 tidak terjadi?" tanya Presiden. Caranya: waktu itu: bermusyawarah dengan pimpinan 9 parpol dan Sekber Golkar. Hasilnya: "Kita lantas memperoleh persetujuan, sepertiga dari (anggota) MPR sebagai pemegang kedaulatan negara dan kekuasaan tertinggi diangkat dari ABRI -- dengan konsekuensi ABRI mengorbankan untuk tidak ikut memilih," kata Presiden. Agar Berbobot Tapi kalau sekarang diinginkan agar sepertiga anggota MPR tidak diangkat, menurut Presiden "Mari kita cari jalan lain." Asal maksud dan tujuan pengang katan tadi yakni demi mengamankan tidak terlaksananya pasal 37 UUD tidak diubah. Jalan lain yang dimaksud Kepala Negara: "Nanti saya usulkan pada MPR hasil Pemilu yang akan datang agar membuat ketetapan yang baru, antara lain bahwa pasal 37 UUD 45 (hanya) bisa dilakukan setelah mendapat persetujuan rakyat," kata Presiden. Persetujuan langsung dari rakyat inilah yang dimaksud Presiden dengan referendum. "Dan yang dimaksud Presiden adalah referendum langsung pada rakyat, bukan melalui MPR, agar kadarnya lebih berbobot," seorang pejabat tinggi menjelaskan pada TEMPO. Namun dihapuskannya sistem pengangkatan 1/3 anggou MPR tidak berarti perwakilan ABRI di DPR akan terhapus. "Akan tetap fungsinya sebagai stabilisator dan dinamisator," kata Presiden. Ini berarti bakal ada perubahan pada UU Pemilu dan UU tentang susunan MPR-DPR. Namun tidakkah referendum itu bertenungan dengan UUD 1945 -- karena istilah itu tidak tercantum di dalamnya? "Lho, kalau begitu ya tidak usah ada pemilu. Sebab UUD 1945 kan juga sama sekali tidak menyebut mengenai pemilu," tambah seorang pejabat di dekat Bina Graha.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus