TELEGRAM tanpa alamat pengirim siang 31 Maret itu datang ke
rumah keluarga Mohammad Zein di Kampung Kotamatsum, Medan.
Isinya singkat: "Wendy meninggal dunia". Suara tangis dan
suasana duka segera memenuhi rumah keluarga itu.
Tapi esoknya, suasana duka berubah lain. Pintu rumah keluarga M.
Zein yang dikenal alim ini terus tertutup. Mereka baru tahu
bahwa Wendy, 28 tahun, putra kesayangan nomor empat yang rajin
mengaji dan membantu orang tua berjualan kain di pusat pasar
Medan, ternyata tewas ditembak pasukan komando Indonesia di
Pelabuhan Udara Don Muang, Bangkok, karena membajak pesawat
Garuda.
Wendy lulus SD Muhammadiah, sempat bersekolah di SMP Negeri X
Medan tapi tak tamat. Kemudian ia belajar di Perguruan Al Ulum,
semacam pengajian, di Jalan Amaliun, Medan. Mereka yang
mengenalnya mengatakan selama itu tindakan Wendy tak tercela.
Sampai kedatangan kembali abangnya, Imronsyah, yang baru pulang
dari Saudi Arabia.
Imronsyah -- yang biasa dipanggil dengan sebutan "Amron" --
muncul kembali setelah bertahun-tahun menghilang dalam jubah
haji. Ia mengaku telah belajar agama di Arab Saudi antara
1971-1976. Tingkah lakunya sangat berbalik dari sifatnya yang
sangat tercela di masa lalu. Ia kini suka berkeliling dan
berkhotbah. Sembahyangnya teratur. Belakangan Imronsyah ini
dikenal sebagai Imran yang dipanggil Imam Imran oleh kelompoknya
(TEMPO, 4 April 1981). Kabarnya Imranlah yang mengajak adiknya,
Wendy, ke Jakarta pada 1977.
Pembajak lainnya yang berasal dari Medan adalah Abu Sofyan. Nama
aslinya Sofyan Effendi dan lahir pada 1942. Seperti Wendy, ia
juga berasal dari Kotamatsum II yang merupakan kampung tertua di
Medan. Pendidikan terakhirnya: kelas III SMA Kenanga. Sofyan
yang dikenal bandel suka mengisap ganja, dan jarang bergaul
dengan tetangga ini pernah berlatih karate.
Menurut penuturan kakak tunggalnya, Zaiwar, pada 1965 Sofyan
yang istrinya lagi hamil lari ke Jakarta seraya membawa 250 gram
emas milik kakaknya. "Sejak itu saya tak pernah lagi bertemu
dengan dia. Bahkan saya tidak tahu alamatnya di Jakarta," tutur
Zaiwar. Pada Lebaran 1980 Sofyan datang ke Medan selama 4 hari
namun ia tak singgah ke rumah kakaknya. Ia hanya berpesan pada
keponakannya Edy, anak Zaiwar, bahwa pada suatu hari nanti ia
akan membayar kembali emas yang dilarikannya dulu. Juga, menurut
Edy, Sofyan di Jakarta telah kawin dengan seorang wanita
Prancis.
Sejak peristiwa pembajakan, rumah kakak Sofyan ini sering
didatangi petugas keamanan dan wartawan. "Tapi saya belum yakin
Sofyan yang pembajak itu adik saya," ujar Zaiwar.
Tokoh pembajak lainnya Zulfikar juga dibesarkan di Medan. Nama
lengkap pemuda asli Aceh yang lahir di Medan pada 1953 ini
adalah T. Djohan Meraxa. Zulfikar yang punya nama panggilan Ju
ini juga pemain karate bersabuk biru dari Perguruan Karate Tako
(Tangan Kosong).
Menurut pelatihnya, Zulfakad Nizam, Ju yang fasih berbahasa
Inggris ini dikenal sebagai seorang yang lembut, berjiwa sosial,
tapi labil. Setelah memasuki perguruan karate pada 1971, Ju
berhenti minum. Ia pernah diuber yang berwajib karena terlibat
kasus membawa ganja dari Banda Aceh ke Medan, tapi tak
tertangkap. Sejak 1973 Ju pindah ke Jakarta.
Ia mengontrak rumah di daerah Matraman Salemba dan dikenal
sebagai pemuda normal. Pakaiannya selalu rapi dan suka bermain
gitar dan menyanyi. "Ke-Islamannya biasa saja. Kalau sedang
ngobrol, biar ada bedug magrib ia akan tetap meneruskan
obrolannya," cerita seorang kenalannya. Zulfikar selama lebih
dari 2 tahun pernah bekerja sebagai karyawan bagian keamanan
Hotel Hilton, Jakarta. Ia dipecat pada 20 Maret 1981 -- 8 hari
sebelum pembajakan -- karena absen lebih dari 10 hari.
Sekitar dua tahun lalu Zulfikar menikah dengan seorang
tetangganya dan sejak itu sikapnya mulai berubah. Ia kemudian
tinggal bersama mertuanya. "Apalagi setelah bergaul dengan Icah.
Ia seperti menuruti saja apa yang dikatakan Icah dan tak punya
sopan santun lagi," cerita kakak Zulfikar. Icah yang dimaksudnya
adalah Machrizal, tokoh yang kemudian dikenal sebagai pimpinan
pembajak pesawat Garuda Woyla.
Machrizal pernah tinggal di Arab Saudi bersama keluarganya dan
di Matraman Salemba rumah keluarganya dulu tak jauh letaknya
dengan rumah Zulfikar.
Keanehan pada Zulfikar setelah menikah antara lain adalah: kalau
lagi hujan ia akan menadahkan tangan seperti bersyukur. Pernah
salah seorang tetangganya menegur tingkah lakunya itu. Jawab Ju:
"Ini rahmat Tuhan dan kita harus bersyukur." Cerita lain lagi
dari tetangganya Zulfikar pernah terlihat mandi telanjang bulat
berhujan-hujan di halaman belakang rumahnya. Juga terlihat tanda
hitam pada jidatnya yang konon merupakan pertanda kelompok
Imran.
Para pemuda daerah Matraman Salemba juga mengenal Imran.
Beberapa bulan yang lalu pemuda berusia 31 tahun ini membuat
kejutan tatkala menyetop suatu acara pengajian remaja setempat
yang tengah membaca Surat Yassin. Imran mengatakan, yang
dilakukan para pemuda tadi salah. Menurut dia, Islam melarang
membaca Quran beramai-ramai. Kalau cara itu dipakai, tidak ada
yang akan membenarkan yang salah membaca. Sedang kalau pembacaan
dilakukan seorang dan yang lain mendengarkan sambil mengoreksi
yang salah, pahalanya akan sama.
Imran waktu itu juga menantang bersalaman dengan ustaz dan
remaja yang hadir: siapa yang berani menanggung dosa dan masuk
neraka atas kekeliruan cara pengajian waktu itu? Ternyata tak
ada yang berani menerima tantangan Imran.
"Lalu bagaimana dengan orang yang selama ini membaca Surat
Yassin beramai-ramai? Apakah mereka berdosa?" tanya seorang
pemuda. Jawab Imran waktu itu: "Mereka tak berdosa karena tak
tahu. Tapi kalau sudah tahu dan tetap melakukannya juga, maka
berdosalah dia."
Soal bersedekah juga disinggung Imran. Menurut dia, berdosa dan
haram hukumnya kalau makan makanan sedekahan setelah pengajian.
Mengapa harus memberi makan pada orang yang berselamatan?
Mengapa tidak diberikan saja pada fakir miskin? Kalau tujuannya
memang untuk makan-makan, menurut Imran, itu tak menjadi soal
Namun kalau bersedekah karena sudah selesai pengajian, itu
haram. Yang punya rumah juga turut menanggung dosa itu.
Menurut penuturan beberapa pemuda Matraman Salemba pekan lalu,
mendengar pendapat Imran tersebut semua yang hadir mengangguk
terkesima. Dan diam saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini