Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Wendy, Abu, Icuh dan Ju

Profil para pembajak pesawat garuda dc-9 "woyla" masing-masing: wendy, abu sofyan, zulfikar, machrizal. mereka diduga ada hubungan dengan imran.(nas)

11 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TELEGRAM tanpa alamat pengirim siang 31 Maret itu datang ke rumah keluarga Mohammad Zein di Kampung Kotamatsum, Medan. Isinya singkat: "Wendy meninggal dunia". Suara tangis dan suasana duka segera memenuhi rumah keluarga itu. Tapi esoknya, suasana duka berubah lain. Pintu rumah keluarga M. Zein yang dikenal alim ini terus tertutup. Mereka baru tahu bahwa Wendy, 28 tahun, putra kesayangan nomor empat yang rajin mengaji dan membantu orang tua berjualan kain di pusat pasar Medan, ternyata tewas ditembak pasukan komando Indonesia di Pelabuhan Udara Don Muang, Bangkok, karena membajak pesawat Garuda. Wendy lulus SD Muhammadiah, sempat bersekolah di SMP Negeri X Medan tapi tak tamat. Kemudian ia belajar di Perguruan Al Ulum, semacam pengajian, di Jalan Amaliun, Medan. Mereka yang mengenalnya mengatakan selama itu tindakan Wendy tak tercela. Sampai kedatangan kembali abangnya, Imronsyah, yang baru pulang dari Saudi Arabia. Imronsyah -- yang biasa dipanggil dengan sebutan "Amron" -- muncul kembali setelah bertahun-tahun menghilang dalam jubah haji. Ia mengaku telah belajar agama di Arab Saudi antara 1971-1976. Tingkah lakunya sangat berbalik dari sifatnya yang sangat tercela di masa lalu. Ia kini suka berkeliling dan berkhotbah. Sembahyangnya teratur. Belakangan Imronsyah ini dikenal sebagai Imran yang dipanggil Imam Imran oleh kelompoknya (TEMPO, 4 April 1981). Kabarnya Imranlah yang mengajak adiknya, Wendy, ke Jakarta pada 1977. Pembajak lainnya yang berasal dari Medan adalah Abu Sofyan. Nama aslinya Sofyan Effendi dan lahir pada 1942. Seperti Wendy, ia juga berasal dari Kotamatsum II yang merupakan kampung tertua di Medan. Pendidikan terakhirnya: kelas III SMA Kenanga. Sofyan yang dikenal bandel suka mengisap ganja, dan jarang bergaul dengan tetangga ini pernah berlatih karate. Menurut penuturan kakak tunggalnya, Zaiwar, pada 1965 Sofyan yang istrinya lagi hamil lari ke Jakarta seraya membawa 250 gram emas milik kakaknya. "Sejak itu saya tak pernah lagi bertemu dengan dia. Bahkan saya tidak tahu alamatnya di Jakarta," tutur Zaiwar. Pada Lebaran 1980 Sofyan datang ke Medan selama 4 hari namun ia tak singgah ke rumah kakaknya. Ia hanya berpesan pada keponakannya Edy, anak Zaiwar, bahwa pada suatu hari nanti ia akan membayar kembali emas yang dilarikannya dulu. Juga, menurut Edy, Sofyan di Jakarta telah kawin dengan seorang wanita Prancis. Sejak peristiwa pembajakan, rumah kakak Sofyan ini sering didatangi petugas keamanan dan wartawan. "Tapi saya belum yakin Sofyan yang pembajak itu adik saya," ujar Zaiwar. Tokoh pembajak lainnya Zulfikar juga dibesarkan di Medan. Nama lengkap pemuda asli Aceh yang lahir di Medan pada 1953 ini adalah T. Djohan Meraxa. Zulfikar yang punya nama panggilan Ju ini juga pemain karate bersabuk biru dari Perguruan Karate Tako (Tangan Kosong). Menurut pelatihnya, Zulfakad Nizam, Ju yang fasih berbahasa Inggris ini dikenal sebagai seorang yang lembut, berjiwa sosial, tapi labil. Setelah memasuki perguruan karate pada 1971, Ju berhenti minum. Ia pernah diuber yang berwajib karena terlibat kasus membawa ganja dari Banda Aceh ke Medan, tapi tak tertangkap. Sejak 1973 Ju pindah ke Jakarta. Ia mengontrak rumah di daerah Matraman Salemba dan dikenal sebagai pemuda normal. Pakaiannya selalu rapi dan suka bermain gitar dan menyanyi. "Ke-Islamannya biasa saja. Kalau sedang ngobrol, biar ada bedug magrib ia akan tetap meneruskan obrolannya," cerita seorang kenalannya. Zulfikar selama lebih dari 2 tahun pernah bekerja sebagai karyawan bagian keamanan Hotel Hilton, Jakarta. Ia dipecat pada 20 Maret 1981 -- 8 hari sebelum pembajakan -- karena absen lebih dari 10 hari. Sekitar dua tahun lalu Zulfikar menikah dengan seorang tetangganya dan sejak itu sikapnya mulai berubah. Ia kemudian tinggal bersama mertuanya. "Apalagi setelah bergaul dengan Icah. Ia seperti menuruti saja apa yang dikatakan Icah dan tak punya sopan santun lagi," cerita kakak Zulfikar. Icah yang dimaksudnya adalah Machrizal, tokoh yang kemudian dikenal sebagai pimpinan pembajak pesawat Garuda Woyla. Machrizal pernah tinggal di Arab Saudi bersama keluarganya dan di Matraman Salemba rumah keluarganya dulu tak jauh letaknya dengan rumah Zulfikar. Keanehan pada Zulfikar setelah menikah antara lain adalah: kalau lagi hujan ia akan menadahkan tangan seperti bersyukur. Pernah salah seorang tetangganya menegur tingkah lakunya itu. Jawab Ju: "Ini rahmat Tuhan dan kita harus bersyukur." Cerita lain lagi dari tetangganya Zulfikar pernah terlihat mandi telanjang bulat berhujan-hujan di halaman belakang rumahnya. Juga terlihat tanda hitam pada jidatnya yang konon merupakan pertanda kelompok Imran. Para pemuda daerah Matraman Salemba juga mengenal Imran. Beberapa bulan yang lalu pemuda berusia 31 tahun ini membuat kejutan tatkala menyetop suatu acara pengajian remaja setempat yang tengah membaca Surat Yassin. Imran mengatakan, yang dilakukan para pemuda tadi salah. Menurut dia, Islam melarang membaca Quran beramai-ramai. Kalau cara itu dipakai, tidak ada yang akan membenarkan yang salah membaca. Sedang kalau pembacaan dilakukan seorang dan yang lain mendengarkan sambil mengoreksi yang salah, pahalanya akan sama. Imran waktu itu juga menantang bersalaman dengan ustaz dan remaja yang hadir: siapa yang berani menanggung dosa dan masuk neraka atas kekeliruan cara pengajian waktu itu? Ternyata tak ada yang berani menerima tantangan Imran. "Lalu bagaimana dengan orang yang selama ini membaca Surat Yassin beramai-ramai? Apakah mereka berdosa?" tanya seorang pemuda. Jawab Imran waktu itu: "Mereka tak berdosa karena tak tahu. Tapi kalau sudah tahu dan tetap melakukannya juga, maka berdosalah dia." Soal bersedekah juga disinggung Imran. Menurut dia, berdosa dan haram hukumnya kalau makan makanan sedekahan setelah pengajian. Mengapa harus memberi makan pada orang yang berselamatan? Mengapa tidak diberikan saja pada fakir miskin? Kalau tujuannya memang untuk makan-makan, menurut Imran, itu tak menjadi soal Namun kalau bersedekah karena sudah selesai pengajian, itu haram. Yang punya rumah juga turut menanggung dosa itu. Menurut penuturan beberapa pemuda Matraman Salemba pekan lalu, mendengar pendapat Imran tersebut semua yang hadir mengangguk terkesima. Dan diam saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus